Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pelajar/Mahasiswa Dosen
Bergabung sejak: 18 Mei 2022

Akademisi Pemerhati Bahasa dan Sosial Budaya

Rasialisme Kebahasaan di Indonesia Sebuah Fenomena Gunung Es yang Semakin Besar

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Mahasiswa Papua menggelar aksi demonstrasi di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019). Massa aksi menuntut agar rasialisme terhadap rakyat Papua dihentikan dan menuntut pemerintah membuka kembali akses internet di Papua.
Editor: Egidius Patnistik

ISU rasialisme kebahasaan makin marak dijumpai di Indonesia. Satu kasus yang sempat ramai diberitakan terkait twit pegiat media sosial Permadi Arya terhadap eks komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang berdarah Papua (tahun 2021). Pada tahun yang sama, Natalius juga diberitakan mendapatkan tindakan rasial dari Ambroncius Nababan, politisi Partai Hanura dan Yusuf Leonard Henuk, profesor Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU).

Uniknya, di saat hampir bersamaan, Natalius juga dituding melakukan tindakan rasial terhadap suku Jawa dan Padang (Genik, 2021).

Pada akhirnya, konflik dalam ranah kebahasaan itu menjadi tidak jelas dan menguap begitu saja. Meski pada akhirnya kasus Pigai mereda dengan sendirinya, tanpa penyelesaian di ranah hukum, tetapi kasus itu menjadi bukti tentang fenomena gunung es tindakan rasialisme kebahasaan di Indonesia.

Baca juga: Kasus Dugaan Rasialisme terhadap Natalius Pigai, Ini yang Perlu Dilakukan Negara

Hilangnya kasus itu dengan cepat dari sorotan publik menjadi bukti pula bahwa rasialisme kebahasaan di Indonesia masih dianggap bukan suatu hal yang penting, sehingga siapapun pelakunya tidak perlu dibawa ke ranah hukum dan perbuatannya akan mudah dilupakan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isu rasialisme kebahasaan sebenarnya dapat menjadi salah satu faktor yang mencetuskan disintegrasi bangsa. Jika isu-isu kebahasaan dibiarkan bergulir secara liar tanpa ada kontrol yang jelas dari pemerintah, isu-isu tersebut dapat dimanfaatkan pihak yang memiliki kepentingan politik untuk mencapai tujuan politik tersebut.

Isu ini mudah sekali dipelintir menjadi isu yang lebih besar seperti superioritas bahasa atau segregasi masyarakat yang dapat menjadikan sebagian masyarakat merasa superior sedangkan sebagian lagi merasa terintimidasi dan terdiskriminasi. Akibatnya, kondusivitas masyarakat menjadi kurang terjaga yang berakibat lahirnya disintegrasi.

Pertanyaannya  adalah seberapa dalam rakyat Indonesia memiliki pemahaman tentang isu rasialisme kebahasaan? Pernahkah terbersit dalam pikiran rakyat Indonesia bahwa bangsa ini sedang berada dalam darurat rasialisme kebahasaan?

Dua pertanyaan itu menggangu saya ketika saya melihat bahwa kasus Pigai dan kasus-kasus rasilisme kebahasaan yang lain dianggap sebagai sebuah kasus yang tidak berharga sehingga tidak layak menjadi perhatian publik. Padahal, di negara lain, seperti di Amerika Serikat (AS), isu-isu rasialisme kebahasaan telah menjadi subjek ilmiah yang banyak dikaji dan diulas para pakar, khususnya mereka yang terkumpul dalam komunitas rasiolinguistik.

Fenomena di AS dan kajian rasiolinguistik

Isu rasialisme kebahasaan sudah ada di AS sebelum negara tersebut mendeklarasikan kemerdekaannya tahun 1776. Isu ini masih menjadi bayang-bayang isu besar saat itu, yaitu perbudakaan dan emansipasi wanita.

Isu rasialisme kebahasaan baru muncul sebagai isu terpisah pasca pidato inagurasi Presiden Barack Obama pada 2008 yang memiliki latar belakang kulit hitam. Pidato Obama ketika itu sukses menyedot perhatian khalayak dan banyak di antara orang-orang terkenal negeri ini turut pula memberikan ulasan terhadap gaya bahasanya termasuk juga ulasan yang bernada rasial.

Pada waktu itu, banyak orang tertarik memantau gaya bahasa yang digunakan Obama dan memberikan stempel bermacam-macam pada gaya pidatonya. Ada yang mengatakan gaya retorikanaya beraksen kulit hitam, ada pula yang mengatakan tanpa aksen.

Baca juga: Pidato Obama Menyentuh Hati Kaum Muda Kulit Hitam AS: Kalian dan Hidup Kalian Berarti

Fenomena itu menunjukkan bahwa bahwa rasialisme di AS masih nyata. Idealnya, setelah melewati sejarah panjang yang sebagian porsi di antaranya diwarnai dengan rasialisme, AS seharusnya layak disebut sebagai negara postrasial; sehingga dapat dikatakan bahwa rasialisme hanya ada di masa lalu, bukan di masa kini.

Sayangnya, melihat begitu banyaknya fakta, termasuk fakta seputar komentar rasial tentang pidato Obama, AS adalah negara yang tidak setoleran yang kita kira. Alim (2016) bahkan secara ironis mengatakan, alih-alih postrasial, masyarakat AS sebenarnya adalah masyarakat hiperrasial.

Tidak lama setelah Obama terpilih sebagai presiden, masyarakat linguistik antropologi di AS berkumpul di San Francisco untuk membahas perlukah kiranya domain bahasa disertakan dalam proyek-proyek yang berhubungan dengan ras dan rasialisme. Topik ini kemudian dibawa dalam diskusi paralel yang membahas tentang adanya kebutuhan untuk membangun sebuah teori tentang bahasa dan hubungannya dengan ras atau yang dikenal sebagai sebagai rasiolinguitik.

Rasiolinguitik sangat tertarik untuk membahas, meneliti, dan menemukan solusi dari munculnya wacana-wacana, pengetahuan-pengetahuan, serta praktik-praktik sosial kebahasaan yang berbau rasial. Rasialisme kebahasaan seringkali dijumpai dalam bentuk perlakuan-perlakuan yang tidak baik seperti marjinalisasi, pengucilan atau pendeskriditan orang atau kelompok orang dengan cara membangun dan melanggengkan hubungan kekuasaan yang tidak setara yang ditentukan oleh perbedaan ras.

Cakupan rasialisme kebahasaan sangat luas. Menurut Kubota dan Lin (2009), rasialisme kebahasaan dapat terjadi dalam tataran individu, kelembagaan, maupun epistemologi.

Rasiolinguitik mendapatkan momentum yang tepat untuk besar ketika gerakan Black Lives Matter (BLM) atau "Nyawa Orang Kulit Hitam Berharga" semakin lama semakin membahana di dunia (Lihat Croom, 2020). BLM awalnya adalah gerakan yang digagas para aktivis pembela komunitas Afrika-Amerika yang aktif mengadvokasi dan menentang kekerasan maupun rasialisme sistemik terhadap orang-orang kulit hitam.

Gerakan ini bermula tahun 2013 dalam bentuk penggunaan tagar #BlackLivesMatter di media sosial setelah George Zimmerman dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan AS. Padahal Zimmerman adalah pelaku penembakan Travyon Martin pada Februari 2012, seorang pemuda berkulit hitam.

Baca juga: Demo Black Lives Matter Merebak Lagi, Massa Serbu Gedung Putih

Gerakan BLM lalu berkembang menjadi sebuah jaringan nasional dengan lebih dari 30 cabang antara tahun 2014 hingga 2016.

Pada pertengahan tahun 2020, BLM benar-benar menunjukkan eksistensinya setelah berhasil menggerakkan massa untuk turun ke jalan di masa pandemi Covid-19, pasca kematian George Floyd pada 25 Mei 2020. George Floyd seorang Afro-Amerika yang tewas saat ia ditahan pihak kepolisian Minneapolis, Minnesota, dengan tuduhan membeli rokok di toko kelontong menggunakan uang palsu.

Ketika BLM bergulir, pada saat itulah pegiat komunitas rasiolinguitik merasa benar-benar menemukan peranan mereka dalam masyarakat. Selama ini, linguistik dimasukkan sebagai cabang ilmu sekunder karena dianggap terlalu teoritis dan manfaatnya pada masyarakat kurang begitu terasa.

Ketika BLM bergulir, para rasiolinguis mampu menunjukkan posisi mereka sebagai orang-orang yang memberikan kontribusi perubahan pada masyarakat. Saya, yang kebetulan sedang kuliah di Arizona, AS, menjadi saksi hidup dari betapa sibuknya professor-profesor yang saya kenal, para rasiolinguis di Amerika yang seringkali diminta menjadi narasumber, konsultan, analis, serta anggota komite dari banyak organisasi yang berhubungan dengan antirasialisme.

Bagaimana di Indonesia

Rasiolinguistik yang berkembang di AS ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada sudut pandang masyarakat Indonesia terkait rasialisme kebahasaan. Padahal, tidak dapat dipungkiri, tiga jenis rasialisme kebahasaan seperti yang disampaikan Kubota dan Lin, yaitu rasisme kebahasaan oleh individu, kelembagaan, serta epistemologis, banyak sekali dijumpai keberadaannya.

Jenis kasus rasialisme kebahasaan yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat Indonesia adalah kasus rasialisme individu. Kasus ini biasanya mencuat kepermukaan jika dilakukan atau menimpa seorang tokoh masyarakat seperti Natalius Pigai seperti dalam contok di atas.

Kasus rasialissme kebahasaan individu lainnya dapat dilihat dari beragam konten rasial berbungkus humor yang sering dibawakan para komika di acara pencarian bakat standing up commedy Indonesia.

Kasus rasialisme kebahasaan yang laten adalah istilah-istilah rasialisme yang dimunculkan para buzzer politik sebagai akibat dari polarisasi politik pasca Pilpress 2018. Para buzzer ini turut menyumbang jumlah kasus rasialisme kebahasaan dengan menciptakan istilah-istilah baru yang bernada rasial seperti ‘kadrun’ (kadal gurun) yang merujuk pada orang-orang Arab (Heriyanto, 2019), ‘aseng’ yang merujuk pada orang-orang Tiongkok, dan ‘antek barat’ yang merujuk pada orang-orang yang pro liberalisme.

Rasisme institusional atau rasisme sistemik terkadang muncul tanpa disadari masyarakat. Rasialisme jenis ini berskala lebih besar karena melibatkan negara seperti contoh adalah kekurangseriusan pemerintah Indonesia dalam merawat bahasa daerah yang jumlahnya ratusan di Indonesia.

Ketidakseriusan ini terlihat ketika pemerintah tidak memasukkan kegiatan konservasi bahasa lokal secara serius ke dalam bagian kurikulum pendidikan nasional. Wahyudin (2013) bahkan menyatakan di media massa keprihatinannya terkait kebijakan kurikulum pendidikan nasional tahun 2013 yang dianggapnya telah melakukan tindakan kejahatan genosida kebahasaan karena pemerintah tidak secara eksplisit mencantumkan bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dikuasai setara dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Tanpa pencantuman kesetaraan ini, bahasa daerah seringkali dianggap sebagai simbol ketidakmajuan dan keterbelakangan. Urutan pertama dari bahasa yang wajib dikuasai masyarakat Indonesia adalah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa nasional, sudah sepantasnya bahasa Indonesia diperhatikan oleh pemerintah.

Ketika bahasa Inggris telah bergeser menjadi kebutuhan dan makin banyak sekolah menerapkan kebijakan bilingual (Indonesia-Inggris) sebagai bahasa percakapan di lingkungan sekolah, maka situasi pemarjinalan penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah seringkali terjadi (lihat Piliang 2021).

Padahal, pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan yang dapat mengurangi ketimpangan itu. Kasus yang jelas bagaimana pemerintah serta masyarakat kurang berpihak pada bahasa daerah adalah hingga saat ini tidak banyak perguruan tinggi Indonesia memiliki sebuah program studi yang khusus menaungi bahasa-bahasa lokal di Indonesia. Padahal Indonesia memilik lebih dari 500 bahasa lokal.

Rasialisme kebahasaan epistemologis di Indonesia kebanyakan muncul dalam bentuk sudut pandang yang bersifat inferior. Salah satunya adalah berkaitan dengan cara pandang bangsa terhadap ras dan bahasa lain. Misalnya, orang kulit putih dan bahasa Inggris yang dianggap lebih baik dari orang kulit sawo matang dan bahasa Indonesia. Pandangan semacam ini oleh Motha (2020) disebut sebagai kolonialisasi kontemporer.

Secara lebih detail, pemerintah dan masyarakat Indonesia masih menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa favorit yang urgen untuk dikuasai. Hal ini ditandai dengan masuknya penguasaan bahasa Inggris (dan bukan bahasa daerah) sebagai komponen yang menentukan kualitas serta kelulusan siswa secara nasional.

Banyaknya perhatian pemerintah pada bahasa Inggris (daripada bahasa daerah) yang ditandai dengan sering diadakannya lelang proyek pengadaan lab listening dan buku-buku berbahasa Inggris untuk sekolah sebagai sarana pendukung pembelajaran bahasa Inggris (lihat Hamzah, 2012) menunjukkan bukti-bukti konkret adanya ketidakadilan kebijakan.

Dari sini pula kita dapat melihat ada sudut pandang inferioritas bangsa Indonesia yang lalu memaksa masyarakat Indonesia untuk belajar bahasa Inggris dan menganggap warga negara Indonesia yang menguasai bahasa Inggris sebagai warga negara yang unggul dan terdidik.

Pandangan inferioritas rasial ini pada akhirnya memakan korban. Salah satunya yang kemudian menjadi sorotan media massa adalah munculnya kritik terhadap kemampuan bahasa Inggris Presiden Jokowi, yang dianggap minim jika dibanding dengan kemampuan bahasa Inggris para pemimpin dunia lainnya. Salah satu berita yang saya saya jumpai terkait masalah ini adalah hoaks melalui Twitter yang dilakukan seorang netizen terkait Presiden Jokowi (lihat Kominfo.go.id (2020), yang dianggap dapat mempermalukan dan merendahkan bangsa Indonesia hanya karena persoalan kemampuan berbahasa Inggris.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana orang Indonesia menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa yang tinggi dan menghubungkannya dengan kemampuan seorang pemimpin Indonesia melalui kopetensi ini. Padahal, kemampuan bahasa asing seseorang bukanlah alat ukur yang tepat untuk mengetahui kemampuan leadership seseorang.

Rasialisme kebahasaan epistemologis ini juga ada dalam pengajaran bahasa Inggris khususnya di perguruan tinggi. Dalam domain ini, isu-isu rasialisme juga dapat terlihat.

Fakta pertama adalah berkaitan dengan referensi kegiatan belajar mengajar. Sebagai lembaga yang berfokus pada penguasaan keilmuan bahasa Inggris, prodi/departemen yang ada di universitas-universitas Indonesia sangat berorientasi pada referensi-referensi yang ditulis oleh orang kulit putih.

Croom (2020) menyebutnya sebagai white orientation khususnya yang berasal dari AS atau Inggris. Padahal, buku-buku karangan dari orang Asia bahkan orang Indonesia sendiri juga banyak tersedia.

Kedua berkaitan dengan kompetensi pengajar. Fakta kedua terletak pada persepsi academia terkait latar belakang pendidikan seseorang. Seorang dosen yang memiliki ijazah luar negeri seperti AS, Inggris, dan Australia, dianggap lebih baik kualitasnya dari dosen yang memiliki ijazah dari kampus lokal.

Padahal, tempat seseorang kuliah tidak menentukan kemampuan seseorang dalam mengajar. Banyak dosen yang merupakan alumni kampus lokal lebih sukses mengajar dari mereka yang merupakan alumni kampus luar.

Indonesia masuk 5 negara paling rasialis sedunia

Melihat fenomena-fenomena rasialisme kebahasaan di Indonesia yang makin lama makin menggunung, tidaklah mengherankan jika Indonesia dimasukkan ke dalam lima negara paling rasialis sedunia. Sebuah survei Washington Post menyebutkan, sebanyak 30-39,9 persen penduduk Indonesia termasuk kategori masyarakat rasialis (Wijaya, 2013).

Hasil survei ini sangat mengejutkan mengingat Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur rasialisme, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penghapusan Diskriminasi Berdasarkan Ras dan Etnis untuk mencegah dan menindak isu rasial, serta pasal 28 ayat 2 UUD 1945 soal HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak terbebas dari tindakan diskriminatif.

Dengan adanya dua landasan yuridis itu, seharusnya rasiolinguistik telah tumbuh menjadi sebuah keprihatinan bersama mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penutur bahasa lokal yang sangat besar di dunia yang rentan bersinggungan karena masalah perbedaan persepsi dalam berkomunikasi.

Mengapa isu-isu rasialisme kebahasaan seringkali luput dari perhatian publik dan menguap begitu saja? Mengapa pula isu rasialisme kebahasaan dianggap sebagai isu yang tidak lebih penting dari gosip yang biasa terdengar dalam obrolan santai ketika makan siang bersama teman sekantor?

Dua pertanyaan ini pernah saya terima ketika saya mempresentasikan sebuah makalah tentang isu rasiolinguistik yang terjadi di Indonesia di sebuah kelas di kampus saya sekarang. Setelah merenung secara mendalam, saya menemukan tiga hal yang saya rasa dapat menjawab dua pertanayaan itu.

Pertama, di Indonesia diskusi seputar ras dan rasisme yang sering dijumpai diadakan di televisi, masih berfokus seputar urbanisasi/mobilitas sosial (perpindahan penduduk dari daerah luar jawa, misalnya Papua ke Jawa atau sebaliknya) dan imigrasi atau integrasi migran (perpindahan masyarakat dari luar Indonesia, misalnya RRC menuju Indonesia).

Meskipun tidak ada keraguan bahwa diskusi ini penting bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman mereka yang berhubungan dengan urbanisasi dan migrasi serta dampak sosial yang dapat ditimbulkannya, perdebatan itu mengabaikan satu isu penting lainnya, yaitu realitas warga berkulit non-sawo matang (misalnya kuning dan hitam) yang selama ini masih sering menjadi polemik karena dianggap sebagai ‘orang asing’ di Indonesia.

Anggapan ini secara tidak langsung melahirkan ideologi rasialisme yaitu ideologi sawo-matang, atau pandangan-pandangan egosentris kesukuan seperti Jawasentris, Melayusentris, dan sentris-sentris lainnya di Indonesia.

Kedua, meskipun Indonesia memiliki piranti hukum yang mengatur tindakan rasialisme, serta pemerintah Indonesia memiliki banyak program yang mendukung pemerataan pembangunan di Indonesia agar ketidakadilan yang bersifat rasial tidak terjadi, namun sejauh ini pemerintah masih belum sepenuhnya berhasil mengedukasi masyarakat agar mereka memiliki pemahaman yang lengkap tentang bagaimana bentuk-bentuk rasialisme serta bagaimana cara-cara ideal untuk memperlakukan masyarakat yang berasal dari ras dan etnis yang berbeda.

Ketiga, hingga saat ini, masyarakat Indonesia masih belum lepas dari jeratan kekaguman pada supremasi orang-orang kulit putih. Jeratan ini melahirkan perasaan inferioritas yang tidak sehat karena menganggap orang kulit putih lebih baik dari orang Indonesia dan kedua kelompok ini memiliki kesenjangan power yang cukup jauh.

Baca juga: Rasialisme Bikin Orang Afro-Amerika di AS Jadi Skeptis terhadap Vaksin Covid-19

Pemahaman ini terjadi sebagai akibat dari trauma masa lalu karena selama ratusan tahun mengalami tindakan opresi dan kolonialisasi oleh penjajah kulit putih (Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris) yang menyebabkan mental orang Indonesia menjadi inferior.

Pemahaman yang salah itu mendorong munculnya motivasi-motivasi yang tidak sehat, baik itu dari pemerintah atau masyarakat untuk memaksakan diri menguasai bahasa Inggris yang dengan ini, pemerintah maupun masyarakat dapat merasa sejajar karena telah menguasai bahasa Inggris.

Padahal hal ini justru kontraproduktif karena secara alami perasaan inferior ini akan tetap ada mengingat bahasa Inggris bukan bahasa ibu orang Indonesia dan orang Indonesia tetap menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Perlunya edukasi tentang rasialisme kebahasaan

Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir rasialisme khususnya rasialisme kebahasaan di Indonesia?

Saya belum punya jawaban absolud untuk pertanyaan itu. Namun, saya hanya bisa menawarkan edukasi anti-rasialisme kebahasaan dan pengenalan rasiolinguistik kepada masyarakat Indonesia sebagai sebuah jalan alternatif jika metode-metode yang telah ada ternyata tidak manjur diterapkan.

Saya melihat ada banyak hal positif yang bisa kita dapatkan dengan melakukan pengenalan rasiolinguitik di kalangan masyarakat akar rumput.

Pertama, rasiolinguistik menawarkan alternatif topik-topik diskusi lain yang sangat dibutuhkan untuk memperkaya wawasan masyarakat, misalnya pelegitimasian pendekatan-pendekatan baru yang dapat merekonstruksi batas-batas tradisional yang sangat kabur yang selama ini dipahami masyarakat terkait ras, etnis dan bahasa yang seringkali menghasilkan prasangka, pengucilan, dan penindasan pada etnis, ras, dan bahasa monoritas, atau topik-topik fundamental lainnya seperti interaksi ras/etnik dan bahasa, pemetaan hegemoni rasialisme bahasa, pemetaan persepsi-persepsi masyarakat terhadap perbedaan ras dan bahasa, serta vitalitas dan kontestasi dari kekuatan ras dan bahasa.

Dengan seringnya masyarakat Indonesia mendengar diskusi-diskusi tentang topik-topik di atas, wawasan masyarakat akan makin terbuka tentang eksistensi rasialisme kebahasaan dan dampak negatif yang dapat dihasilkannya.

Kedua, rasiolinguitik memiliki peran dengan turut membantu masyarakat menunjukkan domain-domain yang termasuk rasialisme khususnya dalam konteks kebahasaan. Rasilionguistik juga dapat pula mendorong pemerintah untuk menginisiasi perencanaan bahasa nasional yang antirasialisme kebahasaan.

Ketiga, rasiolingitik dapat berperan merubah pemahaman tradisional masyarakat tentang rasialisme dengan memberikan pemahaman baru akan konstruksi sosial yang lebih berimbang yang mana setiap ras dan bangsa ditempatkan dalam posisi yang sama dan bahasa Inggris hanyalah sebagai media yang ketika menguasainya tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap naiknya prestise dari sebuah masyarakat atau bangsa.

Baca juga: Cara Mengajarkan Anak Anti-rasialisme Sesuai Usianya

Sama seperti orang AS atau Inggris yang belajar bahasa Indonesia hanya sekedar untuk memudahkan berinteraksi dengan orang Indonesia, bukan untuk tujuan meningkatkan prestise diri dan bangsa.

Pembongkaran atau dekonstruksi pikiran inferior yang berkaitan dengan ras yang oleh Motha (2020) disebut sebagai dekolonialisasi linguistik.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan rasiolinguistik. Rasiolinguistik tidak hanya memberikan penjelasan yang bersifat keilmuan terhadap fakta-fakta kebahasaan. Namun karakternya yang bersifat aplikatif (karena masuk ke dalam bagian linguistik terapan (lihat Wei, 2004)) serta dinamis (karena dapat berkembang sesuai kondisi zaman) membuat bidang kajian dapat melahirkan solusi-solusi aplikatif pada masalah-masalah kebahasaan di atas.

Tantangan kebahasaan masyarakat Indonesia ke depan akan makin kompleks mengingat bahasa di masa depan diproyeksikan akan jauh berkembang.

{Tulisan ini merupakan ringkasan dari sebuah artikel berbahasa Inggris yang dipresentasikan penulis di ICONESIA (International Conference On English Studies in Indonesia) tahun 2021, dan telah diterbitkan di Jurnal PROSODI Vol 16 No 1.}

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi