Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Korban Peradaban Sensor Berdasar Tafsir

Baca di App
Lihat Foto
DOK. PRIBADI
Jaya Supradi
Editor: Sandro Gatra

SETELAH secara alasanologis dari kejauhan di Indonesia berupaya memahami kasus tragedi karya seni Taring Padi yang dipermasalahkan berbagai pihak pada perhelatan Documenta XV nun jauh di Kassel, Jerman, saya memberanikan diri menarik kesimpulan dari peristiwa buruk tersebut.

Derita yang dialami oleh Taring Padi di Jerman saya alami sendiri secara jiwa raga pada tahun 1980-an abad XX di mana rezim otoriter represif Orba sedang pada masa puncak kejayaan.

Adalah kesalahan atau kejahilan puncak saya sendiri bahwa justru pada masa puncak kejayaan rezim Orba itu saya malah nekat menyelenggarakan berbagai pameran kartun.

Padahal kartun justru dianggap oleh rezim Orba sebagai media seni yang paling berbahaya menggerogoti kewibawaan penguasa.

Satu di antara sekian banyak pameran kartun yang saya selenggarakan adalah Pameran Kartun Tunggal oleh Basnendar Herry Prilosadoso yang pada masa itu masih berusia 11 tahun di kota Semarang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para petugas Dinas P & K kota Semarang menunaikan tugas dengan baik maka gigih berupaya melarang pameran kartun anak kecil dengan kreatif mengkhayal alasan mulai dari yang agak lumayan tidak masuk akal sampai yang sama sekali tidak masuk akal kecuali akal tidak sehat.

Akibat saya dan teman-teman kartunis Semarang di bawah pimpinan Yehanna ngotot melawan, maka Kepala Dinas P & K Semarang makin gusar maka melapor ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta untuk memperoleh surat larangan Basnendar asal Wonogiri pameran di STM Pembangunan Semarang yang ditandatangani langsung tidak kurang dari Mendikbud Prof Daud Yusuf.

Tentu saja saya tidak mau menyerah kalah melawan angkara murka kekuasaan otoriter ingin memberangus karsa dan karya kartun anak-anak pedesaan, maka segera mohon ijin langsung dari Gubernur Jateng, Soepardjo Rustam untuk menyelenggarakan pameran yang dilarang Mendikbud tersebut di balai desa di depan kediaman saya di kawasan jalan Ki Mangunsarkoro, Semarang.

Sebaliknya Kadis P & K Semarang yang loyal garis lurus kepada atasannya juga tidak mau menyerah begitu saja maka mendampingi Gubernur Jateng ketika datang ke balai desa Karangwulan untuk membuka dan menyaksikan karya-karya kartun Basnendar.

Dengan mata dan telinga di kepala sendiri, saya melihat dan mendengar bagaimana perjuangan Kadis P & K Semarang berupaya menghasut Gubernur Jateng dengan tafsir semau gue mengenai sebuah kartun karya Basnendar yang memukiskan seekor kura-kura sedang merangkak.

Kadis P & K Semarang menghasut dengan tafsir dahsyat atas kartun kura-kura tersebut seolah sebuah penghinaan terhadap Gubernur Jateng sebagai pejabat bersifat lamban seperti kura-kura! Gile!

Syukur Alhamdullilah pak Pardjo alih-alih marah malah tertawa sambil menasehati Kadis P & K Semarang jangan mengada-ada dengan tafsir ngawur maka kebablasan.

Dari peristiwa Gubernur gagal dihasut Kepala Dinas Kesenian tersebut saya memberanikan diri menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya Taring Padi di Kassel, Jerman senasib dengan Basnendar di Semarang dalam hal terpaksa menghadapi sensor akibat hasutan tafsir.

Hanya beda dalam hal Taring Padi tidak seberuntung Basnendar karena penguasa di Semarang pada awal tahun 1980-an abad XX ternyata tidak termakan hasutan tafsir seperti penguasa di Kassel pada asal tahun 1920-an abad XXI.

Sebagai catatan tambahan dari Mas Yehana: syukur alhamdullilah di masa kini Basnendar Herry Prilosadoso telah berkarya sebagai dosen di Institut Seni Indonesia, Solo.

Para kartunis negara-negara tirai besi dan tirai bambu seperti Uni Sowyet, Rumania, Polandia, Republik Rakyat China, Korea Utara juga tidak seberuntung Basnendar sebab konon beberapa di antara mereka dipanggil polisi masing-masing negara mereka setelah ketahuan berani mengirimkan kartun masing-masing untuk ikut dipamerkan pada Festival Kartun Internasional Canda Laga Mancanegara juga di Semarang tak lama setelah pameran kartun tunggal Basnendar terselenggara.

Mereka semua adalah para kurban peradaban sensor berdasar tafsir. Seperti sabda Bertold Brecht bahwa sengsara negara yang tidak punya humor namun lebih sengsara negara yang butuh humor.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi