Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan
Bergabung sejak: 13 Sep 2022

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Memahami Peta Geopolitik dan Geoekonomi Indonesia di G20

Baca di App
Lihat Foto
KOMINFO.GO.ID via ABC INDONESIA
Perdana Menteri Italia Mario Draghi secara simbolis menyerahkan palu kepada Presiden Joko Widodo pada penutupan pertemuan G20 di Roma.
Editor: Egidius Patnistik

BELUM ada tanda-tanda konflik Rusia dengan Ukraina akan segera berakhir. Konflik sudah memasuki bulan keenam.

Konflik diperkirakan akan berlarut dan segala upaya mendamaikan yang dilakukan banyak pihak tentu akan selalu dihargai, termasuk niat baik untuk berunding baik dari Ukraina maupun Rusia.

Jika konflik berlarut-larut, kondisi geopolitik dan geoekonomi global berimplikasi cukup serius, termasuk dampaknya bagi negara-negara di Asia Tenggara. Dari sisi geopolitik persaingan negara-negara Barat dengan Rusia diperkirakan masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan.

Skema konflik yang terlihat selama ini seperti konstruksi persaingan Perang Dingin. Rusia sebagai kelanjutan Uni Soviet di satu sisi berhadapan dengan NATO di sisi lain.

Baca juga: Ukraina Disebut Buat Kemajuan Signifikan dalam Perang, Akan Menang?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam kerangka itu, konflik ini bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan karena baik Rusia maupun NATO terjebak dalam persaingan militer pola lama. Mereka masih membayangkan peran militer saat ini sama seperti saat era Perang Dingin.

Padahal, dalam konteks keamanan global sesungguhnya sudah berubah. Rusia melihat Barat atau NATO sebagai ancaman dan melihat Ukraina sebagai buffer maka dilancarkan serangan. Konteks keamanan tradisional pun mulai bermunculan dan ini tentunya berimplikasi pada dampak sisi geoekonomi.

Perspektif geoekonomi

Secara geoekonomi, sejak era Perang Dingin usai, pola ancaman dan kerja sama antara negara-negara yang bersaing di saat Perang Dingin sudah berubah.

Hal inilah yang sesungguhnya berimplikasi cukup serius, sebab berbicara geoekonomi bukan sekedar hanya membicarakan bagaimana negara-negara itu bersaing secara ekonomi-komersial, tetapi bagaimana mereka juga bekerja sama.

Dalam kerangka itu, persaingan antara Rusia dan negara-negara Uni Eropa dalam 20 tahun terakhir tidak secara langsung menghasilkan persaingan yang negatif. Justru secara geoekonomi memunculkan potensi untuk bekerja sama.

Konflik inilah yang kemudian cukup mengganggu pola kerja sama yang sudah terlihat antara Rusia dan negara-negara Eropa.

Konflik ini pun berdampak pada Indonesia. Pada pergerakan komoditas, Indonesia bergantung suplai bahan makanan terutama gandum dari kedua negara yang tengah berkonflik.

Hal tersebut patut diwaspadai terutama soal harga. Meski begitu, diyakini bahwa para pelaku usaha di bidang ini secara jangka pendek dan menengah sudah menyiapkan langkah-langkah antisipatif dengan mencari sumber suplai bahan makanan dari negara-negara lain seperti Amerika atau Australia.

Konflik Rusia dengan Ukraina berpengaruh pada rantai pasokan. Terlebih saat ini, konflik tersebut telah secara eksponensial menstimulus naiknya harga minyak dunia, yang kemudian menstimulus naiknya harga-harga kebutuhan pokok lain, termasuk industri manufakturing dan industri pengolahan terutama yang berkaitan dua sektor, yaitu sektor elektronik dan otomotif.

Diakui, konflik Ukraina dan Rusia tidak langsung berhubungan dengan supply chain elektronik dan otomotif di Indonesia, atau bahkan dengan negara-negara yang mempunyai hubungan dagang seperti Malaysia,Thailand, Philipina, atau Vietnam.

Namun bila melihatnya secara lebih luas maka akan berdampak. Dalam kerangka itu, sebagai pemegang amanah Presidensi G-20, Indonesia dipandang bisa memanfaatkan dan berperan dalam mencari solusi konflik tersebut.

Dengan mengusung tema G-20 tahun ini, yaitu Recover Together, Recover Stronger untuk perbaikan ekonomi yang lebih sistematis dan kuat pasca-pandemi, ini saatnya menunjukkan secara nyata prinsip politik bebas aktif Indonesia.

Posisi strategis dan kepentingan nasional Indonesia

Indonesia telah menjadi anggota G-20 sejak forum intergovernmental itu dibentuk tahun 1999. Bagi Indonesia, klub ekslusif ini merupakan arena bergengsi tinggi di mana Indonesia dapat mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya.

Namun Indonesia juga memahami posisi unik dan tanggung jawab vitalnya untuk mewakili negara-negara berkembang.

Pertama, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya tercatat cukup penting di antara negara-negara berkembang lainnya dimasukkan dalam kategori emerging economy. Sebagai emerging economy, Indonesia mendapat hak istimewa untuk duduk dalam klub tersebut.

Baca juga: Ini 5 Poin yang Dibahas dalam Pertemuan Pokja Ketenagakerjaan G20

Kedua, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, India, dan Amerika.

Ketiga, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan karenanya dapat memainkan peran potensial untuk menjembatani perbedaan-perbedaan di antara peradaban dunia. Keanggotaan Indonesia dalam klub dapat membantu memperbaiki citra tentang perbedaan antara Barat dan Islam.

Keempat, Indonesia merupakan negara demokrasi baru yang dalam proses konsolidasi. Keanggotaan Indonesia dapat memberikan inspirasi ke negara-negara lain untuk mempromosikan demokrasi dan mempertahankan perumbuhan ekonomi tinggi.

Kelima, secara geografis Indonesia memiliki posisi yang signifikan. Indonesia merupakan satu-satunya anggota ASEAN yang menjadi anggota tetap G-20.

Tentu saja bisa ditambahkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang di masa lalu pernah terpuruk oleh krisis ekonomi yang dahsyat dan kini telah berhasil mengatasinya dengan relatif baik.

Keunikan itu diyakini menjadi alasan kuat dipilihnya Indonesia dalam G-20. Selain potensinya sebagai global buyer yang besar di dunia karena jumlah penduduknya yang besar, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil akan berdampak sistemik ke stabilitas pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, dan lebih lanjut memberikan kontribusi stabilitas perekonomian di Asia dan dunia.

Keberhasilan Indonesia akan menjadi model yang menarik pula bagi penguatan sistem demokrasi liberal di dunia. Hal ini akan menginspirasikan suatu proses demokratisasi yang ideal yang ditopang oleh penguatan pertumbuhan ekonomi yang stabil.

Kehadiran Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim memberikan citra positif bagi G-20 terutama untuk menangkis persepsi negatif dari tesis clash of civilization (benturan peradaban) antara peradaban Barat dan Islam. G-20 adalah antitesis perbenturan peradaban yang menunjukkan bahwa Barat siap bekerjasama dengan negara-negara Muslim.

Dengan memiliki sejumlah keunikan itu, tugas Indonesia menjadi ganda. Selain memperjuangkan kepentingan nasional, Indonesia ‘diharapkan’ dapat memadukan kepentingan negara-negara berkembang secara umum dan kepentingan-kepentingan negara-negara di Asia Tenggara dan dunia Muslim secara khusus.

Pertanyaanya, mampukah Indonesia memperjuangkan kepentingan nasionalnya di tengah dinamika geopolitik dan geoekonomi yang bergerak sangat dinamis?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi