Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti BRIN
Bergabung sejak: 30 Mei 2022

Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional

Sarapan dan Bekal buat Anak Sekolah Bukan Perkara Remeh

Baca di App
Lihat Foto
Christina Phan/Philips Indonesia
Ilustrasi bekal sehat
Editor: Egidius Patnistik

SEORANG guru di Tambrauw, Kabupaten Papua Barat, pernah bercerita di salah satu wawancara kami saat riset tahun 2019.

“Siswa-siswa saya sering membawa parang ketika ke sekolah. Awalnya saya kaget itu untuk apa. Ternyata itu untuk mengambil buah kelapa ketika jam istirahat,” kata guru itu.

“Ternyata mereka tidak pernah sarapan sebelum berangkat ke sekolah, sehingga mencari sendiri apapun yang bisa dimakan,” lanjut sang guru.

Menyimak cerita tersebut, bagi saya tampak sesuatu yang timpang secara ekstrem. Ketika mengajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berbeda.

Baca juga: Hari Gizi Nasional 2020: Jadikan Momen Saatnya Siapkan Bekal Anak!

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di sekolah saya mengajar tersedia kantin yang menjual makanan dan minuman sehat. Meski saya juga melihat ada minuman-minuman manis, tetapi sebagian besar makanan dan minumannya sehat.

Setiap jam makan siang para guru dan siswa makan di kantin tersebut. Selain makan makanan kantin, anak-anak terbiasa membawa bekal. Bekal tersebut berisi makanan yang variatif.

Tampaknya, orangtua menyiapkan bekal-bekal sesuai dengan permintaan anak-anak mereka. Di antara bekal tersebut ada botol berisi air putih. Di sekolah juga disediakan galon untuk isi ulang air. Anak-anak dan guru bisa minum air putih kapan saja. Tak perlu khawatir soal dehidrasi.

Rata-rata anak sekolah di perkotaan berlangsung seharian penuh. Pihak sekolah selalu berpesan agar orangtua menyiapkan bekal untuk anak-anak, baik untuk jam istirahat pertama ataupun makan siang.

Sekolah biasanya menyediakan kantin agar anak-anak tidak perlu membeli makanan ke luar lingkungan sekolah. Tentu variasi makanan antar kantin sekolah berbeda-beda. Sekolah swasta yang berbiaya mahal biasanya lebih selektif dalam menjual makanan di kantin.

Sementara itu ada potret lain yang disaksikan jika kita datang ke sekolah-sekolah yang ada di pinggiran perkotaan. Di luar sekolah selalu ada “jajanan” khas seperti aneka ciki, goreng-gorengan, es, minuman, permen lidi-lidian, mi, dan varian lainnya.

Selain dari kandungan nutrisi dan gizi, penyajian makan di sekolah-sekolah tersebut tidak sehat dan tidak higienis. Harga makanan dan minuman yang dijual biasanya sesuai dengan uang jajan anak-anak.

Selain itu, makanan manis dan asin memang sangat enak dan digemari anak-anak bahkan orang dewasa.

Urgensi sarapan

Ada beberapa studi mengenai urgensi sarapan. Artikel dari Illøkken, Ruge, LeBlanc, Øverby & Vik (2022) berjudul "Associations between having breakfast and reading literacy achievement among Nordic primary school students" menyebutkan bahwa sarapan dikaitkan dengan kualitas diet, kinerja kognitif dan akademik, dan dapat berdampak positif pada pembelajaran dan kesehatan.

Studi itu juga mengemukakan hubungan potensial antara asupan sarapan dan prestasi akademik siswa harus diberi prioritas untuk penelitian dan praktik lanjutan karena sarapan adalah faktor yang dapat dimodifikasi yang dapat ditingkatkan dan diintervensi.

Studi lain dari Reuter, Forster & Brister (2021) bertajuk The influence of eating habits on the academic performance of university students menyebutkan, kebiasaan makan yang sehat berpengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Meski juga perlu dilihat faktor lain seperti kebiasaan tidur.

Zahedi dkk (2022) dalam artikel Breakfast consumption and mental health: a systematic review and meta-analysis of observational studies menyimpulkan bahwa melewatkan sarapan sangat terkait dengan kemungkinan depresi, stres, dan tekanan psikologis pada semua kelompok umur serta kecemasan pada masa remaja.

Studi itu menekankan pada dampak sarapan pada sisi kesehatan mental.

Dalam konteks Indonesia kajian Hardiansyah dan Aries (2012) menyebutkan, hampir separuh (44,6 persen) anak usia sekolah sarapan dengan kualitas gizi rendah. Studi ini merekondasikan promosi mengenai kebiasaan sarapan sehat bagi anak usia sekolah perlu dilanjutkan lebih intensif dan berkelanjutan.

Sementara itu, studi Sofianita, Arini, Meietriani (2015) menyebut bahwa terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin, ketersediaan sarapan, dan pengetahuan gizi dengan kebiasaan sarapan.

Selain itu, kebiasaan sarapan pada anak sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi.

Dua studi itu sudah cukup lama tetapi dalam situasi praktikal masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

 

Bukan soal sederana

Perkara sarapan dan bekal tampaknya sederhana. Apa sulitnya orangtua menyiapkan sarapan pagi dan bekal untuk anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah?

Itu mungkin pertanyaan kita, para orangtua di perkotaan yang biasa menyiapkan sarapan dan bekal bagi anak-anak sebelum berangkat ke sekolah. Namun, ternyata hal tersebut bukan perkara sederhana.

Dalam masalah sarapan ada soal-soal yang bersifat struktural dan kultural.

Bersifat struktural karena terkait bagaimana keluarga-keluarga marjinal memiliki bahan pokok yang memadai yang dapat diolah untuk untuk dimakan bersama keluarga dan dijadikan bahan sarapan atau bekal bagi anak-anak mereka. Hal tersebut bergantung pada anggaran setiap keluarga untuk menyiapkan makanan bagi anak-anak.

Bersifat kultural terkait bagaimana anak-anak dibiasakan untuk makan pagi tepat waktu dan juga memakan makanan yang bernutrisi.

Studi-studi yang sudah disampaikan telah memberi penekanan terkait pentingnya sarapan dan bekal bagi anak-anak. Karena urgensi tersebut membangun budaya sarapan dan membawa bekal untuk anak-anak sekolah menjadi sangat penting.

Secara regulasi sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Dalam peraturan tersebut disampaikan mengenai pentingnya kebiasaan sarapan.

Aturan yang baik itu perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Proses pembiasaan adalah konteks budaya. Bagaimana sarapan menjadi budaya menjadi sangat penting.

Memang tampaknya sangat remeh temeh dan tidak canggih di tengah ragam perdebatan mengenai digitalisasi dan lainya dalam konteks pendidikan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada keluarga marjinal dengan mengecek bagaimana asupan nutrisi dan gizi anak-anak termasuk penyiapan sarapan dan bekal anak-anak menjadi sangat utama.

Baca juga: Tak Sarapan, Anak Bisa Terkena Sindrom Lethargy

Problemnya saya yakin semakin rumit dengan adanya kenaikan bahan pokok akibat naiknya harga bahan bakar minyak. Sebab itu, Dinas-dinas Pendidikan di daerah harus proaktif mengecek sekolah-sekolah untuk memperhatikan bagaimana kebiasaan sarapan dan membawa bekal anak-anak juga berkolaborasi dengan dinas lainnya.

Minimal di sekolah disediakan air minum isi ulang bagi anak-anak, agar mereka tidak dehidrasi dan terbiasa minum air putih.

Jika pemerintah ingin menerapkan Kurikulum Merdeka, maka ada baiknya juga dipastikan apakah anak-anak Indonesia sudah merdeka dan mendapat asupan bergizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsinya.

Memastikan anak-anak sarapan dan membawa bekal juga bagian dari memerdekakan jiwa dan pikiran mereka.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi