Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Head of Education Ecosystem PT Telkom Indonesia Tbk
Bergabung sejak: 12 Apr 2022

Dr. Sri Safitri, ST, B.Eng (Hons), M. Eng adalah Head of Education Ecosystem PT Telkom Indonesia Tbk. Sebelumnya adalah Direktur Marketing Telkomtelstra, perusahaan patungan Telkom Indonesia dan Telstra Australia.
Uni Fitri, sapaannya, merupakan Doktor Manajemen Universitas Brawijaya, juga pembicara internasional dan aktif di asosiasi industri seperti ACIOA (ASEAN CIO Association) sebagai Konselor Indonesia.
Saat ini, juga menjabat Wakil Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Co-Founder Indonesia Blockchain Society (IBS), Ketua Umum Indonesia CX Professional (ICXP), Secretary General Partnership Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecedasan Artifisial (KORIKA) dan President FAST (Forum Alumni Universitas Telkom) 2021-2025.

Menjaga Keberlanjutan Zilenial Digital pada Citayam Fashion Week

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Roy (Citayam), Mami (Tanah Abang), dan Oman (Tanah Abang) memanfaatkan zebra cross untuk ajang unjuk pakaian di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Fenomena Citayam Fashion Week di kawasan Dukuh Atas mendadak viral karena gaya busana nyentik yang didominasi anak muda dari Depok, Citayam, dan Bojonggede.
Editor: Sandro Gatra

KIPRAH Bonge, Roy, Jeje, dst serta abege SCBD (Sudirman Citayam Bojonggede Depok) tak henti dibicarakan. Sebagai bentuk perlawanan kelas sosial, bahkan dari pembicaraan kini menjadi "rebutan" kelas sosial the have.

Tengoklah mulai dari selebritis ternama hingga pejabat publik, nyaris seluruhnya ikut larut.

Dari semula menilai kampungan pemuda-pemudi Dukuh Atas ini, kemudian ikut bangga terasosiasi dengan mereka.

Dari awalnya memandang sebelah mata pada Citayam Fashion Week (CFW) ini, sekarang ingin menjadi bagian yang disorot mata publik dari ranah SCBD tersebut.

Sebagai praktisi digital, khususnya customer experience dan AI, penulis menulis sejumlah hal penting yang harus dilakukan agar kehebohan ini tak sebatas bergaung karena viral-nya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lebih dari itu, bisa membawa perubahan signifikan yang mampu menjadi bagian dari peningkatan ekonomi digital dan mendorong perubahan budaya yang lebih baik.

Pertama, kita harus memiliki mindset bahwa pemberontakan fashion jalanan ‘kampungan’ ala CFW ini bisa menjadi salah satu kiblat baru di dunia fashion tanah air.

Milikilah pemahaman bahwa CFW adalah embrio yang layak dimatangkan. Misalnya, dilakukan penerbitan sekaligus pengelolaan kegiatan lebih baik dan rapih, semisal diadakan tiap CFD (Car Free Day) di jalan protokol dari banyak kota-kota besar di Indonesia.

Alih-alih terus menggangu ketertiban lalu lintas di kawasan SCBD, helatan serupa digelar lebih resmi, massif, sekaligus bergaung di ruang publik yang lebih luas seperti pas CFD.

Kedua, sediakan sekaligus kuatkan ekosistem pendukung fashion. Mulai dari media, desainer, brand, photografer, content creator, dan banyak lagi. Ini penting karena sebagai bagian utama menjaga keberlangsungan kegiatan. Ingat!

Harajuku di Jepang dan atau Beijing street fashion di Tiongkok pun terbentuk mapan setelah dijaga keberlangsungannya selama bertahun-tahun, bukan sesaat.

Dan ini terjadi karena ekosistem dijaga dengan baik oleh otoritas setempat, antara lain dengan menghadirkan kolaborasi ekosistem tersebut.

Ketiga, jangan dibiarkan mengalir begitu saja, tapi juga dorong kreativitas digital milenial ke arah positif.

Secara natural, generasi muda Indonesia sudah belajar sendiri dengan hebat untuk menjadi kreator konten.

Menyeruaknya media sosial dalam setiap sendi hidup mereka telah mendorong mereka menjadi Youtuber, Selebgram bahkan termasuk produksi konten flexing (pamer atau memamerkan diri agar terkenal).

Jika saat pandemi flexing dengan High Fashion seperti barang mahal bermerek, hingga mejeng dengan pesawat pribadi.

Maka, sepengamatan penulis, pascapandemi kebutuhan eksistensi di ruang publik meningkat plus kreativitas konten digital pada Tiktok dan Reels IG.

Lihatlah di banyak CFD, para zilenial tersebut melakukan ‘konser’ unjuk kemampuan musik dengan menyanyi, main gitar, biola, dan lainnya.

Maka itu, sifat asli mereka yang berbakat ini harus diawasi dan diarahkan selalu positif dan produktif. Jangan malah kebablasan, dan tren ini sudah ada semisal terkait pergaulan bebas, LGBT, dan sejenisnya.

Merujuk apa yang terjadi pada Harajuku yang kemudian melahirkan merk fashion jalanan legendaris seperti BAPE, Undercover, dan Neighborhood, maka tentu potensi ini bisa pula dilanjutkan Bangsa Indonesia. Antara lain dengan melakukan tiga poin di atas.

Pada akhirnya, waktu jua yang akan membuktikan, apakah kreativitas Zilenial
Digital Indonesia di ruang publik ini sekadar menjadi viral karena sensasinya, atau sebagaimana spirit tulisan ini, untuk menjadi angin perubahan yang membawa dampak positif bagi Indonesia. Pilihan ini semua, ada di tangan kita.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi