Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Banjir Juli, Tanggap Darurat di Garut, dan Fenomena Atmosfer...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/M. Elgana Mubarokah
Warga Kampung Muara RT 05 RW 07 Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengaku bosan sudah 17 tahun hidup bersama banjir.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Sejumlah wilayah di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan daerah lainnya baru-baru ini diterjang banjir.

Fenomena banjir di Juli merupakan fenomena yang tidak biasa. Pasalnya, Juli disebutkan permulaan musim kemarau di Indonesia.

Pada Mei 2022, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, awal musim kemarau di Indonesia cukup variatif.

Baca juga: Banjir Semarang, Apa Penyebabnya? Ini Analisis Ahli Hidrologi UGM...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beberapa daerah tercatat memasuki kemarau pada April, tetapi banyak daerah baru masuk kemarau pada Mei dan Juni.

Artinya, semua wilayah di Indonesia telah memasuki musim kemarau pada Juli 2022.

Namun, banjir justru menggenangi sejumlah daerah, seperti Bogor, Garut, Ciledug, Bandung, Tangerang, dan DKI Jakarta.

Baca juga: Analisis Faktor Penyebab Banjir Rob di Pantura Jateng

Tanggap darurat bencana banjir dan tanah longsor di Garut

Di Garut, Jawa Barat, banjir bahkan memutus beberapa akses jembatan dan merendam 20 desa di 8 kecamatan.

Trending #PrayForGarut pun mengemuka selama 24 jam di Twitter.

Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan Tanggap Darurat Bencana Banjir dan Tanah Longsor tertanggal 16 Juli 2022.

Status tanggap darurat tersebut terhitung sejak 16 Juli hingga 29 Juli 2022.

Baca juga: Analisis BMKG soal Banjir Jakarta, dari Penyebab hingga Fenomena La Nina

Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB, 14 kecamatan terdampak banjir.  Antara lain Kecamatan Cikajang, Tarogong Kidul, Pasirwangi, Cigedug, Bayongbong, Tarogong kaler, Samarang, Banyuresmi, Cibatu, Karangpawitan, Garut Kota, Cilawu, Banjarwangi dan Singajaya. Sebanyak 6.031 Kepala Keluarga (KK) atau 18.873 jiwa terdampak dan 649 jiwa di antaranya mengungsi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut melaporkan update kerugian meteril sebanyak 4.035 unit rumah terdampak dengan 11 unit di antaranya rusak berat, 13 kantor pemerintah rusak sedang, 10 kantor pemerintah rusak ringan, 2 unit fasilitas pendidikan rusak sedang, dan 3 unit fasilitas Pendidikan rusak ringan.

Selain itu, tercatat sedikitnya 17.077 hektar kolam ikan milik warga terdampak.

Baca juga: Terjadi Setiap Tahun, Apakah Banjir Rob Bisa Diantisipasi?

Sementara hujan deras dalam waktu lama menyebabkan banjir dan tanah longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bogor melaporkan, sebanyak 23 desa di 11 kecamatan dilanda bencana tersebut.

Akibatnya, 4.084 keluarga atau 16.420 jiwa terdampak bencana itu.

Banjir juga dilaporkan menggenangi sejumlah kawasan di Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur di waktu yang sama.

Baca juga: Fenomena Perigee Disebut Jadi Penyebab Banjir Rob Pesisir Jateng, Apa Itu?

Fenomena-fenomena atmosfer

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menjelaskan, fenomena-fenomena atmosfer bisa memicu terjadinya dinamika cuaca, sehingga mengakibatkan hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Menurutnya, ada beberapa fenomena atmosfer yang berpengaruh pada tingginya intensitas hujan saat kemarau kali ini.

Beberapa di antaranya adalah fenomena La Nina, fenomena Dipole Mode, Madden Jullian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby.

"Kondisi tersebut masih turut berpengaruh terhadap penyediaan uap air secara umum di atmosfer Indonesia," kata Guswanto, dikutip dari pemberitaan Kompas.com.

Untuk fenomena Dipole Mode, berpengaruh dalam memicu peningkatan curah hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat.

Adapun fenomena MJO, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby meningkatkan aktivitas konvektif dan pembentukan awan hujan skala regional.

Baca juga: Analisis Faktor Penyebab Banjir Rob di Pantura Jateng

Hujan 24 jam

Sementara itu, prakirawan cuaca BMKG Kota Bandung Yan Firdaus Permadhi menjelaskan, hujan yang turun selama hampir 24 jam disebabkan oleh fenomena Mesoscale Convective Complex (MCC).

MCC yang masih bagian dari Mesoscale Convective System (MCS) merupakan fenomena yang dicirikan dengan adanya perisai awan yang berbentuk quasi-circular (hampir lingkaran) dengan luas area inti awan mencakup lebih dari 50.000 km persegi serta suhu puncak awan IR1 kurang dari -52 derajat celsius.

"Kondisi awan tersebut bertahan minimun selama 6 jam dan menyebabkan cuaca buruk dan hujan ekstrem," kata Yan, dikutip dari Kompas.com.

Ia menuturkan MCS adalah sistem kompleks badai petir yang terorganisasi pada skala yang lebih besar dari badai individu tetapi lebih kecil dari siklon tropis.

Biasanya, kondisi ini berlangsung selama beberapa jam atau lebih.

Baca juga: Analisis BRIN soal Banjir Rob Semarang, Benarkah karena Fenomena Astronomis?

(Sumber: Kompas.com/Muhammad Syahrial, Ellyvon Pranita, Nur Rohmi Aida, Afdhalul Ikhsan | Editor: Holy Kartika Nurwigati, Rendika Ferri Kurniawan, Reni Susanti)

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Cara membersihkan rumah setelah banjir

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi