Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)
Bergabung sejak: 15 Jun 2022

Peneliti dan Penulis

Pendidikan Bukan Komoditas

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kedua kiri) didampingi Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu (kedua kanan), Plt Juru Bicara Ali Fikri (kanan) dan Inspektur Investigasi Inspektorat Kemendikbud, Lindung Saut Maruli Sirait melihat penyidik memperlihatkan barang bukti hasil kegiatan tangkap tangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (21/8/2022). Dari hasil kegiatan tangkap tangan pada Jumat 19 Agustus 2022 KPK menetapkan dan menahan Rektor Unila Karomani, Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Ketua Senat Muhammad Basri dan pihak swasta Andi Desfiandi sebagai tersangka kasus suap terkait penerimaan calon mahasiswa baru pada Unila tahun 2022 dengan barang bukti uang tunai Rp414,5 juta, slip setoran deposito bank Rp800 juta, deposit box diduga berisi emas senilai Rp1,4 miliar dan atm serta tabungan sebesar Rp1,8 miliar.
Editor: Egidius Patnistik

MENCARI kampus terbaik dengan biaya terjangkau saat ini bagai menanti komet Halley yang terlihat hanya setiap 76 tahun sekali, jarang bahkan hampir tak pernah terlihat.

Kita mesti mengakui, pendidikan tinggi memang tidaklah murah. Kualitas dan biaya tentu berbanding lurus. Meski beasiswa tersebar seantero Nusantara, tetap saja masih ada yang sulit mengenyam bangku kuliah karena alasan ekonomi.

Ironisnya, masih ada oknum yang tega menjadikan perguruan tinggi sebagai komoditas bisnis, bahkan sebagai ladang korupsi. Peristiwa tertangkapnya seorang rektor perguruan tinggi karena dugaan suap mencoreng citra perguruan tinggi di Tanah Air dari segala penjuru sudut pandang. Kepercayaan publik pada perguruan tinggi runtuh.

Baca juga: Nadiem Investigasi Penerimaan Mahasiswa Baru di PTN Se-Indonesia Buntut Kasus di Unila

Dengan keprihatinan mendalam, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan bahwa kejadian seorang rektor yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap menjadi pelajaran untuk melakukan perbaikan. (Kompas.com, 21/8/2022).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kadung dipahami masyarakat bahwa perguruan tinggi sebagai tiket untuk karir yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih mapan. Masyarakat sering mengukur nilai perguruan tinggi dengan pendekatan ekonomi bisnis murni, sehingga menganggapnya tak ubah seperti komoditas lainnya.

Bahkan ada yang memandang nilai perguruan tinggi sebagai investasi yang akan mendapatakn return materi yang lebih tinggi di masa depan. Tak ada yang salah, tetapi akan berbahaya jika patokan kesuksesan diukur dengan pendekatan bisnis semata. Maka tak mengherankan, “suap menyuap” di lingkungan pendidikan bisa terjadi.

Perguruan tinggi sebagai tempat menempa peradaban

Tak salah memang menjadikan perguruan tinggi sebagai pijakan masa depan. Hanya saja kita terlena dan tak lagi memandang perguruan tinggi sebagai tempat menempa peradaban yang kokoh.

Prinsip “mencerdaskan kehidupan bangsa” sedikit demi sedikit memudar, yang tersisa hanya “mencerdaskan kaum berada”.

Pertanyaannya, tak pantaskah mereka yang tak berpunya memiliki kesetaraan pendidikan di negeri yang 20 persen anggaran negaranya dihabiskan untuk memajukan pendidikan?

Materi menjadi tolok ukur, sehingga pasti lebih masyarakat yang senang mengukur tentang berapa penghasilan rata-rata sarjana perguruan tinggi setelah lulus.

Hal ini wajar saja, sebab banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan gelar-gelar mentereng akademik. Lebih-lebih bagi orang tua yang memilih jalan pintas untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi ternama dengan biaya selangit. Mereka tak segan-segan menghabiskan banyak aset dan uang demi melihat anaknya kuliah di perguruan tinggi terbaik.

Namun, yang perlu digaris bawahi, asumsi pendidikan yang disamakan dengan komoditas menjadi sangat salah. Jika kita akan memperlakukan perguruan tinggi sebagai komoditas, setidaknya kita harus memahami esensi dari sifat ekonominya.

Baca juga: Penangkapan Rektor Universitas Lampung, Permintaan Maaf, dan Wajah Dunia Pendidikan yang Tercoreng

Jika anggapannya demikian, perguruan tinggi tak ubah seperti pasar yang juga membutuhkan "pembeli" untuk menjamin kelangsungan “dagangan” pendidikan dengan gelar sebagai “produk”.

Tentu saja tak elok didengar. Citra seperti ini sangat merusak. Jadi mari kita akui bahwa perguruan tinggi bukanlah komoditas dan tak layak dijadikan komoditas.

Seorang profesor perlu menginspirasi dan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk belajar. Perguruan tinggi yang baik seharusnya justru memberikan banyak bantuan kepada mahasiswa yang menghadapi tantangan dalam menyelesaikan pendidikan mereka dalam waktu yang wajar. Tidak malah dipersulit dan dijadikan “lahan” meraup kekayaan.

Bagaimanapun, keputusan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi adalah keputusan untuk melakukan investasi di masa depan mereka, investasi waktu dan uang. Yang tak ternilai dari perguruan tinggi adalah bahwa kita secara “merdeka” bisa menggunakan segenap kapasitas untuk berargumen, bahkan menjadi wadah kontribusi terhadap pengetahuan.

Fungsi berharga ini harus terjaga dari praktik-praktik kotor. Ini adalah tanggung jawab perguruan tinggi untuk menempatkan mahasiswa di lingkungan yang memberikan kesempatan yang sama.

Tentu saja kita tidak rela perguruan tinggi melahirkan bibit sumber daya manusia yang tak berempati, yang mengukur peradaban hanya dengan materi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi