Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti
Bergabung sejak: 5 Feb 2021

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Pariwisata Super Premium Labuan Bajo dan Pembungkaman Protes Warga

Baca di App
Lihat Foto
DOK KEMENPAREKRAF VIA WONDERFULL IMAGE ID
Lanskap Waterfront City Labuan Bajo, magnet baru pariwisata NTT.
Editor: Egidius Patnistik

BAGAIMANA caranya supaya ekspansi bisnis perusahaan yang kami dukung tak dihambat warga, biar cepat dapat cuan?

Gampang saja caranya Pangeran, jika ada wargamu yang berdemonstasi dan melakukan aksi protes, panggil saja polisi, minta mereka kongkang senjata agar nyali warga menjadi ciut. Jika mereka terus-menerus melakukan aksi protes terhadap kebijakanmu, tahan saja mereka menjadi tersangka, niscaya kekuasaanmu langgeng dan korporasi yang Anda dukung terus mengepakan sayapnya mengakumulasi modal dan menjadi kaya raya.

Seperti itulah alur berpikir seorang filsuf Itali, Niccolo Machiavelli, tentang “Sang Penguasa”. Tesis penting Machiavelli di atas muncul dengan melihat jatuh-bangunnya Republik Florence semasa hidupnya (1469-1527).

Dia menyaksikan kejatuhan pengeran Pietro de Medici akibat gerakan reformasi spiritual, Saveranola dan beberapa pemipin Republik Florence lainnya. Machiavelli juga terlibat dalam politik praktis ketika Pangeran Soederini, sahabatnya menjadi penguasa.

Soederini mengangkatnya menjadi sekretaris dan menjadi penasihat untuk urusan militer di Republik Florence. Dengan perjalan hidupnya itu, Machiavelli dalam gagasan filsafat politiknya lalu merumuskan bagaimana caranya agar Sang Penguasa itu langgeng?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dia mengemukakan bahwa cara paling mudah bisa dengan cara mengokang senjata agar rakyatnya takut dan dia terus berkuasa dan bisa juga dengan bermulut manis, mengelus-elus agar warga berbelas kasih dan terpukau, sehingga kekuasaan Sang Penguasa tak diganggu.

Pariwisata super premium Labuan Bajo

Gagasan Machiavelli di atas sengaja saya angkat untuk dikaitkan dengan konteks sosial-politik yang terjadi hari-hari ini di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT yang sudah ditetapkan sebagai destinasi wisata super premium oleh pemerintah.

Di Labuan Bajo, para pelaku pariwisata dan masyarakat sipil turun ke jalan, melakukan aksi demonstransi menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) menghentikan kebijakan kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo (TNK), khususnya untuk Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Baca juga: Polda NTT Sebut Situasi Labuan Bajo Sudah Kondusif, Personel BKO Ditarik

Dua destinasi pariwisata itu adalah magnet bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Labuan Bajo. Dengan kata lain, dua tempat ini adalah tempat favorit bagi wisatawan datang ke Labuan Bajo dibandingkan tempat wisata lainnya.

Ledakaan wisatawan ke dua tempat itu serentak membuat pelaku pariwisata lokal, usaha kecil menengah dan masyarakat Manggarai Barat umumnya mendapat berkah. Paling kurang dengan pertumbuhan pariwisata Labuan Bajo, ekonomi pelaku pariwisata, terutama pelaku usaha kecil dan masyarakat Manggarai Barat sedikit terangkat, meskipun ceruk terbesarnya diambil pebisnis besar.

Namun, harapan mekarnya pariwisata Labuan Bajo ini segera terkubur karena Pemprov NTT dan KLHK menaikan tiket masuk ke TNK secara signifikan dari Rp 50.000 (turis domestik) dan Rp 150.000 (turis mancanegara) menjadi Rp 3,75 juta per individual dan sebesar Rp 15 juta per empat orang pengunjung.

Banyak pemberitaan menyebutkan, lebih dari 10.000 wisatawan domestik dan mancanegara membatalkan kunjungan akibat kenaikan tiket masuk ke Pulau Komodo dan Padar. Salah satu hotel bintang lima di Labuan Bajo dilaporkan kehilangan 600 tamunya karena wisatawan membatalkan kunjungan mereka. (Bisnis.Com, 1/8/22).

Para pelaku pariwisata skala kecil mulai dari travel agent, pengusaha kapal, dan pemandu wisata sangat dirugikan akibat kebijakan ini.

Yang mendapat kue besar dan keuntungan besar dari kebijakan itu justru elite bisnis yang sudah mulai membangun resort dan mendapat izin pinjam pakai kawasan di TNK.

Ini adalah kebijakan negara yang kacau atas nama konservasi. Padahal, kalau dilihat secara jeli, kebijakan konservasi dan keuntungan untuk daerah dari kebijakan itu tak terlalu berfek signifikan.

Coba simak,  berdasarkan data yang beredar ke publik, dari tiket empat orang wisatawan yang masuk sebesar Rp 15 juta, dana bagi hasil ke Pemerintah Daerah Manggarai Barat dan Provinsi NTT hanya Rp 100.000, sementara untuk biaya konservasi hanya Rp 2 juta. Namun, yang paling besar pembagiannya adalah PT Flobamor sebesar Rp 6 juta.

Baca juga: Mempersoalkan Skema Bisnis PT Flobamor di Taman Nasional Komodo

PT Flobamor klaimanya adalah perusahaan BUMD (badan usaha milik daerah) milik pemerintah provinsi yang bermitra dengan swasta. Namun, jika dilihat skema bisnisnya, PT Flobamor ini berlagak seperti perusahaan swasta murni.

Beberapa hari terakhir para aktivis dan pelaku pariwisata sontok diam dan tak berdemonstrasi lagi. Orang-orang yang dianggap sebagai “otak gerakan” ditangkap polisi. Mereka dianggap telah mengacaukan situasi di daerah pariwisata.

Tindakan represif seperti itu tidak laku dalam negara yang menganut demokrasi. Namun itu semua dilakukan demi meredam gerakan sosial di Labuan Bajo agar bisnis para elite yang mau mendesain TNK menjadi exclusive business tak dihambat.

Baca juga: Aksi Mogok Massal di Labuan Bajo, Pemkab Jamin Transportasi Wisatawan dari Bandara hingga Kapal

Kekuasaan itu memang licik. Dia bisa memainkan apapun untuk meredam sikap kritis warga. Dia memiliki polisi dan tentara. Mereka memiliki senjata untuk menakuti warga yang berdemo. Jika warga tak ribut lagi, mereka menjadi pemenang dan menikmati untung besar.

Cara-cara seperti ini khas gaya kekuasaan Zaman Orde Baru. Orde Baru membungkam yang berusara dan suara kritis agar kekuasaan Soeharto dan kroni-kroni bisnisnya langggeng.

Kelak suatu hari nanti, kita akan melihat bagaimana mewahnya TNK dibangun dan yang menikmati itu adalah kelas elite yang memiliki uang. Yang memiliki uang banyak bukan orang biasa-biasa saja, apalagi orang NTT dan Manggarai Barat (rumah dari TNK dan Pulau Padar) karena pendapatan mereka umumnya pas-pasan saja.

Biaya hidup saja tak mampu, biaya rumah sakit dan akses ke pendidikan juga tak sanggup, bagaimana mungkin mereka bisa menikmati pemandangan indah di Pulau Padar dan TNK. Anak cucu orang-orang NTT suatu saat hanya berimajinasi dari Labuan Bajo bahwa ada biawak raksasa, komodo yang hidup di TNK, dan bahwa ada pantai indah di Pulau Padar. Mereka ingin menikmati pemandangan indah itu pasti tak sanggup, karena mereka tak memiliki uang banyak untuk berkunjung.

Jika polisi di Labuan Bajo memaksa para demonstan untuk sepakat dengan kebijakan pemerintah pusat-provinsi menaikan tiket ke TNK dan Pulau Padar dan warga lalu diam, jangan beranggapan persoalan sudah selesai. Pemerintah tidak bisa mengekang kebebasan berpendapat dan hak bersuara apalagi untuk menentukan arah kehidupan pariwisata Labuan bajo.

Arah kebijakan pariwisata Labuan Bajo bukan hanya ditentukan para elite berkuasa. Penguasa seharusnya mendengar keluhan dan masukan rakyat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi