Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Analis Kebijakan LAN
Bergabung sejak: 30 Jul 2022

Analis kebijakan dan sosiolog. Bekerja di Lembaga Administrasi Negara.

Pentingnya Meregulasi "Big Tech"

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock
Ilustrasi media sosial
Editor: Sandro Gatra

HARI-HARI ini, dunia digital di Indonesia dihebohkan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat baik asing maupun domestik untuk mendaftarkan diri sampai batas waktu 20 Juli 2022.

Kehebohan bersumber dari ketentuan bahwa mereka yang tidak mendaftarkan diri dianggap ilegal dan akan mendapatkan sanksi berupa pemblokiran.

Peraturan terkait kewajiban mendaftar tersebut diatur dalam Permenkominfo No. 5/2020 yang kemudian diubah dengan Permenkominfo No. 10/2021.

Menurut Kominfo, kewajiban bagi PSE untuk melakukan pendaftaran dilakukan demi keamanan konsumen dan akan memudahkan jika terjadi masalah dengan masyarakat di masa depan.

Publik bereaksi keras terhadap langkah ini. Pemblokiran yang sejauh ini telah dilakukan secara aktual terhadap beberapa PSE menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah satunya adalah PayPal. Karena platform ini diblokir, penggunanya tidak dapat melakukan transaksi dan dananya tertahan.

Selain kerugian secara langsung, amatan kritis juga diberikan pada muatan substansi dari Permenkominfo No. 5/2020.

Menurut beberapa organisasi masyarakat sipil, peraturan tersebut berpotensi melangggar hak asasi manusia melalui pembatasan kebebasan berekspresi dan rongrongan terhadap privasi.

Dalam pasal 9 misalnya, disebutkan bahwa PSE dilarang mencantumkan informasi terlarang atau memfasilitasi pertukaran data terlarang.

Demikian pula pasal 14 yang memberikan kewenangan bagi aparat untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.

PSE wajib menghapus konten terlarang tersebut. Jika menolak mematuhi, maka mereka akan mendapatkan sanksi berupa denda atau pemblokiran.

Apa yang menjadi masalah dari ketentuan tersebut adalah batasan dari data terlarang yang sangat plastis, di mana disebutkan bahwa data tersebut adalah data yang digolongkan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

Batasan ini terlalu luas sehingga rentan disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki pengaruh kuat.

Ditemukan juga problem dalam pasal 21 yang mewajibkan PSE untuk memberikan akses terhadap sistem dan data elektroniknya kepada pemerintah dalam rangka pengawasan.

Ini senada dengan pasal 36 yang memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum untuk meminta PSE memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi.

Hal ini sangat rentan disalahgunakan karena bisa saja data yang diminta adalah data yang terkait dengan para pengkritik pemerintah.

Permintaan data semacam itu seharusnya dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Karena berbagai keberatan tersebut, berbagai organisasi masyarakat sipil menggalang dukungan publik untuk menyampaikan surat protes kepada Kominfo atau membuka pos pengaduan bagi yang merasa dirugikan.

Di luar riuh pro kontra yang terjadi, drama kewajiban daftar bagi PSE ini sesungguhnya menguak satu hal krusial, yakni ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.

Ketidakpercayaan ini tentu tidak muncul dari ruang kosong. Ada pengalaman sebelumnya yang menimbulkan ketidakpercayaan tersebut.

Kecenderungan elite politik dan ekonomi untuk melaporkan pengkritiknya dengan dalih pencemaran nama baik yang sangat longgar pengertiannya dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menimbulkan kekhawatiran serupa bahwa interpretasi longgar mengenai informasi yang meresahkan masyarakat dan menganggu ketertiban umum sebagaimana tertuang dalam Permenkominfo No. 5/2020 akan digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Ketidakpercayaan menjadi semakin parah ketika Kominfo gagal menampilkan dirinya sebagai pihak yang kredibel dan berwibawa.

Berbagai masalah diungkap oleh publik terkait dengan sengkarut pendaftaran. Situs untuk melakukan pendaftaran sering bermasalah dan juga sempat diretas.

Verifikasi PSE yang telah mendaftar disinyalir dilakukan dengan tidak akurat dan gegabah, termasuk di antaranya dengan menyetujui PSE bermasalah seperti judi daring.

Ada pula penyelidikan media yang mengungkap bahwa ternyata Kominfo sendiri menggunakan berbagai layanan dari PSE yang menurut standar Kominfo ilegal karena belum mendaftar.

Di sisi lain, kalangan yang kritis terhadap pemerintah pun sayangnya juga tidak mengarahkan kritisisme serupa kepada PSE.

Padahal sudah seharusnya mereka juga mendapatkan kritik dan pengawasan serupa. Ini terutama berlaku bagi PSE yang tergolong dalam perusahaan teknologi multinasional yang sangat dominan ("Big Tech") seperti Google, Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan sebagainya.

Sesungguhnya, meskipun tidak dinyatakan secara terbuka, berbagai perusahaan "Big Tech" itulah yang menjadi sasaran pemerintah karena mereka mendominasi kehidupan digital masyarakat melalui "network effect" yang dimilikinya.

Namun, ketika muncul ancaman pemblokiran terhadap mereka karena tak kunjung mendaftar menjelang batas akhir, publik lebih banyak menempatkan diri sebagai konsumen yang dirugikan karena terancam tidak dapat lagi menikmati layanan yang diberikan berbagai perusahaan "Big Tech".

Ketidakpercayaan yang berpadu dengan ketergantungan terhadap "Big Tech" ini fatal karena kemudian menutupi satu kebenaran mendasar, yakni pentingnya pemerintah mengatur perusahaan "Big Tech".

Urgensi pengaturan timbul karena berbagai perusahaan "Big Tech" menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya melalui model bisnis dan operasional yang diterapkan.

Dengan alasan bahwa mereka merupakan perusahaan digital atau bermarkas di negara lain, perusahaan "Big Tech" seringkali menghindari pajak.

Padahal, mereka beroperasi di hampir semua negara dan menangguk untung besar dari pengguna yang berdomisili di negara-negara tersebut.

Selain tidak adil, ini tentu juga merugikan negara yang seharusnya dapat menarik pajak dari aktivitas mereka.

Mereka juga seringkali tidak mengindahkan aspek etis dalam operasinya. Media sosial menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya seperti kecanduan karena sifat adiktif yang melekat di dalamnya.

Mereka juga menimbulkan gangguan psikologis seperti depresi dan krisis kepercayaan diri karena menampilkan konten yang tidak realistis dengan kehidupan sehari-hari sebagian besar penggunanya.

Ada pula masalah terkait privasi. Memanfaatkan algoritma canggih, perusahaan "Big Tech" menambang data setiap saat kita menggunakan layanan mereka untuk mengetahui preferensi kita dalam berbagai hal.

Kita kemudian disuguhi iklan dan informasi yang dirasa sesuai dengan minat kita. Ini menimbulkan perilaku konsumerisme dan apa yang disebut dengan "filter bubble" dan bias konfirmasi yang menimbulkan kepicikan pandangan karena kita hanya terekspos dengan informasi yang kita sukai atau setujui.

Media sosial dapat digunakan secara gratis karena pengguna bukanlah konsumen. Melalui data yang diberikannya dan konten yang dibuatnya, pengguna sesungguhnya merupakan pekerja dan sumber keuntungan bagi perusahaan media sosial.

Media sosial tidak peduli dengan kebenaran. Apa yang mereka pedulikan hanya sejauh mana sebuah konten mampu menarik perhatian sebanyak mungkin.

Melalui media sosial, tumbuh cuaca sosial yang sarat akan "hoax" dan "post-truth". Selain itu, mereka juga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk memecah belah masyarakat dan memanipulasi proses politik sebagaimana terbukti dalam kasus Cambridge Analytica.

Berbagai dampak negatif tersebut telah disadari oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, India, dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Mereka telah dan tengah menyusun peraturan untuk membatasi dampak negatif "Big Tech". Indonesia sudah seharusnya meniru langkah serupa.

Negara mempunyai kekuatan dan kewenangan yang besar. Hal ini harus dimanfaatkan secara produktif dan tepat dengan mengontrol berbagai ekses buruk dari perusahaan "Big Tech".

Pemerintah jangan salah langkah dengan mendasarkan peraturannya pada batasan yang sumir atau proses yang terkesan unilateral sebagaimana tercermin dalam peraturan yang ada sekarang.

Kritik yang disampaikan masyarakat mesti menjadi masukan agar regulasi yang ada diperbaiki.

Selain itu, regulasi mesti menyasar aspek-aspek yang lebih strategis, misalnya dengan membuat ketentuan yang lebih ketat terkait pajak, hubungan ketenagakerjaan, larangan monopoli, dan "hoax".

Regulasi terhadap "Big Tech" hanya dapat berjalan secara efektif apabila publik mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah.

Pemerintah harus membuktikan bahwa pengaturan yang ditujukannya terhadap "Big Tech" sungguh dilakukan demi kemaslahatan publik, bukan untuk disalahgunakan dan membatasi hak asasi.

Dengan kepercayaan dari publik, maka regulasi dapat ditegakkan dengan konsisten. Dukungan dari publik juga akan mengimbangi resistensi dari "Big Tech" yang tentu akan melawan regulasi terhadapnya dengan memanfaatkan uang, pengaruh, dan jaringan lobi yang dimilikinya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi