Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Pengamat soal Utang Indonesia ke Jepang Rp 4,7 Triliun

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi utang Pemerintah Indonesia.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia kembali menambah utang luar negeri, kali ini kepada Jepang sebesar 43,6 miliar yen atau sekitar Rp 4,7 triliun.

Dikutip dari Kompas.com, Rabu (27/7/2022), pinjaman yang direncanakan akan digunakan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan itu kini tengah diproses oleh pemerintah Jepang.

Banyak yang menyayangkan keputusan pemerintah kali ini yang kembali menambah daftar utang negara.

Baca juga: Berkaca dari Sri Lanka, Mengapa Suatu Negara Bisa Gagal Bayar Utang dan Apa Dampaknya?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hal itu misalnya ramai-ramai disampaikan masyarakat melalui media sosial.

"Kan yg bayar rakyat," tulis sebuah akun di kolom komentar unggahan Instagram Kompas.com sembari menyematkan emosi tepuk tangan.

"Hutang terus ya, blm lg bangun IKN," tulis akun yang lain.

Baca juga: Konten YouTube Bisa Jadi Jaminan Utang ke Bank, Apa Syaratnya?

Sebenarnya, bagaimana kondisi keuangan negara saat ini terkait beban utang yang dimiliki?

Kata pengamat soal utang Indonesia

Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menyebut memang secara rasio, utang Indonesia masih ada di batas ambang 60 persen.

Namun, ada sejumlah hal yang harus diwaspadai.

"Yang menjadi titik kritis dari kondisi utang adalah beban bunga utang yang mahal, kemampuan bayar utang tidak sebanding dengan kecepatan penerbitan utang baru, dan pemanfaatan dari utang masih terjebak pada belanja yang tidak produktif," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Kamis (28/7/2022).

Baca juga: Benarkah Indonesia Jadi Negara dengan Utang Terbesar Ke-7 di Dunia?

Menurutnya, negara akan terbebani tingginya suku bunga utang yang ada, terutama dari Surat Berharga Negara (SBN).

Bhima mengatakan suku bunga dari SBN terbilang tinggi dan di sisi lain SBN mendominasi utang pemerintah, mencapai 88,2 persen dari total utang.

"Sekarang SBN mendominasi sampai 88,2 persen dari total utang pemerintah, sementara investor menuntut imbal hasil SBN harus tinggi yakni 7,4 persen untuk tenor 10 tahun. Diperkirakan kondisi APBN dapat berisiko apabila harus menanggung pembayaran bunga utang lebih dari 410 triliun," katanya lagi.

Belum lagi adanya risiko peningkatan suku bunga secara signifikan yang akan memicu bunga utang naik menjadi lebih mahal.

Baca juga: Sri Lanka Bangkrut karena Gagal Bayar Utang, Bisakah Terjadi pada Indonesia?

Kemampuan bayar utang

Secara sederhana, sebelum satu pihak memutuskan untuk mengambil utang, harus dipastikan pihak tersebut memiliki kemampuan untuk membayarnya di kemudian hari hingga dinyatakan lunas sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Saat disinggung perihal kemampuan bayar utang Indonesia, Bhima menginformasikan, kemampuan bayar utang Indonesia masih ada di bawah Filipina.

"Kemudian soal kemampuan bayar bisa dicek, Debt Service Ratio-nya 39,2 persen dari data terakhir. Filipina dengan rating utang yang lebih baik, yakni BBB+ dibanding Indonesia BBB, (Filipina) hanya memiliki DSR 10,1 persen," ungkap dia.

"Semakin tinggi angka DBR berarti semakin lemah kemampuan membayar utang dari penerimaan ekspor," lanjutnya.

Baca juga: Tembus Rp 7.000 Triliun, Mengapa Utang Indonesia Terus Naik? Ini Penjelasan Kemenkeu

Pemanfaatan utang kurang produktif

Sejauh ini, terkait pemanfaatan utang negara imbuhnya, masih banyak dana yang dipergunakan untuk belanja-belanja yang kurang produktif.

"Porsi belanja pemerintah untuk belanja barang dan belanja pegawai masih tinggi sehingga dipersepsikan utang untuk hal yang kurang produktif," sebut Bhima

"Sementara pembiayaan utang untuk infrastruktur pun menuai masalah. Inilah yang disebut utang tidak dilakukan secara terukur," lanjutnya.

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah?

Bhima menambahkan, menyikapi utang luar negeri dan kemampuan negara, pemerintah harus berbuat sesuatu agar utang-utang yang ada bisa dioptimalkan pemanfaatannya dan bisa diselesaikan dengan baik.

Salah satunya adalah menunda belanja infrastruktur yang mengalami kelebihan biaya, konten impornya tinggi, namun kurang berdampak pada penurunan biaya logistik.

"Pemerintah juga bisa merevisi lagi rencana pemberian PMN ke BUMN tahun 2023, tidak semua BUMN harus dikucurkan pendanaan terlebih setoran devidennya kecil," kata dia.

Terakhir, memanfaatkan momentum Konferensi Tingkat Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang akan datang, pemerintah bisa mendorong keringanan utang bagi negara berkembang termasuk Indonesia agar mendapat pengurangan beban pokok utang, terutama terhadap utang China

"Sah-sah saja Indonesia minta keringanan utang, karena sebelumnya utang juga digunakan untuk pendanaan selama pandemi. Pemerintah perlu burden sharing atau membagi beban dengan para kreditur," pungkas Bhima.

Baca juga: Mengenal Apa Itu G20 dan Sejarah Pendiriannya...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi