Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 12 Jul 2022

Blogger Kompasiana bernama Suprihati adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Krisis Gandum Bisa Jadi Momentum Kebangkitan Mi Instan Berbahan Lokal

Baca di App
Lihat Foto
Humas Kemendag
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan melakukan pemantauan harga dan ketersediaan bahan pokok di Pasar Raya, Padang Sumatra Barat pada Senin (8/8/2022). Beda dengan Menteri Pertanian (Mentan), Mendag sebut harga mi instan tidak akan naik tiga kali lipat.
Editor: Egidius Patnistik

KONFLIK militer Rusia dan Ukraina mengguncang banyak aspek kehidupan. Konflik itu bukan hanya urusan elite politik dunia, tetapi telah berdampak pada rakyat konsumen mi instan. Pasalnya, konflik itu berkaitan dengan rantai pasar gandum dari eksportir gandum dunia.

Indikasi bakal melambungnya harga mi instan menjadi salah satu butir keterangan pers Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Juli 2022. Pangan adalah bagian dari pendukung stabilitas nasional suatu negara.

Baca juga: Imbas Gandum Mahal, Benarkah Harga Mi Instan Bakal Naik Tiga Kali Lipat?

Tantangan di sisi lain bisa jadi peluang. Konflik Rusia dengan Ukraina yang berdampak pada persediaan gandum bisa menjadi momentum bagi kebangkitan mi instan berbahan lokal guna mendukung kedaulatan pangan.

Mi dan perubahan paradigma pangan bulir

Indonesia tercatat sebagai negara konsumen mi instan terbesar (peringkat kedua setelah China), versi World Instant Noodles Association (WINA) tahun 2021. Sebanyak 13,27 miliar bungkus mi instan dikonsumsi (databoks.katadata.co.id).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdasar pendekatan sederhana populasi penduduk Indonesia yang sebanyak 273 juta jiwa, rata-rata setiap jiwa menyantap minimal satu bungkus mi instan per minggu.

Dengan mengulik sejarah, mi bukanlah jenis pangan asli Indonesia. Mi merupakan adopsi dari China yang dibawa masuk oleh imigran dari daerah itu. Mi kemudian beradaptasi dengan budaya setempat.

Sebagai sumber karbohidrat, mi berawal dari tepung. Adonan digiling menjadi pipih, dilanjutkan dengan pemotongan ataupun cetak menjadi semacam pita dengan variasi gilig silindris panjang demi alasan kepraktisan.

Terjadilah perubahan paradigma wujud pangan karbohidrat sesuai zaman. Awalnya pangan karbohidrat kita berupa bulir (grain) seperti padi, jagung, sorghum. Saat inovasi pangan dengan komposisi seimbang pun tetap mengadopsi pola butir. Dulu ada beras Tekad, adonan ketela, kacang dan (d)jagung yang dikemas dalam wujud butir.

Walau ada wujud pangan karbohidrat berupa tepung (flour), umumnya masuk dalam kelompok penganan, seperti aneka bubur pun penganan tradisional, hingga kue dan roti. Serasa belum makan kalau belum konsumsi pangan yang bentuk bulir.

Beberapa daerah memiliki budaya konsumsi karbohidrat dalam wujud pangan dari tepung, seperti  tepung sagu, tepung jagung, juga ubi kayu. Masyarakat ini tidak fanatik terhadap pangan non-bulir.

Masuk dan diterimanya budaya makan mi telah mengubah paradigma pangan bulir. Wujud mi ternyata dapat diterima sebagai komponen pangan kita. Apalagi dalam era industrialisasi masal, mi instan mudah ditemui dan disukai banyak kalangan.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berupa tepung dari bulir gandum kini berpotensi terhambat (persediaan dan harga) karena gandum masih diimpor. 

Kembali ke mi dengan bahan utama tepung. Mengapa kita tidak mengambil filosofi dasarnya saja, yaitu mengombinasikan tepung terigu dengan aneka tepung lokal untuk membuat mi? Tepung terigu menjadi layaknya lokomotif yang mengandeng gerbong aneka tepung lokal yang melimpah di Indonesia.

Baca juga: Disebut Bakal Naik 3 Kali Lipat, Cek Harga Mi Instan di Pasar Baru Bekasi

Sementara tetap menggunakan komponen tepung terigu, bukan menggantinya seratus persen. Perlu beberapa karakteristik penguat mi seperti kandungan gizi, elastisitas, dan kelenturan. Pastinya akan muncul aneka karakter mi berbahan lokal, saling melengkapi ataupun menjadi dasar pemilihan uji preferensi masyarakat.

Mi berbahan lokal

Sejak pangan mi diterima secara lidah dan budaya masyarakat Indonesia, aneka upaya amati tiru modifikasi (ATM) dilakukan. Kemelimpahan ragam sumber karbohidrat dicoba. Penepungan menjadi langkah awal perakitan teknologi mi di Nusantara.

Substitusi sebagian tepung terigu dengan tepung ubi kayu/singkong, ketela rambat, jagung, waluh atau labu hingga talas. Hal itu bisa dikembangkan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dengan dukungan pendekatan ABGC (Academician, Business, Government, Community).

Akademisi, pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat bersinergi merakit teknologi, mendukung dan memfasilitasi iklim usaha. Masyarakat mengawalnya hingga produk menjadi milik bangsa dan bangga mengonsumsinya dalam keseharian.

Mi mocaf ataupun mikong mewakili mi instan berbahan campuran terigu dan tepung ubi kayu. Sumber daya singkong yang melimpah dan teknologi tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) menyediakan bahan dasarnya.

UMKM Rumah Ketela di sekitar Candi Borobudur, Jawa Tengah, membuktikan dapat memproduksi mi setelah mendapat dampingan dari instansi terkait. Balai Penelitian Serealia di Maros, Sulawesi Selatan (bagian dari Badan Litbang Pertanian Kementan) menghasilkan teknologi migung, yaitu mi dengan bahan dasar campuran terigu dan jagung.

Produk itu juga potensial dikembangkan untuk daerah dengan masyarakat yang akrab konsumsi jagung.

Balitkabi Malang (Jawa Timur) menghasilkan varietas ubi jalar berwarna kuning keemasan dan ada yang ungu cerah memikat. Itu bisa menjadi pewarna untuk mi, tidak perlu perwana buatan.

Pendekatan budaya dibutuhkan untuk sosialisasinya. Dari uji organoleptik, mi berbahan ubi jalar kuning lebih dapat diterima panel pewakil masyarakat daripada warna ungu. Mungkin secara temurun lebih dikenal mi berwarna kuning.

Waluh atau labu kuning menjadi kandidat bahan lokal yang disukai. Warna kuning keemasan, kandungan beta karotin yang bersifat antioksidan menjadi nilai tambahnya. Sangat terbuka dengan inovasi untuk peningkatan kualitas hingga tampilan agar dapat diterima dengan masyarakat.

Menarik mengulik hasil penelitian Balitkabi Malang untuk inovasi mi berbahan lokal tepung talas. Talas yang menjadi makanan pokok beberapa masyarakat di Papua. Karakteristik tepung talas dengan kadar protein rendah disiasati dengan maksimal substitusi 25 persen tepung talas dalam terigu. Hal itu membuka peluang uji nilai gizi, juga komposisi dengan tepung lain yang memiliki protein lebih tinggi.

Itu hanya beberapa contoh. Sangat terbuka untuk pengembangan lebih lanjut yang disesuaikan dengan ketersediaan materi yang ada di berbagai daerah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi