Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pakar Hukum Pidana
Bergabung sejak: 22 Agu 2022

Pakar Hukum Pidana, peneliti, pengamat Kepolisian dan aktivis pelayanan hak-hak perempuan dan anak

Pelaku "Obstruction of Justice" Harus Diproses Pidana, Tak Cukup Diberi Sanksi Mutasi

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA
Irjen Ferdy Sambo usai dipecat Polri berdasarkan hasil sidang komisi kode etik Polri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (26/8/2022).
Editor: Egidius Patnistik

DARI media kita mengetahui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memutasi 24 personel Polri yang diduga terlibat pelanggaran kode etik dalam penyidikan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Mutasi itu tertuang dalam surat telegram rahasia bernomor ST/1751/VIII/KEP./2022 tertanggal 23 Agustus 2022.

Sebanyak 24 personel yang dimutasi itu terdiri dari 10 personel dari Divisi Propam, 2 personel Bareskrim, 2 personal Korbrimob BKO Propam, 9 dari Polda Metro Jaya/Polres Jakarta Selatan, dan 1 Polda Jateng BKO Propam.

Selain itu, tim Inspektorat Khusus (Itsus) Polri telah memeriksa 97 polisi terkait dengan pelanggaran kode etik upaya menghalangi penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan sebagian polisi tersebut telah melakukan obstruction of justice atau penghalangan penegakan keadilan.

Baca juga: Keterangan Bharada E Tunjukkan Obstruction of Justice Kasus Brigadir J Semakin Kuat

Bentuknya adalah menghilangkan barang bukti, merekayasa dan menghalangi penyelidikan pembunuhan Brigadir J. Itsus Polri juga menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh enam orang anggota Polri pada saat penanganan awal tewasnya Brigadir J.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keenam orang anggota Polri tersebut adalah Irjen Ferdy Sambo (saat itu Kadiv Propam Polri), Brigjen Hendra Kurniawan (sebagai Karopaminal Divisi Propam Polri), dan Kombes Agus Nurpatria (selaku Kaden A Biropaminal Divisi Propam Polri). Kemudian AKBP Arif Rahman Arifin selaku Wakadaen B Biropaminal Divisi Propam Polri, Kompol Baiquni Wibowo selaku PS Kasubbagriksa Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri, dan Kompol Chuk Putranto selaku PS Kasubbagaudit Baggaketika Rowabprof Divisi Propam Polri.

Perbuatan menghalangi proses peradilan (obstruction of justice) merupakan perbuatan melawan hukum. Para pelaku menerabas dan menentang penegakan hukum dan perbuatan itu  merupakan tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.

Secara normatif, tindakan menghalangi proses peradilan sudah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Hukum Pidana Khusus

Obstruction of justice dalam KUHP

Terkait perbuatan obstruction of justice,  Pasal 221 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa tindakana itu... "diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;

2. Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian."

Selanjutnya dalam Pasal 233 KUHP dirumuskan: "Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Baca juga: Polri Tunggu Penyidik Soal Sangkaan Pasal 6 Polisi Terkait Obstruction of Justice Kasus Brigadir J

R Soesilo memberikan penjelasan terkait Pasal 233 KUHP (hal. 179), yaitu bahwa kejahatan dalam pasal ini terdiri dari tiga macam:

Peraturan Kapolri No 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan pada Pasal 41 ayat 3 menyatakan: Pengawasan penyidikan dilaksanakan oleh pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan berdasarkan surat perintah atasan penyidik yang berwewenang, apabila terdapat:

  1. Adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan penyidik dan/atau penyidik pembantu dalam menangani perkara berdasarkan pengaduan masyarakat;
  2. Atau, penyelidikan dan/atau penyidikan yang menjadi perhatian publik.

Selanjunya dalam Pasal 42 dirumuskan: (1) Apabila hasil pengawasan penyelidikan dan penyidikan ditemukan pelanggaran dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan/atau penyidik pembantu dilakukan:

  1. Pembinaan, apabila melakukan pelanggaran prosedur;
  2. Proses penyidikan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran tindak pidana; atau
  3. Pemeriksaan pendahuluan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin.
Pelanggaran kode etik:

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku, dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.

Pasal 8, setiap pejabat Polri dalam etika keperibadian, wajib:

  1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Bertanggung jawab, jujur, disiplin, bekerja sama, adil, peduli, responsif, tegas, dan humanis;
  3. Menaati dan menghormati: norma hukum; norma agama; norma kesusilaan; dan/atau nilai-nilai kearifan lokal.

Pasal 10,  setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan, dilarang "... melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur, antar lain dalam bentuk: menyalahgunakan kewenangan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan melakukan permufakatan pelanggaran KEPP atau disiplin atau tindak pidana."

Lebih lanjut terdapat larangan dalam penegakan hukum antara lain: merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum; mengurangi, menambahkan, merusak, menghilangan dan/atau merekayasa barang bukti; menghambat dan menunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak/berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melakukan keberpihakan dalam menangani perkara.

Pasal 17 Perpol 7 Tahun 2022 menetapkan pelanggaran KEPP kategori berat dengan kriteria:

  1. Dilakukan dengan sengaja dan terdapat kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
  2. Adanya pemufakatan jahat;
  3. Berdampak terhadap keluarga, masyarakat, institusi dan/atau negara yang menimbulkan akibat hukum;
  4. Menjadi perhatian publik.

Pasal 109 menetapkan sanksi administratif dengan kategori sedang dan berat meliputi:

  1. Mutasi bersifat demosi paling singkat satu tahun;
  2. Penundaan kenaikan pangkat paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun;
  3. Penundaan pendidikan paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun;
  4. Penempatan pada tempat khusus paling lama tiga puluh hari kerja; dan
  5. PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat)

Apabila ada indikasi pelanggaran hukum pidana, proses dan penjatuhan sanksi KEPP tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Berdasarkan Pasal 221 KUHP seharusnya pelaku yang terlibat dalam obstruction of justice dilakukan proses hukum pidana. Proses hukum itu penting dilakukan sebagai terapi efek jera sekaligus pencegahan bagi pejabat dan/atau anggota Polri agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan tidak melanggar norma hukum, khusunya kode etik.

Dalam sebuah kertas kerja yang disampaikan Koalisi Reformasi Polisi, dipandang masih lemah mekanisme akuntabilitas internal maupun mekanisme kontrol eksternal. Secara internal, ketidakjelasan batasan dalam kode etik Polri maupun pengawasan yang melekat membuat kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan kewenangan masih terus berlangsung dengan kontrol internal yang juga tak terukur.

Karena itu, membersihkan polisi dari hal tersebut artinya juga menegakkan hukum dan aturan di tubuh kepolisian.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi