Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Penulis Kolom
Bergabung sejak: 7 Jan 2008

Founder alif.id; Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia dan Pelestari Tradisi Lisan;  Pengurus Lesbumi PBNU 2022--2027. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas, serta menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Jangan Biarkan Tradisi dan Ritual di Mentawai Musnah

Baca di App
Lihat Foto
Susi Ivvaty
Para sikerei (tabib/tokoh adat) Mentawai di Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, dalam sebuah upacara pada awal Agustus 2022.
Editor: Egidius Patnistik

SEMINAR nasional di pedalaman Mentawai, di Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, apakah relevan?

Meski hanya ada tujuh pemateri, seminar sehari yang menjadi bagian dari hajatan “Ulang Tahun Matotonan ke-42 dan Festival Lya Eeruk” pada tanggal 7-10 Agustus 2022 itu ternyata tidak hanya relevan tetapi juga membuka pikiran.

Masyarakat bersemangat datang ke aula balai desa, bahkan anak-anak sekolah, dan mereka tetap berada di tempat hingga akhir acara, mendengarkan orang-orang dari luar membicarakan desa mereka.

Beberapa di antara warga desa sengaja datang untuk memanfaatkan aliran listrik dari genset, buat mengisi baterai ponsel. Maklum, listrik di Matotonan hanya menyala pada pukul 18.00 hingga 00.00 tengah malam.

Baca juga: Jika UU 17/2022 Tidak Direvisi atau Dibatalkan, Masyarakat Mentawai Nyatakan Keluar dari Sumbar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah itu, padam, hingga menyala lagi esok hari pukul 18.00. Jadi, warga hanya mendapatkan asupan listrik selama enam jam. Itulah mengapa malam hari menjadi acara kumpul keluarga untuk menonton siaran televisi, termasuk sinetron.

Seminar nasional bertema “Melestarikan Budaya Bumi Matotonan Menuju Desa Wisata Adat dan Religi yang Bermartabat dan Berdikari” yang digelar oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatra Barat, dan Desa Matotonan tersebut menghadirkan pembicara para akademisi dan praktisi dari Padang, Jakarta, dan bahkan Kendari.

Mereka adalah Ketua Umum ATL Dr Pudentia MPSS; Ketua ATL Sulawesi Tenggara yang juga mantan rektor Universitas Halu Oleo Prof Dr Usman Rianse; Ketua Prodi Tradisi Lisan Universitas Halu Oleo Dr Rahmat Sewa Suraya; peneliti BRIN Dr Mu'jizah; pamong budaya ahli madya BPNB Sumbar Rois Leonard Arios S.Sos, M.si; pengusaha dan mantan Bupati Kepulauan Mentawai Dr (Cand) Yudas Sabagalebt, M.M; dan Kepala Desa Matotonan Ali Umran, S.H.

Beruntung wakil dari pemerintah kabupaten datang, yakni Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Masyarakat Nurdin S.Sos serta Kepala Dinas Pariwisata Kepulauan Mentawai Johny Anwar, sehingga berbagai masukan diharapkan dapat dibicarakan ke tingkat yang lebih tinggi dan mewujud dalam kebijakan serta program pelestarian budaya Mentawai.

Namanya juga harapan, bisa terkabul tapi bisa juga pupus jika tidak dikawal terus. Jangan sampai setelah datang seminar, menengok desa nun jauh, para pejabat itu lantas lupa.

Keistimewaan Mentawai

Mentawai. Nama itu tidak ditemukan di dalam arsip VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang pernah mengobrak-abrik Nusantara selama dua abad. Kepulauan Mentawai hampir tidak tersentuh, apalagi tereksploitasi.

Menurut sejarawan Mukhlis PaEni, sejumlah kata terkait Mentawai memang tertulis dalam arsip VOC, yakni Enggano, Mega, Sandung, Sibiru (Siberut), Nias, Nako, dan Pulau Banyak. Akan tetapi, Mentawai sama sekali tidak pernah disebut.

Kepulauan Mentawai baru "ditemukan" setelah tahun 1800 dalam arsip pemerintah Hindia Belanda. Di sana disebutkan bahwa Karesidenan Padangshe Benedenlanden juga meliputi Kepulauan Mentawai yang berstatus onderafdeling atau setingkat kecamatan.

Baru pada tahun 1999 Kepulauan Mentawai dengan empat pulau besar di dalamnya (Sipora, Sikakap, Pagai, dan Siberut) ditetapkan menjadi kabupaten.

Rupanya, VOC tidak dapat mengendus potensi komoditas pangan yang dapat diperdagangkan dan mendatangkan banyak cuan. Tidak ada apa-apa di Mentawai, berbeda dengan Madura dengan garamnya, Bangka dengan ladanya, atau Banda dengan palanya.

Meskipun demikian, di Mentawai terdapat banyak flora yang bermanfaat untuk pengobatan penyakit dan selama ini telah digunakan para sikerei (tabib/tokoh adat) untuk menyembuhkan warga yang sakit, mulai sakit panas, demam, batuk, kembung, pusing kepala, hingga cedera seperti terkilir, tersayat benda tajam, dan tersengat lebah.

Baca juga: 5 Kebudayaan Suku Mentawai, dari Tato hingga Tradisi Meruncingkan Gigi

Potensi pengobatan herbal tersebut rupanya tidak cukup menarik hati perusahaan Hindia Belanda. Tetumbuhan, yang beberapa di antaranya endemik, itu menjadi garapan para sikerei.

Kini, ketika pesona rempah-rempah mulai memudar (bukan karena tidak dibutuhkan, tetapi karena makin mudah didapatkan), para wisatawan mancanegara berbondong-bondong datang ke Mentawai demi alam dan budaya.

Selain mengincar pesona alam yang aduhai dan cocok untuk sekadar menyepi atau berselancar di lautnya, mereka juga mendokumentasikan beragam ritual yang dilakukan masyarakat, dipandu para sikerei. Lokalitas dan genuinitas menjadi pesona yang tidak lekang oleh waktu.

Pengalaman saya pada 6 Agustus 2022 di Pelabuhan Muaro Padang, saya menyaksikan belasan bahkan puluhan wisatawan mancanegara memasuki kapal cepat Mentawai Fast II.

Sejumlah turis menenteng papan seluncur, seperti lazim kita lihat di bandara Ngurah Rai Denpasar Bali.

Sebagian besar mengincar spot-spot selancar di pulau-pulau kecil di Kepulauan Mentawai. Sebagian yang lain sekadar leyeh-leyeh bersama keluarga (banyak yang mengajak anak-anak di bawah 10 tahun).

Sejumlah turis memilih trekking di perbukitan dan sebagian kecil melakukan penelitian dan pendokumentasian, seperti dilakukan Peter dari Jerman yang sangat khusuk merekam ritual di Desa Matotonan.

Begitulah, seperti dikatakan Ketum ATL Pudentia dalam seminar, “Orang-orang Eropa dan Asia lain, mengapa tertarik ke sini? Jauh, transportasi susah, makanan terbatas. Apa yang mereka cari kalau bukan tradisi yang masih asli dan khas ini? Kalau para sikerei habis, Mentawai khususnya Matotonan tidak menarik lagi, sama dengan lainnya. Tidak ada yang mau datang ke sini.”

Kepercayaan Mentawai memang belum pudar hingga saat ini, meski jumlah sikerei makin menyusut karena tidak adanya regenerasi.

Saat ini hanya tersisa 43 KK (kepala keluarga) sikerei (jika suami sikerei, istri otomatis juga sikerei) di Matotonan. Jumlah sikerei itu pun terbanyak di antara desa-desa lain di Kepulauan Mentawai.

Para sikerei tersebut berusia di atas 50 tahun, sebagian besar 60-an tahun, dan beberapa di antaranya berusia hampir 70 tahun.

Martinus (65), pemimpin para sikerei, terdengar pesimistis ketika saya tanya mengenai keberadaan sikerei di masa depan. Apakah 50 tahun lagi masih ada sikerei di Mentawai?

“Saya rasa sudah tidak ada lagi, karena sekarang pun sudah tidak ada penerus, semuanya sudah tua,” ujar Martinus, yang sudah 25 tahun menjadi sikerei.

Saat ini, sikerei tertua di Matotonan adalah Ogo Toitet (70), yang sudah 30 tahun menjadi sikerei. Jika tidak ada lagi sikerei, apakah beragam ritual dan tradisi lisan setempat berikut praktik pengobatan “herbal—spiritual” turut lenyap? Pasti akan hilang.

Baca juga: Mentawai, Salah Satu Suku Tertua di Dunia

Sikerei (si kerei) adalah orang yang mampu melakukan kerei atau komunikasi dengan makhluk gaib sebagai penghubung dengan Sang Pencipta.

Untuk menjadi sikerei, usia minimal 40 tahun. Menjadi sikerei memang tidak mudah. Syarat dan pantangannya banyak, dan kini makin sulit menemukan anak-anak sikerei yang mau melanjutkan jejak leluhurnya.

Mereka memilih untuk bekerja di kota sebagai pegawai. Jika tetap berada di kampung, mereka tidak sanggup berdisiplin untuk menghindari pantangan dan menjalani kewajiban.

“Menjadi sikerei itu, otak harus tua, bijaksana. Banyak kawan. Tidak boleh merusak. Harus ikhlas menolong orang. Menghapal dan menghayati mantra. Pantangannya banyak, tidak boleh makan lojo (belut), loga (tupai), laipat, jokcan….. “ kata Martinus menyebut nama-nama hewan yang tidak boleh dimakan dan pantangan-pantangan lain.

Sikerei juga harus menyiapkan berbagai hal saat melakukan ritual yang semuanya demi keselamatan dan kesejahteraan warga desa.

Lihat Foto
Susi Ivvaty
Para sikerei (tabib/tokoh adat) Mentawai, Desa Matotonan, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat.
Ritual demi bersih jiwa

Kepercayaan Mentawai atau sabulungan/ulau manua adalah melakukan ritual keselamatan melalui binatang yaitu babi dan ayam serta tetumbuhan (Jon Effendi dkk dalam Sejarah Budaya dan Ekowisata Matotonan, 2020). Dalam siklus kehidupan manusia sejak lahir hingga mati, terdapat banyak momen untuk diperingati dengan cara didoakan agar jalan hidup selanjutnya lebih mudah dan penuh berkah.

Beragam ritual dilakukan demi bersih jiwa dan raga. Ritual pangurai (pernikahan), irig (peresmian keluarga baru), paabat (rekonsiliasi konflik), simamatei (pengusiran roh), sipututukmata (kelahiran), gurut uma (pertama kali bekerja), liat abag (pesta sampan baru), dan masih ada sejumlah ritual lagi.

Dalam setiap pelaksanaan ritual, semua warga bergotong-royong menyiapkan kayu bakar, bahan makanan, babi, ayam, bumbu-bumbu, dan ubo rampe lain.

Lya eeruk adalah sebuah ritual bersih desa untuk menandai serta merayakan siklus kehidupan keluarga dan masyarakat di Mentawai. Lya berarti pesta dan eeruk berarti penutupan atau puncak (pesta itu).

Di dalam siklus kehidupan, mulai kelahiran, pernikahan, hingga kematian, termuat identitas diri dalam konteks personal maupun sosial yang dibingkai oleh budaya setempat. Oleh karena itu, peran sikerei sangat sentral sebagai pemimpin dan pelaku ritual.

Pesta eeruk pada tanggal 8 Agustus 2022 berlangsung meriah sejak pagi hingga tengah malam, dilanjutkan acara mencari ikan bersama pada tanggal 9 Agustus 2022 dan puncak acara ulang tahun Matotonan pada 10 Agustus 2022.

Para sikerei berkumpul di uma bersama warga. Mereka menyanyi dan menari, diawali turu’ (tarian) magis hingga turu’ hiburan seperti turu’ manyang atau tari burung. Beberapa orang memanggang babi dan memotong ayam untuk dimasak dan dimakan bersama pada malam hari nanti.

Jangan lenyapkan ritual di Mentawai

Apa yang dikhawatirkan Martinus dan sikerei lain mengenai tidak adanya regenerasi sikerei, saya kira bukan semata-mata karena generasi penerus sulit memenuhi syarat dan pantangan, atau karena mayoritas mencari penghidupan yang lebih baik di kota.

Pandangan masyarakat setempat yang berubah juga ada kaitannya dengan masuknya agama Islam (dan mungkin Kristen) dengan para pendakwahnya yang tidak hanya mengatur tata cara berbusana tetapi juga semua aspek kehidupan.

Seperti kita tahu, sikerei laki-laki dengan tato keren di sekujur tubuhnya itu dalam keseharian hanya mengenakan selembar kain untuk menutupi bagian bawah perut sedangkan sikerei perempuan mengenakan baju dan kain sepanjang lutut.

Seandainya, sekali lagi seandainya, para sikerei itu pada akhirnya bergamis (atau minimal bersarung) dan yang perempuan berjilbab, apakah mereka masih mau membaca mantra? Apakah mereka masih mau melakukan tradisi yang sudah hidup ratusan tahun? Apakah mantra-mantra dalam bahasa lokal itu akan berganti menjadi doa dalam bahasa Arab?

Nasrul (34), putra sikerei Ringankerei (60) yang saat ini memeluk Islam, mengatakan belum tahu persis apakah akan meneruskan jejak ayahnya.

“Saya anak sikerei, saya muslim,” kata Nasrul yang saat ini sudah memiliki pekerjaan tetap.

Jika Nasrul yang saya saksikan mewarisi bakat serta ilmu dari ayahnya itu nanti berusia 40 tahun, apakah masih tertarik menjadi sikerei? Jika ternyata mau, apakah dia mau berbusana seperti ayahnya saat ini? Saya bahkan tidak dapat memastikan apakah tubuhnya yang ditutup kemeja itu bertato atau tidak.

Perihal komunikasi manusia dengan Tuhan, para sikerei menggunakan perantara mantra dan hewan serta tumbuhan, sama halnya dengan umat muslim yang menggunakan perantara doa serta zikir untuk berkomunikasi dengan Allah Swt. Bahwa alam gaib itu maujud adalah sebuah keniscayaan.

Artinya, bukankah tidak menjadi persoalan bagi sikerei Islam, Kristen, atau agama lain untuk melakukan ritual? Bukankah Tuhan YME memahami bahasa apa pun yang dipakai makhluknya? Soal makanan, tinggal dipilah saja, pemeluk Islam makan ayam dan pemeluk Kristen boleh makan babi.

Masalahnya, kehidupan umat beragama di masa kini semakin tidak sesederhana itu. Pemahaman keislaman tiap orang (tiap kelompok) juga berbeda-beda. Ada beragam penafsiran atas nash yang tidak dapat dipaksakan untuk diterima oleh semuanya.

Saat ini terdapat satu masjid di Desa Matotonan. Saat beberapa hari berada di Matotonan, saya bertemu dengan sejumlah pendakwah yang tengah memakmurkan masjid. Hal yang baik, tentu.

Saat digelar lya eeruk, mereka pun turut serta, berjalan hingga uma. Namun, seseorang berpakaian gamis kemudian sedikit berpidato di depan uma. Menurut warga, baru kali ini ada dai bersama beberapa warga sampai bertakbir di tengah-tengah lya.

Bagi saya sebagai pelestari tradisi lisan, dakwah itu (jika benar sedang berdakwah), menjadi kurang bil ma’ruf, karena tidak paham konteks.

“Tidak perlu khawatir. Tradisi ini tidak akan hilang,” kata Martinus menanggapi hal itu. Baiklah.

Jika kita mempercayai pernyataan Maurice Halbwachs (1992), bahwa masyarakat membentuk memorinya sendiri, bahwa satu kelompok masyarakat menyimpan kenangan setiap zaman dalam kehidupan, dan memori-memori ini terus direproduksi, kita semua tidak perlu khawatir bahwa tradisi di Mentawai akan hilang.

Namun, itu semua ada unsur rekayasa. Ada proses pewarisan yang terus berlangsung, ada hubungan yang terus-menerus, hingga mereka merasakan bahwa identitas mereka diabadikan.

Stuart Hall (1996) mengatakan, identitas adalah sesuatu yang dibutuhkan ketika seseorang berada di ambang kekalahan, ketika dirinya merasa terkikis. Identitas menjadi sebuah penguatan.

Kita tidak dapat meramal apa yang akan terjadi di Matotonan atau desa-desa lain di Kepulauan Mentawai dua tahun mendatang (saja), misalnya. Apakah para penduduk merasa identitasnya makin terkikis ataukah menerima perubahan yang membawa identitas baru.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi