Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 8 Agu 2022

Dosen Telkom University, meminati isu-isu kemanusian, media, dan kajian-kajian budaya.

Menjadi Haji (Selfie)

Baca di App
Lihat Foto
Pexels/@ShamsAlamAnsari
Umat Muslim sedang melaksanakan ibadah di Kabah Mekkah.
Editor: Sandro Gatra

MUSIM haji telah usai. Namun, menyisakan banyak arsip dari beranda pertemanan pada media sosial. Sejak beberapa minggu lalu dipenuhi dengan foto-foto kolega yang sedang melaksanakan ibadah haji.

Bahkan saat tulisan ini disuting oleh penulis, masih terdapat kolega yang ber’senang’ ria berwisata di sekitar area berhaji.

Fenomena profanitas ruang sakral ini telah terjadi semenjak media sosial sangat populer dan menjadi ruang hiperrealitas bagi warga maya. Setiap aktivitas apapun pasti dijadikan sebagai status dan dibagian ke laman media sosial.

Tentu saja, fenomena tersebut tidak hanya berlaku bagi generasi internet, yang dikategorikan oleh Don Tapscot, berasal dari generai Y atau millenial (kisaran umur 42 s.d. 22) dan generasi Z yang saat ini sedang duduk di bangku SLTA dan kuliah.

Namun juga menular ke generasi X yang usianya berada pada rentang 43-54 tahun atau yang lahir antara 1965 - 1976.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perilaku dan fenomena ini tidak hanya terjadi dalam dunia profan, namun juga menular ke dalam ruang yang seharusnya sakral, hanya urusan dirinya dengan Tuhan.

Tentu saja bukan hanya dalam urusan berhaji yang untuk sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai suatu yang prestise karena biaya dan kesempatannya tidak datang pada setiap Muslim.

Bahkan yang mampu secara harta pun belum tentu memiliki nisob untuk menunaikan ibadah haji.

Pada jenis ibadah lainnya, misalnya jika saya kebetulan bangun pagi buta, muncul linimasa WhattsApp yang berbagi status akan melaksanakan shalat tahajud. Begitu juga lini masa yang mengajak untuk segera bangun dan shalat subuh.

Musim Haji tahun ini atau 1443 H/ 2022 M perilaku dan fenomena di atas juga tidak jauh berbeda. Lini masa medsos banyak bertebaran dengan berbagai unggahan lokasi Saudi Arabia yang menjadi tempat berhaji.

Di antara unggahan tersebut ada yang mengenang lini masa tahun lalu, saat seseorang tersebut menunaikan ibadah haji.

Ada juga yang mengunggah foto diri saat melaksanakan ibadah umrah dengan latar belakang kabah. Yang lain baru mengunjungi padang arafah dan berswafoto dengan latarnya.

Fenomena inipun menjadi perhatian dari ulama untuk tidak terlalu berlebihan dalam berswafoto.

Pada sisi lain, jamaah juga dengan bangga berfoto dengan menggunakan atribut kelompok. Seperti diberitakan Kompas TV, yang menyoroti jamaah berfoto dengan menggunakan atribut yang dapat mengganggu jamaah lainnya.

FOMO

Bagi David dan Jonah Stillman, karakter yang seharusnya melekat pada generasi Z tersebut merupakan sebuah perilaku yang tidak ingin tertinggal setiap ekspresinya diketahui oleh orang lain.

Tepatnya, seseorang yang mengalami perilaku ini tidak ingin terlewatkan apapun dari kefanaannya, apa yang disebut dengan Fear of Missing Out atau FOMO.

Istilah ini pertama kali diterbitkan oleh seorang peneliti dan doktor bidang psikologi dari Oxford University, Andrew K. Przybylski.

Papernya yang ditulis bersama anggota timnya berjudul motivational, emotional, and behavioral corrlates of fear of missing out yang diterbitkan tahun 2013 pada jurnal Computers in Human Behavior menghasilkan kesimpulan bahwa rasa takut kehilangan atau tertinggal tersebut dialami oleh orang-orang muda.

Namun enam tahun berlalu, fenomena FOMO yang awalnya dialami oleh anak-anak muda kini menular ke generai-generasi sebelumnya.

FOMO tidak hanya menjangkiti generasi Z, seperti ditulis David Stillman, juga generasi Y yang mewakili generasi millenial dan menular ke generasi X.

Jika ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan menunjukkan hal yang wajar karena generasi Y dan X masuk kategori puber teknologi.

Hal ini karena kuatnya pengaruh kohesivitas jejaring sosial yang hiperkoneksi. Emosi media sosial menular dan menjalar kemana-mena, tidak pandang bulu apakah dia seorang yang berasal dari generasi X atau babyboomers.

Inilah apa yang diistilahkan oleh seorang profesor sosiologi medis dari Harvard, Nicholas A. Christakis, Ph.D. (2009) sebagai mass psychogenic illnes (MPI), yaitu suatu kecenderungan biologis untuk meniru orang lain dan pada akhirnya kita mengalami keadaan internal yang sama. Pada kondisi ini kita kehilangan kemampuan untuk mengenali diri atau prosopagnosia.

Bersambut dengan penelitian Andrew K. Przybylski, Christakis memaknainya sebagai gejala kegelisahan diri, hanya saja FOMO lebih mengarah kepada kegelisahan diri dalam konteks sosial (social-anxiety).

Itulah sifat pisau bermata dua dari media sosial, pada satu sisi memberikan manfaat ganda secara positif, tapi pada sisi lain dapat menyebarkan virus negatif sehingga kita sendiri sebagai pengguna, tanpa sadar telah terjangkit penyakit psikologis akut yang diri kita sendiri sulit melakukan diagnosanya secara mandiri.

Memisahkan ruang sakral dan profan

Musim haji saya jadikan momentum dalam tulisan ini, karena sakralitasnya telah sama-sama tercemar oleh media sosial.

Sama halnya, dengan konteks ruang sakral yang lain. Media sosial telah mengambil alih ruang sakral menjadi profan.

Dengan sifat prosopagnosia-nya, para gadget addict tidak mampu membedakan sakralitas dan profanitas diri tersebut. Sehingga mengancam etika ruang sakral kita sebagai homo religius ataupun sebagai homo socius.

Ruang sakral kini tercerabut dari sakralitasnya, begitu juga ruang sosial yang makin asing kedalaman nilai sosialnya.

Secara ontologis, eksistensi manusia dalam ruang sakral bukan berada pada profanitas media sosial. Namun keintimannya bersama sang Khalik yang tidak tereduksi oleh sifat dunia lain.

Walaupun antara yang sakral dan profan memiliki waktunya masing-masing, namun jika wajah sakralitas terus menerus berada dalam wajah profan, dikhawatirkan terjebak dalam perilaku FOMO.

Maka ibadah haji hanyalah sebuah kamuflase religius. Nilai sakralitasnya menjadi hilang. Tidak ada lagi keintiman yang terbangun antara makhluk dan sang khalik.

Jangankan menjadi haji mabrur dengan segudang ibrah yang bisa ditularkan kepada sanak famili dan handai taulan, justru kita mendapat gelar haji selfie. Karena kita kehilangan keseimbangan dalam membedakan ruang sakral dan profan.

Meminjam pernyataan Ali Syariati dalam buku Haji (1978), jika hidup hanyalah sekadar memenuhi kebutuhan hari demi hari bagi seorang manusia, seperti yang terjadi dalam fenomena FOMO, maka ia tidak memiliki arah di dalam hidupnya. Tujuannya hanyalah untuk hidup.

Keadaan seperti ini bagaikan semangat yang mati di dalam jasad yang masih hidup. Maka eksistensi manusia tidak ada artinya.

Lalu, kata Syariati, bebaskan diri dari segala kebutuhan dan ketamakan dunia yang membuat lupa. Termasuk juga kebutuhan untuk menjadi narsis.

“Kunjungilah” Allah yang maha besar. Dan semoga menjadi haji mabrur—bukan haji selfie.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi