Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Editor Buku Lepas, Ghostwritter
Bergabung sejak: 27 Mei 2022

Editor Buku

"Jangan Panggil Saya Pak Haji"

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock
Ilustrasi ibadah haji di tanah suci Mekkah. Jumlah jemaah haji Indonesia yang meninggal di Arab Saudi dilaporkan jauh lebih banyak dibanding dari Malaysia.
Editor: Sandro Gatra

"Selamat datang di Tanah Air, Pak Haji. Semoga nular ke teman-teman," komen saya ke grup WhatsApp teman-teman semasa SMA.

Komen ini merupakan respons ketika ada postingan seorang teman pulang dari Tanah Suci.

Pak Haji yang saya maksud ini adalah salah seorang dari 100.051 calon haji Indonesia yang berangkat ke Rumah Allah di Tanah Suci. Angka itu terdiri dari 92.825 kuota haji reguler dan 7.226 kuota haji khusus.

Per Sabtu (17/7/2022 ) malam, ratusan jamaah haji kloter pertama asal Indonesia tiba di Tanah Air.

Mereka tiba di Indonesia melalui Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Banten, dengan disambut oleh dua menteri, yakni Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Agama Ad Interim Muhadjir Effendy. Para jemaah haji itu tiba tepat pukul 00.05 WIB.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saya tak tahu persis Pak Haji ada di kloter berapa. Cuma yang diketahui dia sudah kembali ke Indonesia.

Dia sudah bagi-bagi air zam-zam. Teman tertentu diberi sajadah dan tasbih. Dia juga berpenampilan beda. Serba putih. Pakai gamis putih, dan mulut acap komat-kamit. Mungkin dia berdzikir.

Namun yang mengejutkan dia japri saya. Isinya: "Jangan panggil saya Pak Haji..." Begitu intinya.

Saya pun berdalih karena sudah menunaikan ibadah haji, tentu layak dipanggil "Pak Haji".

Bagaimanapun panggilan "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" dambaan banyak orang. Panggilan ini seolah memantapkan status sosialnya.

Jelas, hanya orang-orang mampu (punya uang untuk bayar ongkos haji) yang bisa berangkat ke Tanah Suci. Begitu menyandang haji, orang lain memandangnya sebagai "orang mampu".

Hal lain, haji juga menggambarkan status religiositas seseorang. Begitu menyandang haji, maka orang lain akan menganggapnya sebagai orang alim. Dari haji bisa diteladani nilai-nilai religiositas.

Tetapi teman saya tadi bersikap lain. Dia enggan dipanggil "Pak Haji" karena beban status religiositas tersebut.

Dia mengaku belum saatnya jadi teladan walau sudah berhaji. Dalam pandangannya, orang yang habis berhaji itu, diharapkan punya nilai keagamaan lebih baik. Selaras dengan ini adalah moralitas ikut membaik.

Namun yang menjadi pertanyaan khalayak adalah: apakah orang sepulang haji akan menjadi manusia baru? Manusia yang mengedepankan nilai-nilai keagamaan? Semestinya begitu.

Logika Islami saja begini, berhaji itu adalah mendatangi rumah Allah (Ka'bah). Bahkan banyak ustadz mengingatkan, sebagai tamu Allah, maka mereka akan disambut langsung oleh Allah.

Di hadapan Allah inilah seseorang introspeksi diri untuk membuang yang buruk dan menambah kebaikan. Maka, sepulang bertamu, seseorang akan berubah menjadi manusia baru tadi.

Bisa pula menggunakan teori liminalitas untuk melihat seorang haji menjadi manusia baru.

Victor Turner, ahli antropologi sosial, meletakkan liminalitas sebagai aspek penting yang ada dalam sebuah ritual.

Liminalitas dipahami sebagai tahap atau periode waktu di mana subyek ritual mengalami keadaan ambigu. Acapkali juga diartikan sebagai peralihan dan bersifat transisi.

Di dalam The Ritual Process, Turner menyebutkan, semua ritual melewati tiga tahap: separasi, liminal, dan reintegration.

Meminjam konsep Turner ini, hakikatnya haji melewati tiga tahapan dimaksud.

Pada tahap separasi, subyek ritual meloncat dari alam profan ke dunia sakral. Tahap liminal diartikan suatu fase di mana subyek ritual mengalami keadaan yang lain dengan dunia fenomenal.

Dalam tahap ini berlaku antistruktur, di mana dalam dunia fenomenal manusia dibedakan oleh struktur.

Dalam keseharian seorang pejabat dan rakyat biasa jelas berbeda struktur. Namun, saat melaksanakan ibadah haji, pembatas struktur tak berlaku.

Kemudian saat kembali ke Tanah Air merupakan tahap reintegration. Setelah mengalami penyadaran diri dan refleksi formatif, subyek ritual disatukan kembali dengan masyarakat sehari-hari.

Namun, subyek ritual yang telah berhaji mendapat nilai-nilai baru. Ia seolah menjelma menjadi manusia baru.

Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya.

”Manusia baru” yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama.

”Manusia baru” yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral.

Juga ”manusia baru” yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu.

Para ”manusia baru” dari kalangan ibu-ibu kian arif menjaga mulut agar para suami tak terjebak banalisasi korupsi.

Para ”manusia baru” yang ibu-ibu itu memetik nilai baru yang akhirnya pandai membedakan fakta dan gosip.

Inilah yang membuat teman saya tadi merasa ada "beban sosial" saat pulang dari ibadah haji.

Dia menyadari tahap liminal yang dialaminya belum maksimal. Dia pun merasa belum sepenuhnya menjadi manusia baru.

Maka dari itu, dia sekali lagi wanti-wanti, "Jangan panggil saya Pak Haji ya...."

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi