Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Penduduk Surga Sebagian Besar Bangsa Indonesia, kecuali ...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO
Lokasi dugaan penimbunan sembako bantuan presiden di Lapangan KSU, Sukmajaya, Kota Depok, Senin (1/8/2022). Beras bantuan sosial tersebut ditimbun di Depok, diduga dipendam 2 tahun lalu saat awal Covid-19 di Indonesia.
Editor: Egidius Patnistik

KABAR lelayu tentang kelaparan masih ada di Tanah Air. Tiga warga di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lany Jaya, Papua meninggal dunia dan ratusan lainnya menderita karena kelaparan akibat musibah kekeringan yang terjadi sejak awal Juni lalu.

Hingga saat ini Pemerintah Provinsi Papua terus berusaha menurunkan bantuan pangan untuk warga yang kelaparan (Kompas.id, 2 Agustus 2022).

Merujuk data Word Food Programme (WFP), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan atau kelaparan akut di tingkat global melonjak lebih dari dua kali lipat sejak 2019 atau sebelum pandemi Covid-19. Saat ini, jumlah warga yang mengalami kerawanan pangan akut mencapai 276 juta. Padahal, sebelum pandemi hanya berjumlah 135 juta orang (Cnnindonesia.com, 15 Juli 2022).

Waktu saya masih bocah dan tinggal di Malang, Jawa Timur di era 1970-an, mendiang Ibu saya kerap mengingatkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Mengambil makanan hanya secukupnya dan makan pun tidak ada pilihan selain tempe dan tempe.

Maklum sebagai keluarga tentara berpangkat rendah dan memiliki “KB” alias keluarga besar dengan enam anak serta tinggal bersama pula dengan kakek-nenek dan kerabat yang lain, kehidupan keluarga saya sangat sederhana.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demikian pula ketika keluarga saya hijrah ke Depok, Jawa Barat di tahun 1980-an saat mendiang Ayah memilih menjadi satuan pengamanan usai pensiun dari TNI-AD, urusan makan begitu diatur “ketat” oleh Ibunda.

Setiap makanan yang tersisa, selalu dimaksimalkan oleh Ibu agar masih bisa dimakan kembali untuk esok hari atau diberikan kepada tetangga lain yang kondisi ekonominya di bawah kami. Saya sering menahan lapar saat berkuliah di Jurusan Kimia Fakutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI) di Kampus Salemba, Jakarta.

Saya tidak mendapat cukup uang saku dari Ayah yang bekerja menjadi satpam. Saya tahu diri apalagi saya juga kuliah rangkap di Fakultas Hukum UI. Puasa menjadi obat ampuh untuk menahan lapar selain tiduran di dinginnya lantai Masjid Arif Rahman Hakim Kampus UI Salemba atau Masjid Ukhuwah Islamiyah Kampus UI Depok.

Saat mendengar berita penemuan timbunan bantuan sosial sembako presiden yang berisikan beras, tepung terigu dan telur di Depok, Jawa Barat pada 29 Juli 2022 lalu, hati saya teriris-iris dibuatnya. Saya marah, kecewa dan sakit hati. Betapa tidak, paket bantuan sembako dari Presiden Joko Widodo disinyalir ditimbun di tahun 2020.

Kita semua tentu ingat, era 2020 adalah awal merebaknya pandemi Covid-19 dan kondisi kehidupan masyarakat kita begitu “babak-belur” karena sulitnya mendapatkan penghasilan. Berapa banyak jiwa yang bisa makan dari timbunan paket sembako bantuan presiden andai saat itu tersalurkan dengan baik?

Begitu mudah sekali “orang-orang” hebat dan besar itu menyia-nyiakan rezeki yang harusnya dimiliki orang yang kurang pangan. Tega sekali, sekaligus biadab. Bagaimana tidak di saat banyak orang membutuhkan pangan berharga murah apalagi yang ditimbun ini adalah bantuan bahan makanan untuk kemanusian, masih saja ada yang mengingkari rasa manusiawinya.

Timbunan sembako busuk karena kadaluarsa di lahan kosong depan pergudangan perusahaan jasa pengiriman logistik JNE di Jalan Tugu Jaya, Kampung Serab, Tirtajaya, Depok itu hingga sekarang masih misteri karena semua pihak yang terlibat dengan urusan pengiriman dan penyaluran bantuan sosial presiden saling “lempar tanggungjawab” dan saling “menyalahkan” instansi yang lain.

Baca juga: Teka-teki Timbunan Sembako Bantuan Presiden dan Tanda Tanya Soal Penggantian Beras Rusak

Sudah menjadi “wajah” umum birokrasi kita, semua pihak saling ngeles dan merasa pihaknya tidak terlibat jika ada persoalan yang membetot perhatian publik. Jika ada prestasi yang viral, semua kalangan berebut memamerkan andil perjuangannya tetapi begitu ada “masalah” maka semuanya saling tuding dan ingin “cuci tangan”.

Pihak Istana membantah keterlibatan pihak swasta dalam hal penyaluran bantuan sosial. Semua bantuan sembako dari Presiden telah dikirimkan langsung ke masyarakat tanpa melalui pihak ketiga.

Bantuan sembako yang dikubur di Depok diduga “orang dalam” Istana merupakan bantuan presiden yang didistribusikan oleh Kementerian Sosial. Sementara Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy menegaskan urusan penimbunan paket bantuan sembako adalah kewenangan perusahaan JNE, tidak ada kaitannya dengan pihaknya atau Kementerian Sosial.

Menko PMK pantas lantang “bersuara” mengingat Kementerian Sosial berada di bawah koordinasinya.

Setali tiga uang, Menteri Sosial Tri Rismaharini malah menyebut pembagian paket sembako bukan terjadi di eranya tetapi di zaman menteri sosial sebelumnya. Menurut Tri Rismaharini, kebijakan di eranya hanya menyalurkan bantuan dalam bentuk nominal uang, bukan barang. (Kompas.com, 2 Agustus 2022).

Mungkin Tri Rismaharini “lupa” jika menteri sebelumnya juga berasal dari partai yang “sama”.

Uniknya saat konferensi pers untuk menjelaskan persoalan penimbunan paket sembako, keterangan Inspektur Jenderal Kementerian Sosial Dadang Iskandar malah “dibantah” oleh Tri Rismaharini. Awalnya Dadang menguraikan bahwa pengawasan di era Menteri Sosial Juliari P Batubara (menteri sebelum Tri Rismaharini) sudah sangat ketat.

Pengawasan penyaluran bantuan diawasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pengawasan ini mencakup mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah serta berakhir di tingkat penerima bantuan sosial.

Dadang menyebut kecurangan “kecil” seperti yang terjadi di Depok bisa saja terjadi tetapi pengaruhnya tidak begitu besar terhadap program yang dijalankan Kementerian Sosial.

Tentu saja jawaban ini disangggah oleh Tri Rismaharini. Tri bahkan menegur pernyataan anak buahnya bahwa seharusnya tidak menjawab mekanisme pengawasan yang dijalankan dari tingkat pusat hingga daerah. Harusnya Inspektur Jenderal menjelaskan bukti apakah proses administrasi terkait pengawasan sudah dijalankan atau belum (Kompas.com, 02/08/2022).

Seperti ingin menambah “kebenaran” ucapan atasannya, Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial Mira Riyanti mengatakan, kementeriannya tidak pernah bekerja sama dengan JNE dalam penyaluran bantuan sosial presiden. Kementerian Sosial hanya bekerja sama dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam rangka penyaluran bantuan sosial berupa beras dari pemerintah.

Saat mendapat tudingan dari umpan “bola lambung” Kementerian Sosial, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso menjelaskan, awalnya Bulog mendapat penugasan dari Presiden Jokowi untuk menyalurkan bantuan Presiden. Bulog hanya bekerja sama dengan transporter PT DNR dan PT Pos Indonesia.

Baca juga: Bulog Akui Salurkan Beras Bantuan Presiden Lewat Pihak Ketiga, Bukan JNE dan DNR

Menurut Buwas, panggilan Budi Waseso, semua bantuan telah tersalurkan sesuai data yang dipegang Bulog serta tidak ada komplain hingga saat ini (Kompas.com, 2 Agustus 2022).

Pihak JNE yang mengubur paket sembako itu mengatakan bantuan presiden tersebut mengalami kerusakan karena kadaluarsa. JNE juga menambahkan, penguburan tersebut sudah sesuai dengan prosedur operasi standar serta perjanjian kerja sama yang dibuat dengan PT DNR selaku penyalur bantuan sosial.

Kontrak kerjasama antara JNE dengan DNR mencakup penyaluran ratusan ribu ton bantuan sosial. Peran JNE sebagai jasa ekspedisi yang bertugas mengantar beras bantuan sosial kepada warga yang namanya terdaftar dalam penerima bantuan sosial. Dalam proses pengangkutan dari gudang menuju penyaluran, bisa saja terkena guyuran hujan sehingga rusak.

Adakah surga untuk pengemplang bantuan sosial?

Uniknya rangkaian bantahan demi bantahan, tuding sana tuding sini, setiap pihak menganggap dirinya sudah menjalankan prosedur tetapi pada awal dan akhirnya semuanya menguakkan kebohongan yang tidak sempurna.

Pihak JNE semula meminta bantuan kepada salah satu warga untuk mencarikan tukang gali tanah karena akan membuat lubang pembuangan tinja (septi tank). Para penggali selama beberapa hari berhasil menuntaskan pembuatan galian sedalam tiga meter.

Saat galian sudah siap digunakan, tanpa sepengetahuan warga setempat pihak JNE menimbun paket sembako yang rusak. Selang dua tahun kemudian, timbunan yang menimbulkan aroma busuk itu terbongkar oleh rasa penasaran warga setelah mendapat info dari pegawai JNE.

Dengan demikian, sejak awal terjadinya penimbunan memang telah dikondisikan dengan “penyamaran” fakta dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Sebetulnya cukup mudah untuk mengurai kasus ini yakni dengan mengikuti aliran paket sembako bantuan presiden dari awal. Darimana JNE mendapat pekerjaan penyaluran? Apakah perjanjian antara JNE dengan DNR sudah dijalankan dengan benar? Jika terjadi kerusakan logistik apakah JNE sudah melakukan penggantian.

Demikian juga dengan pola kerja sama penyaluran paket bantuan sosial antara pihak kementerian atau Bulog dengan swasta, apakah memang dimungkinkan dialihkan lagi oleh pihak swasta ke pihak lain? Dari kasus ini, PT DNR yang sudah menjalin kerjasama dengan Bulog, malah mensub-kan lagi pekerjaan penyaluran ke perusahaan swasta yang lain, dalam hal ini JNE.

Kasus karut marut bantuan sosial dari presiden yang sebenarnya bertujuan baik tetapi berakhir sangat mengenaskan itu harusnya menjadi momentum untuk membenahi program-program penyaluran bantuan kemanusian. Presiden tidak lagi mendapat laporan “Asal Bapak Senang” tetapi harus mengoptimalkan fungsi-fungsi pengawasan terhadap penyaluran bantuan sosial untuk kemanusiaan.

Temuan penimbunan paket sembako di Depok boleh saja dianggap “kecil” oleh Inspektur Jenderal Kementerian Sosial tetapi apakah publik yakin selama ini penyaluran paket bantuan sosial lainnya tepat sasaran dan tepat guna? Apakah masih ada kasus-kasus penimbunan paket bantuan sosial lainnya? Mungkin saja.

Para pejabat ada baiknya sering mengunjungi rumah yatim piatu yang penghuninya kerap menahan lapar karena ketiadaan bahan makanan yang tersedia. Atau ke tempat indekos mahasiswa bertarif murah yang penghuninya hanya makan seadanya dan kerap puasa karena sulitnya orang tua di kampung mengirimkan uang bulanan.

Paket sembako sebanyak satu kontainer menurut saya bukan hal yang sedikit. Orang atau pihak yang “mempermainkan” bantuan sosial, termasuk dengan elite-elite Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang borok permainan “manipulasi” penyaluran bantuan sosialnya telah terbongkar beberapa waktu yang lalu, menurut pandangan saya sangat tercela dan nista! Apakah ada tempat atau kavling bagi mereka di surga? Wallahu a’lam bishawab.

Walau Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin kemarin menyebut sebagian besar penghuni surga adalah bangsa Indonesia, tetapi masih adakah bagian atau bilik di surga untuk para penipu dan pengemplang bantuan sosial dari Indonesia? Jawabnya ada pada rintihan anak yatim piatu, fakir miskin dan orang terlantar yang butuh makan!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi