KOMPAS.com - Rivalitas antara Partai Demokrat dan PDI-P kerap mewarnai dinamika politik di Indonesia, khususnya menjelang pemilu.
Layaknya minyak dalam air, kedua partai tampak tak pernah berjalan beriringan dan sulit untuk disatukan.
Sebagai bukti rivalitas kedua partai tersebut, mereka berungkali terlibat saling sindir dan membandingkan antara pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Joko Widodo.
Tak heran, aksi saling sindir Partai Demokrat dan PDI-P ini kerap mendapat sorotan.
Baca juga: Sekjen PDI-P: Jika Tak Bisa Calonkan AHY, Jangan Tuduh Ada Skenario Jahat Pemerintahan Jokowi
Dugaan kecurangan Pemilu 2024
Terbaru, kedua partai terlibat saling serang soal Pemilu 2024. Ini bermula ketika SBY mengaku telah mendengar adanya tanda-tanda Pemilu 2024 dilakukan secara tidak jujur.
Karena kabar itu, SBY pun mengaku harus turun gunung untuk menghadapi Pemilu mendatang.
"Para kader, mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilihan Umum 2024 mendatang? Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil," kata SBY saat berpidato di acara Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat, Kamis (15/9/2022).
Dalam pidatonya, SBY juga menyebut bahwa Pilpres 2024 akan diatur untuk dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Konon, akan diatur dalam Pemilihan Presiden nanti yang hanya diinginkan oleh mereka dua pasangan capres dan cawapres saja yang dikehendaki oleh mereka," jelas dia.
Tidak diketahui secara pasti, siapa "mereka" yang dimaksudkan SBY.
Baca juga: Demokrat DKI Sebut Anies Punya Wawasan yang Bagus dan Kecocokan dengan AHY
Balasan PDI-P
Menanggapi kecurigaan SBY, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristianto mengatakan, kecurigaan akan adanya pemilu tidak jujur sebelumnya pernah terjadi di masa kepempimpin SBY pada 2009.
"Mohon maaf Pak SBY tidak bijak, dalam catatan kualitas Pemilu, tahun 2009 justru menjadi puncak kecurangan yang terjadi dalam sejarah demokrasi," kata Hasto, Sabtu (17/9/2022).
Ia pun meminta SBY untuk bertanggung jawab atas kecurangan tersebut.
Untuk membuktikan klaimnya, Hasto menyebut adanya temuan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) yang bersifat masif, salah satunya di Pacitan.
Tak hanya itu, Anas Urbaningrum yang masuk Partai Demokrat setahun setelah Pemilu 2004 juga menjadi tanda tanya besar.
Padahal, Anas saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terlepas dari itu, Hasto meminta agar SBY tidak menyalahkan Pemerintahan Jokowi apabila tidak bisa mencalonkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Pilpres 2024.
"Bisa tidaknya Demokrat mencalonkan AHY jangan dijadikan indikator sebagaimana tuduhan adanya skenario pemerintah Pak Jokowi untuk berbuat jahat dalam pemilu," jelas dia.
Ia menegaskan, Jokowi tidak pernah berniat dan berpikiran untuk menjegal Partai Demokrat pada Pemilu 2024.
Baca juga: SBY: Saya Harus Turun Gunung, Ada Tanda-tanda Pemilu 2024 Bisa Tidak Jujur
Wacana Jokowi Cawapres
Sebelumnya, Partai Demokrat juga sempat menyindir wacana Jokowi jadi calon wakil presiden pada Pilpres 2022.
Wacana ini salah satunya dihembuskan oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto atau akrab disapa Bambang Pacul.
"Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa," kata Bambang, Selasa (13/9/2022).
Sekretaris Majelis Tinggi DPP Partai Demokrat Andi Mallarangeng menyebut, kondisi tersebut berbeda dari masa akhir kepemimpinan SBY.
Menurutnya, tak pernah ada dorongan dari orang sekitar SBY untuk melakukan perpanjangan masa jabatan presiden.
Andi menilai, ada pihak di sekitar Jokowi yang sengaja mendorong wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
Padahal, hal itu tidak sesuai dengan semangat reformasi dan tidak mencerminkan etika kekuasaan.
"Apa tidak cukup berkuasa selama 10 tahun? Apa tidak cukup menjabat sebagai presiden?" jelas dia.
"Dengan kekuasaan tertinggi di republik ini, sehingga terus menggondeli kekuasaan sebagai wapres? Apakah ini bukan pertanda kemarukan kekuasaan?" sambungnya.
Kendati demikian, wacana tersebut telah dibantah secara tegas oleh Jokowi.
Sumber: Kompas.com (Tatang Guritno/Singgrih Wiryono/Ardito Ramadhan | Editor: Novianti Setuningsih/Bagus Santosa/Icha Rastika)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.