Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pengacara
Bergabung sejak: 23 Jun 2022

IDEAS-Indonesia Fellow; Sekjen dan Co-Founder Amerika Bersatu untuk Indonesia; Pendiri forum World Vaccine Update; dan Presiden Asosiasi Pengacara Indonesia di Amerika Serikat

Mencari Kebenaran (pada Kasus Kematian Brigadir J)

Baca di App
Lihat Foto
Repro Kompas.id
Irjen Pol Ferdy Sambo bersama sejumlah ajudannya termasuk Brigadir J, Bharada E, dan Bripka RR.
Editor: Egidius Patnistik

PADA kasus dugaan pembunuhan berencana di Duren Tiga, Jakarta Selatan, baru-baru ini, dengan tersangka pelaku antara lain Irjen Ferdy Sambo, hanya ada satu yang pasti: telah jatuh korban jiwa (yaitu Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J).

Apabila kejadian itu dianalogikan seperti sebuah pertandingan sepakbola di mana ada para pemain, penonton, pemilik kesebelasan, komentator, dan tentunya para wasit, jelas diperlukan kearifan yang spektakuler dan keyakinan bahwa keadilan adalah suatu keniscayaan. Bukan suatu proses yang tak akan pernah selesai.

Namun, apa memang benar begitu?

Berkali-kali, saya memutar ulang rekaman gol "Tangan Tuhan” Maradona pada 22 Juni 1986. Ketika itu Argentina menang melawan Inggris 2-1. Argentina lolos ke semifinal sebelum akhirnya juara setelah menang atas Jerman Barat 3-2.

Baca juga: Mengenang Gol Tangan Tuhan Maradona dan Kemarahan Inggris...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah lebih banyak bicara mengenai gol perempat final tersebut ketimbang Piala Dunia 1986 itu sendiri, dan kisahnya mewarnai dunia sepakbola sampai sekarang.

Pencarian saya di Google menunjukkan, wasit pertandingan tersebut, Ali Bin Nasser menyatakan, dia tidak melihat tangan Maradona, meskipun dia ragu. Setelah terjadi “gol”, Nasser berlari menuju hakim garis Bogdan Dochev. Namun Dochev yang berposisi lebih dekat dengan gawang, tidak memberikan tanda bahwa telah terjadi pelanggaran. Nasser pun mengesahkan gol tersebut dalam hitungan detik.

Nasser, ketika diwawancara kantor berita AFP pada momen wafatnya Maradona,  mengatakan bahwa dia yakin keputusannya tepat dan sesuai peraturan.

Lain Nasser, lain pula Dochev. Dochev berpendapat pertandingan tersebut menghancurkan hidupnya. Ia beralasan, aturan FIFA saat itu tidak memberikan kesempatan berdiskusi dengan wasit kepala.

Pelajarannya adalah bahwa posisi silent majority selalu menjadi versi yang dicatat sejarah. Benar atau tidak, taktis atau tidak, bukan pertimbangan.

Meskipun Maradona sendiri kemudian mengaku melakukan kecurangan, namanya tetap harum sebagai salah satu striker terbaik dalam sejarah sepakbola.

Masyarakat punya kebenaran versi sendiri

 

Kembali ke Duren Tiga. Menurut saya, dampak yang terburuk telanjur terjadi. Masyarakat sudah punya kebenaran versi mereka sendiri.

“Kebenaran” sesungguhnya tidak lagi relevan. Apapun yang disampaikan lembaga berwenang dalam perkembangan pengungkapan kasus itu, sudah tak lagi sejalan dengan apa yang ada di kepala masyarakat.

Terlebih lagi, dalam era post-truth, rentang waktu yang ada memberikan kesempatan masyarakat mencari sendiri informasi yang ingin diketahui. Proses diseminasi menjadi kunci kredibilitas.

Kalau dulu ada obrolan warung kopi, sekarang cukup berselancar pada gawai. Apakah informasi-informasi tersebut nantinya akan gugur sendiri seiring proses peradilan? Atau bakal bernasib sama seperti tragedi lainnya, kerusuhan ‘98, Munir, G30S/PKI, dll., dimana masyarakat percaya kebenaran yang sesungguhnya belum terungkap?

Poin yang mau saya sampaikan adalah keberadaan silent majority yang sebenarnya diwakili sosok masyarakat kebanyakan yang punya “kebenaran sendiri”. Sedari awal kehadiran mereka tidak diperhitungkan, persis seperti para penonton yang tak bisa ikut campur pada proses pengambilan keputusan wasit. Namun mereka tak pernah salah menuliskan sejarah.

Baca juga: Sambo, Kode Etik dan Rasa Etika Publik

Tiga setengah dekade setelah 1986 dan dilengkapi dengan CSI, CCTV, uji forensik canggih dan lain sebagainya, meski cenderung enggan berterus terang dalam kehidupan nyata, faktanya, silent majority eksis bertukar informasi melalui ruang media sosial dan cara berkomunikasi lainnya.

Pada kasus Duren Tiga, kejanggalan informasi resmi jelas mengusik logika mereka. Amat disayangkan, rendahnya literasi media, apatisme terhadap kualitas informasi dan kecenderungan memberi ruang pada motif yang sifatnya sensasional dan menguras emosi, tanpa disadari mengarak mereka yang dapat larut untuk memercayai berbagai narasi sarat kepentingan, yang secara tak langsung mengkotak-kotakkan mereka sesuai keyakinannya. Pada versi yang bagi mereka benar.

Namun begitu, saya masih percaya pada kekuatan silent majority. Tanpa penonton, industri sepakbola bangkrut. Tanpa rakyat, tak ada negara. Meski kerap berada di persimpangan atau berdiri kebingungan, suara mereka jelas diperhitungkan, bahkan, diperebutkan.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, justru si pendomplenglah yang harus diwaspadai. Ini berlaku bukan hanya pada kasus Duren Tiga saja. Terbukti, kemampuan beserta akses yang dimiliki setidaknya berpotensi menyetir silent majority, yang saya harap, cepat-cepat kemping di luar lapangan.

Dari situ, di pinggiran, polarisasi isu-isu yang berpotensi digunakan penumpang gelap untuk memajukan agenda tertentu atau memojokkan salah satu pihak akan lebih mudah terlihat.

Harapan saya, begitu teridentifikasi, ayo kita sama-sama luruskan tanpa perlu ribut-ribut.

"Perang udara" akan mencapai puncaknya menuju 2024. “Eling lan waspada,” (Sadar dan waspada) kata Jayabaya. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi