SAYA mengagumi mahakarya pemikiran Johann Wolfgang von Goethe yang terbentang luas mulai dari bidang sastra, filsafat, fisika, matematika, kenegaraan, seni rupa sampai musik. Mahakarya pemikiran yang dipersembahkan Goethe bagi Masa Pencerahan pada hakikatnya setara dengan Leonardo da Vinci bagi Renaissance serta Dante bagi Abad Pertengahan.
Jasa Goethe terhadap seni sastra Jerman setara Shakespeare terhadap Inggris dan Voltaire terhadap Prancis serta Pramoedya terhadap Indonesia. Maka adalah sangat layak nama Goethe diangkat sebagai lembaga kebudayaan Jerman yang berupaya memperkenalkan kebudayaan Jerman kepada dunia.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: J Wolfgang von Goethe, Sastrawan Modern Terbesar Jerman
Satu di antara sekian banyak mahakarya sastra utama Goethe adalah Faust yang ditulis dalam bentuk teater sekaligus puisi yang tidak kalah panjang ketimbang Paradise Lost mahakarya Milton mau pun Divina Comedia mahakarya Dante.
Saya mengagumi Faust, mahakarya Goethe, meski saya merasa tidak nyaman setelah membaca mahakisah Goethe yang ditulis berdasar riwayat seorang tokoh kontroversial bernama Faustus sebagai seorang astrolog merangkap nekromanser yang menjual dirinya kepada iblis.
Di dalam Faust, Goethe terinspirasi oleh drama karya pesaing terberat Shakespeare, Christopher Marlowe, berkisah tentang Faust yang jatuh asmara kepada Margarete (Gretchen). Demi memperoleh kebahagian duniawi termasuk kebahagiaan bersama Gretchen, Faust menjual nyawa dirinya sendiri kepada Mephistopheles sebagai personifikasi iblis.
Tragedi Faust oleh Goethe menginspirasi Schubert menggubah Lieder Gretchen Am Spinnrade, Gounoud menggarap opera Faust, Lessing mencipta drama Faust, Mephisto Waltzes merupakan siklus mahakarya paling spektakular Liszt bagi pianoforte, film bisu ekspresionistis Faust pada tahun 1926 disutradari Murnau dengan Jannings sebagai Mephisto serta pada tahun 2019 The Last Faust berlatar belakang Silicon Valley.
Pada hakikatnya kisah Faust masih berkelanjutan terjadi pada kenyataan panggung politik sampai masa kini. Di panggung politik, Faust berperan sebagai politikus, Mephistoteles berperan sebagai penguasa sementara Gretchen berperan sebagai kekuasaan yang didambakan para politisi.
Baca juga: Pengamat: Jika Mendag Manfaatkan Kekuasaan untuk Kepentingan Pribadi, Itu Menabrak Etika
Kerap kali tampak nyata di atas panggung politik bagaimana para politisi (Faust) sibuk menjual diri kepada penguasa (Mephistopheles) demi memperoleh kekuasaan (Gretchen) dengan menghalalkan segala cara termasuk tega hati mengingkari suara nurani kemanusiaan di lubuk terdalam sanubari masing-masing politikus. Demi jabatan sebagai sumber kekuasaan para politisi tega menyengsarakan rakyat yang seharusnya disejahterakan.
Tampak pada kenyataan panggung politik Indonesia bagaimana meski tidak semua namun cukup banyak politisi demi memperebutkan serta mempertahankan kekuasaan tanpa segan melanggar makna adiluhur yang terkandung di dalam Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab maupun Keadilan Sosial Untuk Seluruh Rakyat Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.