Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 15 Feb 2022

Silvanus Alvin adalah dosen di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan penulis buku Komunikasi Politik di Era Digital: dari Big Data, Influencer Relations & Kekuatan Selebriti, Hingga Politik Tawa.

Komunikasi Politik Dibalut Komedi di Film "Irresistible"

Baca di App
Lihat Foto
IMDb
Film drama komedi Irresistible (2020).
Editor: Egidius Patnistik

SEMAKIN dekat dengan Pemilu 2024, atmosfer politik mulai terasa. Dalam memaknai dan menjiwai lingkup politik di Indonesia saat ini, ada baiknya bila kita menonton film berjudul Irresistible. Film yang disutradarai Jon Stewart itu sejatinya tayang pada 2020, dengan plot pemilihan Wali Kota Deerlaken (kota fiksi) berbalut komedi. Film ini dapat diakses di Netflix.

Tokoh utama dalam film tersebut adalah Gary Zimmer (diperankan Steve Carell), seorang konsultan politik dari Partai Demokrat. Ia berjuang untuk memenangkan Kolonel Jack Hastings (Chris Cooper) yang viral karena memperjuangkan hak-hak warga Deerlaken dalam sebuah forum resmi.

Baca juga: Survei Indopol: PDI-P Urutan Pertama Berpotensi Dipilih pada Pemilu 2024

Tentu saja film ini tidak lepas dari konflik yang berkembang. Konflik muncul manakala konsultan politik dari Partai Republik Faith Brewster (Rose Bryne) turut berpartisipasi dengan mendukung wali kota petahana.

Tulisan ini mengesampingkan plot twist di akhir film. Fokus utama pada scene-scene yang kental dengan keilmuan komunikasi politik. Selain itu, pelajaran apa yang dapat dipetik para penonton film ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Retorika politik

Politik membutuhkan persuasi untuk menarik perhatian dan membuat publik percaya. Narasi yang disampaikan itulah retorika. Salah satu yang paling menonjol di dalam film ini adalah retorika politik.

Dalam scene awal, Zimmer dan Brewster sedang diwawancari oleh rekan-rekan media. Namun, pernyataan mereka mengundang tawa. Sebab, yang disampaikan adalah fakta ironi, bahwa politik kerap berisi tipu daya dan ketika hal tersebut terus diulang terus menerus dapat menjadi kebenaran. Adapun cuplikan pernyataan scene yang dimaksud sebagai berikut.

Brewster: I lie (saya berbohong).
Zimmer: I am lying too (saya juga berbohong).
Brewster: And you know I lie. I’m actually in this position because of how effectively I lie to you. Are we clear? (Dan kalian tahu kalau saya berbohong. Saya bisa berada di posisi ini karena kebohongan saya begitu efektif. Apakah sudah jelas?)
Zimmer: We call this the spin room, without shame (Kita menyebutnya sebagai tipu daya, tanpa rasa malu).

Tentunya kehadiran scene ini berisi pesan implisit dari sang sutradara, yakni publik harus mengkritisi kadar fakta dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan para aktor politik dan para pundit yang menghiasi media.

Selain itu, ada pula retorika politik khas Hollywood diucapkan Hastings. Dalam kalimat yang tidak terlalu panjang tapi langsung kena ke hati, Hasting menyampaikan, “If you can’t live your principles in the bad times, I guess they’re not principles – they’re just hobbies (Jika Anda tidak bisa menjalankan prinsip-prinsip dalam waktu susah, maka itu bukan prinsip, itu hanya hobi).”

Lebih lanjut, ada pula retorika yang dilontarkan putri Hastings, Diana (Mackenzie Davis). Ia menuturkan perhatian elite politik hanya terjadi di periode kampanye saja dengan menebar janji. Setelah pemilu selesai, maka janji yang sudah ditebar itu menguap ke udara.

Pernyataan Hastings dan putrinya tersebut tidak hanya terbatas sifatnya secara kontekstual, melainkan juga relevan dengan kondisi nyata saat ini. Politisi kerap memberi janji-janji, tapi ketika saatnya menepati janji seringkali mereka lupa. Di sinilah peran penting publik bahwa harus menentukan pilihan politik dengan logis dan menagih janji yang ditebar saat kampanye.

Microtargeting

Film ini juga menampilkan salah satu adegan yang relevan dengan perkembangan komunikasi politik di era digital saat ini yakni microtargeting. Pemegang hak pilih dipandang sebagai objek yang perlu dirayu dengan pendekatan-pendekatan spesifik.

Zimmer mengumpulkan The A Team yang berisi pakar polling dan pakar IT untuk membagi warga Deerlaken ke dalam berbagai kluster-kluster berdasarkan ras maupun hobi mereka. Selanjutnya dengan perhitungan alogaritma, mereka membuat pesan spesifik agar mendapatkan dukungan.

Baca juga: 45 Partai Politik Sudah Daftar di Sipol Pemilu 2024

Namun, di film ini juga ditampilkan kesalahan microtargeting. Hal ini terjadi ketika lingkungan gereja berisi para suster malah dibombardir flyer berisi janji untuk menjamin kontrasepsi akan dipenuhi pemerintah.

Dalam pemilu mendatang yang akan berlangsung di Indonesia, pendekatan melalui microtargeting sebaiknya tidak dijadikan tumpuan karena dianggap tindakan tak beretika. Hasil microtargeting umumnya didapat dari pengumpulan data pribadi publik yang disasar.

Pemilu seharusnya dibangun dari diskusi yang bernas untuk kesejahteraan bersama, bukan pemenuhan keinginan secara dangkal melalui microtargeting yang dapat dikonversi menjadi dukungan suara.

Etika politik

Salah satu yang menarik dibahas dari film Irresistible adalah persoalan etika politik. Dalam film ini, politik hanya dianggap sebagai hitung-hitungan matematika. Padahal politik berkaitan dengan manusia, bukan angka.

Dalam salah satu adegan, Zimmer akan melancarkan kampanye negatif terhadap kandidat petahana karena mengetahui adik sang wali kota ketergantungan obat terlarang. Alhasil terjadi debat antara Zimmer dan Hastings serta putrinya.

Puncaknya, Zimmer menegaskan bahwa ia akan tetap melakukan kampanye negatif tersebut. Ia mengatakan, “It’s not politics anymore Diana, It’s math. That’s what an election is. It’s just math. We need what they get plus one (Ini bukan politik lagi, Diana. Ini adalah matematika. Itulah kenyataan pemilu. Hanya sekadar matematika. Kita perlu mendapatkan yang mereka punya ditambah satu).”

Kembali secara implisit, sang sutradara berusaha menyampaikan betapa keruhnya politik bila dilakukan oleh orang yang nafsu berkuasa. Politik seharusnya memanusiakan manusia, bukan menganggap manusia sebagai angka dalam formula matematika demi keuntungan pribadi.

Sebagai penutup, film Irresistible merupakan dua sisi koin. Satu sisi, baik sebagai sarana ‘pemanasan’ bagi publik jelang pemilu 2024. Di sisi lain, film ini bisa jadi sentilan kepada para elite politik dan pengingat bahwa tujuan berpolitik demi kepentingan bersama, bukan pihak tertentu saja, apalagi kepentingan pribadi semata.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi