Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kasus Polisi Tembak Polisi, CCTV yang Mati - (Buruknya) Komunikasi Polri

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat mengumumkan penonaktifan Irjen Ferdy Sambo dari jabatannya sebagai Kadiv Propam di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/7/2022).
Editor: Egidius Patnistik

"JIKA kamu tidak memiliki sesuatu yang baik untuk dikatakan, jangan katakan apapun," – Thumper.

Dalam pekan-pekan terakhir ini, rasa keadilan begitu terusik dengan penjelasan-penjelasan janggal dan mengundang tanya. Bukan perkara sepele, mengingat institusi yang disorot dalam mempertontonkan keanehan dan susah dirunut dengan logika yang sederhana justru datang dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Institusi yang dipercaya masyarakat sebagai penegak hukum dan menjalankan ketertiban justru memperlihatkan persoalan internal yang tidak bisa diselesaikan dengan cara bermartabat. Pedang keadilan harusnya dihunus ketika ketidakbenaran harus dilawan dan ketidakberdayaan harus diayomi.

Baca juga: Tiga Laporan Berbeda Terkait Kematian Brigadir J

Ilmu komunikasi yang bersifat omni present, harusnya hadir di setiap ruang dan waktu tanpa bisa dihindari, tetapi kali ini alpa di jajaran kepolisian yang mengagung-agungkan jargon presisi. Padahal di beberapa sosok kepala kepolisian terakhir, ranah komunikasi begitu diyakini bisa mengubah wajah institusi. Dari polisi yang tidak bersahabat menjadi polisi yang “bersahabat”. Dari polisi yang tidak humanis, menjadi humanis, dan dari polisi yang tidak ramah menjadi “ramah”.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus tembak-menembak antara dua personel kepolisian yakni Brigadir Nofriansyah Joshua Hubarat atau Brigadir J dengan Bharada Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bripda E di kediaman Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, seharusnya tidak menjadi “liar” dan isunya berkembang kemana-mana dengan beragam spekulasi yang suka-suka jika sedari awal kepolisian menggunakan pola komunikasi yang tepat.

Ketika rangkaian peristiwa demi peristiwa dikemas dengan narasi yang tidak tepat maka dapat dipastikan bantahan demi bantahan akan selalu dilontarkan untuk membenarkan narasi-narasi sebelumnya. Dalam berbagai kelas komunikasi yang saya ampu, saya selalu menekankan kepada peserta yang umumnya para manajer public relations untuk tidak mengeluarkan pernyataan kepada media dengan fakta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Akan menjadi blunder dan menampar insitusi jika pernyataan yang tidak kredibel kadung tersebar di khalayak umum. Akan menjadi lebih sulit menangani “turbulensi” isu karena setiap pernyataan yang “bohong” akan selalu disusul dengan pernyataan serial “bohong” berkelanjutan untuk menutupi pernyataan-pernyataan sebelumnya.

Jika faktanya masih sumir, seorang juru bicara tidak boleh menginterpretasikan fakta yang tidak terjadi menjadi sebuah rangkaian peristiwa yang “seolah-olah” terjadi. Jika publik pada akhirnya mengerti dan paham dengan fakta yang sebenarnya dari sumber informasi lain terjadi maka institusi tersebut akan selamanya mengalami distrust dari masyarakat karena  terjadinya penyesatan fakta yang sebenarnya.

Lihat Foto
KOMPAS.com/RAHEL NARDA
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/7/2022). Ia membicarakan soal permintaan untuk otopsi ulang jenazah Brigadir J.
Jumat kejadian, Senin diumumkan

Blunder pertama yang dibuat Polri ketika mengumumkan kejadian “Duren Tiga Berdarah” adalah saat mengeluarkan pernyataan resmi pada Senin (11/7/2022) siang jelang petang padahal peristiwa tembak- menembak “konon” terjadi pada Jumat (8/7/2022) sekitar pukul 17.00 WIB atau tiga hari sebelumnya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menyebutkan, aksi tembak-menembak terjadi akibat Brigadir J hendak masuk ke rumah Kadiv Propam. Bharada E yang menegur Brigadir J terpaksa menembak sebagai balasan atas aksi Brigadir J (Kompas.com, 24/07/2022).

Dalam konferensi pers, Brigjen Ahmad kerap menyamarkan fakta soal siapa penghuni di tempat kejadian perkara (TKP), soal pekerjaan para pelaku aksi “janggo” juga tidak diungkap selain disebut personel Bareskrim. Informasi awal disebutkan TKP adalah rumah petinggi Polri dan mulai terkuak TKP sebenarnya adalah rumah Kadiv Propam Polri di konferensi pers kedua pada 11 Juli malam.

Alasan Polri baru mengumumkan peristiwa itu tiga hari setelah kejadian juga tidak kalah “uniknya”. Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi Susianto, menegaskan karena tanggal 9 Juli 2022 adalah perayaan Idhul Adha sehingga mungkin saja konsentrasi peliput tengah fokus ke malam peringatan hari raya kurban. Senada dengan Kapolres Jakarta Selatan, Brigjen Ahmad berdalih rilis kejadian memang dikeluarkan tiga hari usai kejadian karena ada momen Idul Adha.

 Baca juga: Ponsel Vera, Kekasih Brigadir J Disita untuk Kepentingan Penyidikan

Yang lebih salah kaprah lagi, Polri melalui Kapolres Jakarta Selatan malah “membingkai” keheroan Bharada E sebagai penembak wahid di Resimen Pelopor Korps Brimob dan pelatih vertical rescue.

Demikian pula halnya pola komunikasi yang dijalankan di tempat kediaman keluarga Brigadir J di Muara Bungo, Jambi saat penyerahan jenazah. Pihak keluarga mendiang Brigadir J bukannya mendapat penjelasan yang simpatik tetapi justru mendapat intimidasi mulai dari larangan untuk membuka peti jenazah, pengepungan personel polisi terhadap rumah keluarga yang berduka hingga aksi peretasan gadget milik keluarga Brigadir J.

Demikian juga dengan aksi intimidasi yang dilakukan aparat tidak berseragam terhadap jurnalis yang tengah melakukan liputan di TKP di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan pada 14 Juli 2022. Pemeriksaan gadget sekaligus menghapus foto dan video peliputan wartawan dilakukan oleh aparat. Ketika mendapat kecaman dari berbagai kalangan, barulah Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menegaskan aksi tersebut dilakukan oknum yang bertindak di luar instruksi dan sepengetahuan institusi.

Baca juga: UPDATE Kasus Brigadir J: Prarekonstruksi hingga Rencana Ekshumasi

Keterangan polisi yang janggal soal kamera pengintai atau CCTV di TKP serta lingkungan yang tidak berfungsi padahal diketahui belakangan karena ada pihak-pihak tertentu yang mengambil decoder-nya, membuat insiden ini ditanggapi masyarakat seperti kasus polisi saling tembak sesama polisi tetapi yang tewas justru CCTV-nya.

Komunikasi krisis & krisis komunikasi

Kita saat ini hidup di era komunikasi yang begitu mengandalkan keterbukaan dan kecepatan akses informasi tanpa batas. Tidak bisa lagi upaya blokade informasi dilakukan oleh sebuah institusi mengingat zaman telah berubah. Kita bukan lagi hidup di era single information di mana sumber informasi bisa “dikendalikan” dan bisa dibuat sesuka hati. Kita tidak lagi berada di zaman Orde Baru ketika kebenaran informasi hanyalah versi pemerintah. Tidak bisa lagi berita kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) disebut dengan penyesuain harga BBM.

Saya jadi teringat dengan peristiwa pembunuhan peragawati Ditje Budiarsih di kawasan hutan karet Kalibata, Jakarta Selatan, 8 September1986. Ditje ditemukan tewas dengan lima luka tembakan sementara di mobil yang ditumpanginya tidak ditemukan satupun bekas tembakan.

Salah satu dokter forensik yang memeriksa jenazah Ditje yang juga dosen di Universitas Indonesia (UI), Handoko Tjondroputranto, mengaku keanehan yang terjadi di seputaran kasus tersebut. Dalam mata kuliah Kimia Forensik yang saya ikuti di Jurusan Kimia FMIPA UI dan Hukum Forensik di Fakultas Hukum UI, sang dosen pernah menjelaskan, jika orang ditembak dalam ruang sempit yang terbatas, pasti ada rekoset atau pantulan peluru yang ditembakkan pelaku.

Posisi penembak yang dituduhkan terhadap mantan pembantu letnan satu di kesatuan TNI Muhammad Siradjudin alias Pak De yang berada di sebelah kiri sementara Ditje di posisi memegang kemudi sangat tidak masuk akal. Bekas tembakan ada di kening sebelah kanan Ditje sehingga akan aneh jika Pak De menembak sambil memeluk korbannya. Demikian juga korelasi antara korban dengan Pak De juga sumir serta terkesan “dicari-cari”.

Informasi mengenai kebenaran peristiwa itu berhasil disembunyikan oleh rezim yang berkuasa mengingat ada orang-orang “kuat” serta berada di pusat pemerintahan terlibat dalam pembunuhan Ditje.

Pak De yang sempat divonis penjara seumur hidup dan akhirnya bisa bebas karena upaya Peninjauan Kembali (PK) diterima Mahkamah Agung pernah berujar Ditje menjadi “mainan” di ranjang oleh petinggi TNI AU, menantu serta kerabat Presiden Soeharto. Pembunuhan Ditje konon dilakukan oleh orang suruhan yang ingin kisah asmara itu segera berakhir (Kompas.com, 01/12/2021).

Sekali lagi, Polri harus memahami pentingnya komunikasi publik yang disampaikan dengan jujur dan elegan mengingat kredibilitas dan marwah institusi di mata publik tengah dipertaruhkan. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya. Publik sekarang ini begitu mudahnya menyatakan protes dan menyampaikan ketidakadilan dalam petisi daring selain menggelar aksi solidaritas 1.000 lilin keadilan di jalanan seperti yang digelar di Bundaran HI, Jakarta (Kompas.com, 22 Juli 2022).

William V Hanney, salah seorang mahaguru komunikasi organisasi pernah menyebut hubungan antara komunikasi dengan organisasi terdiri dari sejumlah orang. Kondisi ini melibatkan keadaan saling ketergantungan, sementara ketergantungan memerlukan koordinasi. Dan yang utama lagi, koordinasi mensyaratkan komunikasi.

Membincangkan pola komunikasi yang dibangun Polri dalam kasus tragedi “Duren Tiga Berdarah” sepertinya ingin meneguhkan mengenai keberadaan organisasi tidak akan lepas dari peran signifikan dari komunikasi. Komunikasi merupakan sine qua non bagi organisasi. Komunikasi tidak saja penting dalam membina hubungan antar manusia yang terlibat dalam sebuah organisasi tetapi juga berdampak kepada kepercayaan publik.

Dalam perjalanan sebuah organisasi termasuk Polri, kedua kepentingan ini sangatlah mungkin berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Pada tahap inilah komunikasi hadir dan berperan penting dalam meniadakan konflik yang terjadi antara dua kepentingan tersebut.

Krisis kepercayan public (public distrust) bisa terjadi karena institusi salah menggunakan pola komunikasi tanpa memperhitungkan reaksi publik. Ketika strategi komunikasi yang dibangun Polri terkesan bias dan tidak jujur maka publik akan mencari sendiri informasi yang dianggap memenuhi keingintahuannya. Masyarakat kita begitu “kepo” sehingga berita hoaks pun begitu dipercaya dan masuk dalam logika berpikirnya.

Pola komunikasi yang salah dibangun Polri sama saja menempatkan para korban seperti Brigadir J atau Putri Candrawathi selaku istri Kadiv Propam Polri menjadi “bulan-bulanan” para pencari informasi. Padahal selama pengungkapan kasus ini belum final, tentunya hak-hak yang dimiliki keduanya harus dijaga dan dihormati. Ketika aliran informasi yang deras disumbat dengan beragam cara yang salah maka aliran informasi akan tetap merembes bahkan mengalir untuk menemukan jalannya sendiri.

Desakan publik agar kasus tewasnya Brigadir J menjadi transparan dan pemberitaan yang intens di media menjadikan kasus ini mendapat perhatian dari pemerintah. Rezim Jokowi begitu tidak nyaman jika publik gaduh dengan ketidakberesan apalagi ketidakadilan.

Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Mahfud MD malah menegaskan penuntasan kasus saling tembak antar polisi di kediaman Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo akan menjadi pertaruhan kredibilitas Polri dan pemerintah. Mahfud menganggap kasus tersebut sangat janggal dan penjelasan Polri tidak jelas mengenai hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai peristiwanya (Kompas.com, 13/07/2022).

Tidak tangung-tanggung Presiden Jokowi juga meminta agar kasus tewasnya Brigadir J diusut tuntas, buka apa adanya dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Harus transparan karena menyangkut kepercayaan publik terhadap Polri (Kompas.com, 21/07/2022).

Pasca-pernyataan Menko Polkam Mahfud MD dan Presiden Jokowi tersebut, saya melihat Polri langsung melakukan pembenahan dan pola komunikasi Polri langsung berubah. Polri langsung menonaktifkan Irjen Ferdy Sambo dari jabatan Kadiv Propam, demikian juga dengan Kepala Pengamanan Internal Divisi Propam Polri Brigjen Hendra Kurniawan serta Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto juga dicopot jabatannya. Sementara pejabat di Divisi Humas Polri tidak tersentuh dengan “penyegaran” padahal begitu banyak blunder yang dilakukan.

Polri juga membentuk tim gabungan pencari fakta bersama Kompolnas dan Komnas HAM yang dipimpin langsung oleh Wakil Kepala Kepolisian Komjen Gatot Eddy Pramono agar pengungkapan kasus tersebut dilandaskan pada fakta-fakta data berdasar scientific evidence serta fakta-fakta yuridis. Kita semua berharap sama dengan harapan Presiden Jokwi agar pengungkapan kasus “polisi saling tembak sesama polisi yang tewas justru CCTV” menjadi terang benderang. Selain keadilan harus ditegakkan, citra Polri begitu dipertarukan dalam kasus ini.

"Komunikasi yang jujur dibangun di atas kebenaran dan integritas serta di atas rasa hormat satu sama lain." - Benyamin E. Mays.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi