Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Ilmiah Mengapa Orang Suka Traveling

Baca di App
Lihat Foto
FREEPIK/TIRACHARDZ
Ilustrasi liburan, traveling. Alasan ilmiah mengapa orang suka traveling.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Bepergian atau traveling membawa kebahagian dan kecanduan bagi sebagian orang.

Bahkan, beberapa orang merasa tak betah jika harus menetap di satu tempat tanpa mengeksplor daerah-daerah lain.

Meski tak berlaku bagi semua orang, tetapi manusia pada dasarnya merupakan pengembara dan suka bepergian.

Perjalanan membawa orang keluar dari zona nyaman serta memberikan pengalaman untuk merasakan dan mencoba hal baru.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, adakah alasan ilmiah mengapa orang suka traveling?

Baca juga: Yuri Gagarin, Manusia Pertama yang Bepergian ke Luar Angkasa

Mengapa orang suka bepergian?

Ternyata, ada alasan ilmiah mengapa orang suka bepergian atau mengeksplor tempat-tempat baru yang belum pernah didatanginya.

Dikutip dari Daily Sabah (29/6/2022), beberapa penelitian menunjukkan bahwa traveling memberikan seseorang kebahagiaan.

Kebahagiaan itu datang dari dalam tubuh, tepatnya karena adanya hormon dopamin.

Dopamin merupakan hormon pengendali emosi yang memengaruhi munculnya perasaan senang, seperti bahagia, percaya diri, dan jatuh cinta.

Karena perannya, hormon ini kerap disebut sebagai hormon bahagia.

Saat dopamin disekresikan atau dilepaskan dalam jumlah banyak, seseorang akan merasa bahagia dan senang. Sebaliknya, jika tingkat dopamin rendah, maka seseorang akan kehilangan motivasi.

Baca juga: Mengenal 4 Hormon Kebahagiaan yang Dapat Mendukung Kesehatan Mental

Dopamin dan DRD4

Menurut penelitian, orang dengan kadar dopamin tinggi dianggap memiliki gen Dopamin Receptor D4 atau DRD4. Gen DRD4 ini dikaitkan dengan berbagai macam kecanduan.

Untuk itu, terdapat hubungan antara kelebihan dopamin dengan kecanduan seseorang untuk bepergian.

Ahli biologi dari Kinsey Institute, sebuah lembaga studi di bawah Indiana University, Amerika Serikat, Justin Garcia, turut menjelaskan hubungan dopamin dan gen DRD4 dengan bepergian.

Ia mengatakan, tingkat dopamin yang tinggi dan gen DRD4 adalah alasan mengapa orang zaman dahulu meninggalkan rumah dan menemukan daerah baru.

Kala itu, mereka bepergian untuk bertahan hidup, seperti mencari makanan, pasangan, dan tempat tinggal baru.

Kendati kebutuhan bertahan hidup sudah tak berlaku lagi di dunia modern, tetapi latar belakang biologis, yakni tingkat dopamin tinggi dan gen DRD4, kemungkinan menjawab mengapa seseorang senang traveling.

Dengan begitu, orang yang memiliki kelebihan hormon dopamin dan gen DRD4 berpotensi untuk tertarik pada perjalanan dan petualangan.

Baca juga: 9 Dampak Stres pada Kesehatan Tubuh, dari Sebabkan Sakit Jantung hingga Rusak Kehidupan Seks

Gen DRD4-7R: wanderlust gene

Lebih lanjut, variasi gen DRD4-7R lebih berkontribusi dalam membuat seseorang suka berpetualang.

Dilansir dari Telegraph (3/8/2017), gen yang dimiliki sekitar 20 persen dari total populasi ini disebut para peneliti sebagai wanderlust gene atau gen nafsu berkelana.

Sama seperti DRD4 pada umumnya, DRD4-7R berperan meningkatkan level dopamin dalam otak, sehingga pemilik selalu senang dan tidak mudah lelah.

Orang dengan gen ini juga cenderung lebih berani mengambil risiko, termasuk untuk menjelajahi tempat-tempat baru.

Profesor psikologi dari National University of Singapore, Richard Paul Ebstein mengatakan, dirinya telah menghabiskan dua dekade untuk mempelajari DRD4-7R.

Penelitiannya menunjukkan bahwa alel (variasi gen) tersebut terlibat dalam sifat kepribadian suka mencari pengalaman baru dan impulsif mengambil risiko dalam situasi finansial.

"Mereka yang memiliki alel itu cenderung lebih mencari risiko," papar Ebstein.

Baca juga: Penumpang Ini Dilarang Naik Pesawat American Airlines Seumur Hidup, Apa Sebabnya?

Manfaat traveling untuk kesehatan mental

Tidak hanya menimbulkan kesenangan, bepergian atau traveling juga bermanfaat bagi kesehatan mental.

Dilansir dari Everyday Health (22/6/2022), penelitian terhadap 1.500 wanita dalam Wisconsin Medical Journal (2005) menemukan, mereka yang lebih sering berlibur dilaporkan lebih sedikit mengalami stres dan depresi.

Penelitian dalam Scandinavian Journal of Work, Environment, and Health (2019) juga menemukan gagasan serupa.

Hasil penelitian, 10 hari tambahan cuti berbayar menurunkan kemungkinan depresi sebesar 29 persen untuk wanita di Amerika Serikat.

Bahkan, menurut International Journal of Environmental Research and Public Health (2018), liburan singkat bisa menurunkan stres secara keseluruhan.

Studi dalam jurnal tersebut menyimpulkan bahwa tinggal sendirian selama empat hari di hotel memiliki efek yang signifikan dan positif pada stres.

Bukan hanya itu, penelitian dalam Journal Psychology & Health (2020) juga menunjukkan, bahkan dengan menantikan liburan yang direncanakan bisa menumpulkan stres yang menyerang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi