Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentara Nasional Indonesia
Bergabung sejak: 17 Mei 2022

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Becermin dari Sejarah Aliansi Ulama dan Penguasa

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ilustrasi.
Editor: Egidius Patnistik

POLITIK identitas, yang identik dengan gerakan-gerakan politik berbau Islam, memang bukan sesuatu yang dilarang ataupun diharamkan di Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa politik identitas merupakan salah satu penyebab terjadinya polarisasi yang tajam di masyarakat, terutama pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019.

Dr Rumadi, Staf Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden, beberapa waktu lalu mengutarakan kekhawatirannya terkait isu itu dalam sebuah forum. Dia menyampaikan bahwa tanpa suatu identitas, manusia tidak akan mungkin bisa hidup. Jika sejak awal Islam dikategorikan sebagai sebuah identitas, maka politik dan agama tentunya tidak mungkin dapat dipisahkan.

Namun menurut dia, saat ini penerapan politik identitas di Indonesia telah kelewat batas dan dapat berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Jokowi: Jangan Ada Lagi Politik Identitas dan Politisasi Agama

Dalam berbagai diskursus terkait permasalahan keterlibatan unsur agama di dunia politik, tentunya dibahas pula mengenai keterlibatan aktor-aktor di dalamnya. Salah satu yang paling disorot adalah terkait adanya relasi antara ulama dengan negara, yang dalam hal ini banyak diinisiasi oleh pejabat pemerintahan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Secara historis, relasi ini sebenarnya sudah terjadi di berbagai negara sejak lama, tak terkecuali di kawasan Timur Tengah yang merupakan fokus awal peradaban Islam di dunia.

Menurut buku “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” karya Ahmet T Kuru, terdapat dua sumber perspektif utama terkait hubungan antara Islam dan negara. Sumber pertama berasal dari tulisan-tulisan karya sarjana Barat terkait pandangan politik para ulama sebelum, selama, dan sesudah abad ke-11, sedangkan yang kedua berasal dari propaganda Islamis.

Kedua sumber tersebut sama-sama menegaskan perlunya penyatuan antara Islam dan negara, serta menolak ide-ide ataupun gagasan negara sekuler. Hal itu meninggalkan warisan sejarah, yang semakin membuat tidak dapat dipisahkannya peran aliansi ulama dan penguasa di suatu negara.

Sayangnya, relasi antara ulama dan penguasa inilah yang menjadi petaka bagi peradaban Islam selama bertahun-tahun. Tesis Ahmet T Kuru di buku yang sama juga mengatakan bahwa selama ini, umat Islam menganggap negara Barat adalah penyebab utama kemunduran peradaban muslim selama berabad-abad lamanya.

Padahal, apabila diteliti kembali secara historis, faktor paling dominan dalam kemunduran peradaban Islam justru disebabkan faktor internal, yaitu aliansi antara ulama dan penguasa.

Pelajaran apa yang dapat dipetik

Lantas, apa yang menyebabkan aliansi antara ulama dan penguasa menjadi faktor utama bagi kemunduran peradaban? Lalu, refleksi apa yang harusnya dapat dipetik oleh bangsa Indonesia dari kemunduran tersebut?

Pertama, aliansi antara ulama dan penguasa pada faktanya justru menyingkirkan pengaruh kaum-kaum intelektual dan borjuis. Dalam tesisnya, Ahmet T Kuru berpendapat bahwa hal yang menjadi game changer berbaliknya kondisi peradaban muslim dan Eropa terletak pada relasi antara kelas keagamaan, politik, intelektual, dan ekonomi.

Ulama, di awal sejarah peradaban Islam menganggap hubungannya dengan raja-raja ataupun penguasa hanya akan bersifat merusak. Di antara abad ke-8 hingga ke-11, para pemuka agama lebih senang bergaul dengan kelompok intelektual, serta kaum pedagang yang memiliki andil besar dalam menggerakan ekonomi.

Hal itu menjadi faktor majunya peradaban Islam pada masa itu, dengan kemerdekaan berpikir yang dinikmati para filsuf dan ilmuwan, berkembangnya perniagaan, serta banyaknya karya teks-teks klasik.

Sebagai komparasi, bangsa Eropa juga mengalami kemajuan peradaban pasca abad kegelapan karena dominasi pengaruh kaum intelektual dan pedagang, yang selanjutnya berkembang hingga zaman renaisans.

Namun pada abad ke-11, terdesaknya kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad akibat kebangkitan bangsa Persia, Turki, dan Kurdi membuat sejumlah ulama dan sultan bersatu untuk menumpasnya. Hal ini membuat kaum intelektual seperti ahli teologi rasionalis dan filsuf dianggap murtad dan terancam hukuman mati.

Baca juga: Kekhalifahan Abbasiyah: Sejarah, Masa Keemasan, dan Akhir Kekuasaan

Pengaruh negara lewat militer yang kuat justru mengontrol penerimaan pajak tanah dan pertanian, yang pada akhirnya melemahkan posisi petani dan pedagang pada zaman itu. Madrasah-madrasah yang didirikan banyak menghasilkan ulama-ulama, yang akhirnya digunakan bersama para sultan menekan pengaruh ulama lain yang berbeda aliran.

Hal inilah yang menjadi bukti semakin terpinggirnya kaum intelektual dan pedagang pasca menguatnya aliansi ulama dan penguasa.

Kedua, aliansi ulama dan penguasa melemahkan demokrasi dan menyuburkan praktik-praktik otoritarianisme. Pelemahan demokrasi ini dapat ditelaah dari kondisi kaum intelektual di negara-negara Islam saat ini yang banyak mengalami tekanan politik.

Tidak hanya masjid, otoritas negara mayoritas muslim saat ini banyak mengontrol madrasah maupun lembaga pendidikan lain yang berbasis agama.

Di Turki misalnya, terdapat lebih dari 100.000 masjid yang dikontrol negara. Imam masjid setiap jumatnya hanya dapat menyampaikan khotbah yang teksnya berasal dari otoritas negaranya. Para imam masjid dibatasi ruangnya untuk menyampaikan ajaran alternatif yang mereka percayai.

Di Mesir, sebagian besar masjidnya dikuasai negara. Rektor Universitas Al-Azhar dan pimpinan sekolah-sekolah keagamaan di Mesir sebagian besar adalah ilmuwan sekaligus politisi yang ditunjuk negara, sehingga melemahkan pemikiran kritis para akademisinya.

Di Pakistan, pasal hukum terkait penistaan agama banyak dimanfaatkan untuk memberangus kebebasan berekspresi individu.

Di Iran, berbagai lembaga negara banyak yang dipimpin oleh para mullah (gelar untuk ulama pemimpin). Tentunya, hal-hal tersebut mencerminkan kemunduran demokrasi akibat aliansi ulama dan penguasa, karena agama hanya sekedar dijadikan alat untuk melanggengkan tujuan politik tertentu.

Para politisi ataupun ulama yang menjabat di pemerintahan akan cenderung lebih sulit dikritik, karena disakralkan oleh aturan-aturan agama. Kritikus dapat dilabeli penganut agama yang menyimpang, dikambinghitamkan, bahkan murtad atau kafir.

Ketiga, adanya potensi bagi ulama dan ajaran agama untuk dapat dijadikan sebagai alat justifikasi tindakan penguasa. Pada sekitar abad ke-11, ketika ulama ingin menjustifikasi tindakan penguasa, mereka menggunakan pepatah kaum sasaniyah yang menyatakan bahwa agama dan negara adalah sesuatu yang kembar.

Agama adalah fondasinya, sedangkan negara adalah pelindungnya. Tanpa keduanya, dunia tentu akan hancur. Pepatah ini terus diulang-ulang hingga terkesan seperti hadis dan menjadikan banyak orang percaya bahwa negara dan agama adalah satu kesatuan, padahal tidak demikian.

Hal ini diperparah dengan tafsir keliru terhadap Al Quran yang menganggap muslim harus tunduk pada umara (penguasa), dan akhirnya terkesan seperti perintah agama. Bahkan Ghazali, seorang tokoh intelektual pembuat konsep aliansi ulama-negara itu sendiri, pernah menyerukan bagi muslim untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin zalim dan penguasa korup yang cenderung dapat menggunakan metode justifikasi seperti ini.

Sebenarnya, bangsa Indonesia dapat merefleksikan berbagai akibat dari aliansi ulama dan penguasa yang telah terjadi di zaman dahulu, dengan tetap mengedepankan keadilan ataupun pengaruh yang sama di antara berbagai kelas di masyarakat.

Penulis tidak pada posisi mendukung adanya sekularisme. Namun, hal ini semata-mata hanya untuk mencegah dominannya pengaruh pemuka agama dalam lingkup kekuasaan, dan lebih berperan dalam membangun peradaban masyarakat yang bermoral baik.

Kaum intelektual dan penggerak ekonomi harus diberikan ruang lebih. Patut disyukuri bahwa aliansi antara ulama dan penguasa maupun politik rente sumber daya alam (seperti minyak di Timur Tengah) tidak terlalu menjadi permasalahan yang dominan di Indonesia.

Masyarakat harus dapat menonjolkan Islam di Indonesia sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta sekaligus menjaga harmoni dalam keberagaman.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi