KOMPAS.com - Media sosial Twitter beberapa waktu terakhir diramaikan dengan aksi dugaan peretasan yang dilakukan oleh seorang hacker bernama Bjorka.
Tak tanggung-tanggung, ia bahkan mengeklaim telah mencuri miliaran data penting milik pemerintah dan perusahaan.
Klaim data yang paling menggemparkan adalah surat milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dokumen milik Badan Intelijen Negara (BIN).
Pemerintah pun segera membentuk tim khusus siber merespons kebocoran data oleh Bjorka tersebut.
Tim itu terdiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Cybercrime Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Baca juga: Ramai Disebut Baru 2 Kali Vaksin gara-gara Bjorka, Luhut: Saya Sudah 4 Kali Vaksin
Lantas, seperti apa analisis peneliti intelijen soal fenomena Bjorka?
Ancaman siber harus segera diantisipasi
Peneliti intelijen dan terorisme Ridlwan Habib menilai, langkah pemerintah dalam merespons kebocoran data oleh hacker bernama Bjorka sudah tepat.
"Ancaman siber dalam skala apa pun harus segera diantisipasi dengan serius, " ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/9/2022).
Menurut Ridlwan, hacker biasanya bergerak dalam dark web underworld yang berkomunikasi secara terbatas dengan code-code tertentu di komunitasnya.
Hacker jarang membawa dunia bawah tanah ke permukaan dengan akun Twitter atau grup Telegram.
"Saya duga hacker Bjorka ini lebih kepada bentuk protes pada pejabat negara yang dianggap menyepelekan ancaman siber," ujarnya.
Baca juga: Warganet Ikut Menyebarkan Data Pribadi yang Diungkap Bjorka, Adakah Sanksinya?
Bukan termasuk data berbahaya, namun...
Data yang dipublikasikan Bjorka, lanjut dia, bukan termasuk data berbahaya yang menyangkut objek vital negara.
Namun menurutnya, hal itu sudah melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena terdapat identitas pribadi yang disebarkan tanpa persetujuan dari pemiliknya.
Ridlwan mencontohkan, misalnya tersebarnya data KTP Menteri Kominfo, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dan lain sebagainya.
"Obyek vital negara misalnya transmisi ATC bandara atau sistem scada pembangkit listrik, itu rawan sekali kalau ada serangan siber, " kata Ridlwan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, jelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, semua perangkat vital siber harus diperkuat.
"Jangan ada celah hacker untuk menyerang, misalnya mengacak sistem navigasi bandara sehingga jadwal pesawat VVIP menjadi chaos, atau menyerang PLN Bali sehingga tidak ada supply listrik, ini harus dicegah, " ujar Ridlwan.
Baca juga: Keriuhan Bjorka: Klaim Bongkar Data Pemerintah hingga Kasus Munir, Tiba-tiba Akunnya Menghilang
Penataan keamanan data pribadi
Alumni S2 Intelijen Universitas Indonesia (UI) itu menilai, fenomena Bjorka harus dianggap sangat serius bagi penataan keamanan data pribadi dan respons cepat siber Indonesia.
"Sejak Bjorka beraksi, tampak ada kegagalan komunikasi publik oleh pemerintah, ini harus segera diperbaiki, " katanya.
Selain itu, penataan keamanan siber di Indonesia harus diperbaiki secara total.
Baca juga: Data Nama Intel Badan Intelijen Negara Diduga Bocor, Ini Kata BIN
Menurutnya, perlu ada perluasan kewenangan dan kapasitas BSSN sebagai lembaga yang bertanggung jawab.
Misalnya, kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penangkapan, dan kapasitas sumber daya manusia maupun peralatan yang lebih canggih.
Sebagai gambaran, anggaran BSSN per tahun adalah sekitar Rp 450 miliar, sementara anggaran Kementerian Kominfo per tahun mencapai Rp 20 triliun.
"Keamanan siber sudah menjadi kebutuhan pokok sama vitalnya dengan pasokan BBM maupun suply beras gula dan garam, " tutupnya.
Baca juga: Sebelum Akun Twitternya Hilang, Bjorka Ungkap soal Kasus Munir
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.