Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahasiswa Doktoral UIN Syarif Hidayatullah
Bergabung sejak: 5 Sep 2022

Pemerhati Sastra dan Politik

Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah, Sentimen atau Kritik Sosial?

Baca di App
Lihat Foto
Monica Noviola
Tanah pembangunan Gereja HKBP Maranathha Cilegon
Editor: Egidius Patnistik

RUMAH ibadah merupakan sarana penting yang menunjang praktik keagamaan. Rumah ibadah seperti masjid, gereja, vihara, atau lainnya memiliki fungsi beragam.

Selain sebagai sarana yang menunjang berjalannya praktik peribadatan, rumah ibadah juga berfungsi sebagai sarana musyawarah untuk memecahkan problematika sosial dan keumatan.

Rumah ibadah menjadi semacam simbol bagi tegaknya marwah keagamaan dan bahkan marwah negara.

Begitu banyak seruan positif yang disuarakan dari rumah ibadah yang tidak terbatas pada hal-hal menyangkut urusan syariat, tetapi juga menyentuh unit-unit terkecil dalam kehidupan sosial dan kebangsaan, demi mewujudkan suasana yang harmonis di tengah keragaman.

Baca juga: Kontroversi Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak ada rumah ibadah yang mengajarkan untuk saling membenci terhadap pemeluk agama yang berbeda. Semua rumah ibadah difungsikan untuk meluaskan ajaran-ajaran moral yang luhur agar eksistensi keagamaan menjadi penopang bagi tegaknya kesatuan dan persatuan bangsa.

Di Indonesia, eksistensi agama dilindungi konstitusi. Adanya keragaman agama tidak membuat konstitusi kita tebang pilih dalam mengakomodir setiap aspirasi keagamaan, tidak terkecuali dalam urusan pendirian rumah ibadah.

Namun demikian, adakalanya terjadi polemik yang disebabkan oleh penolakan terhadap pendirian rumah ibadah dari agama tertentu masih ditemukan di beberapa daerah.

Salah satunya yang tengah menjadi sorotan belakangan ini adalah terkait penolakan pendirian gereja di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Cilegon, Banten.

Siapa yang menolak dan apa latar belakang penolakan tersebut tentu harus dipahami secara mendalam dan holistik. Tujuannya agar kita tidak terburu-buru melayangkan pernyataan yang bisa saja hanya semakin memperkeruh keadaan.

Sentimen keagamaan?

Ketika penolakan pendirian gereja di Cilegon mulai ramai diberitakan awal September 2022, ada beberapa pihak di media sosial yang menilai penolakan tersebut sebagai gerakan kebangkitan sentimen keagamaan yang secara perlahan terus meluas.

Penilaian itu muncul karena penolakan tersebut dilakukan tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pejabat daerah setempat.

Ada yang menilai bila penolakan terhadap pembangunan gereja itu hanya dilakukan masyarakat, maka hal tersebut masih bisa untuk dimuyawarahkan.

Namun bila pejabat daerah setempatnya sudah ikut-ikutan menolak dengan menggunakan beberapa dalih, maka hal itu dinilai sebagai ciri dari sentimen keagamaan yang semakin kuat dan merambah hingga ke level birokrasi.

Tetapi benarkah penolakan pembangunan gereja seperti di Cilegon itu disebabkan oleh adanya sentimen keagamaan?

Baca juga: Pendirian Rumah Ibadah Menurut SKB 2 Menteri

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya ingin terlebih dahulu memulainya dengan mengajukan pertanyaan susulan, yakni mengapa kita membudayakan ketergesaan dalam menilai situasi? Mengapa kita selalu terburu-buru membicarakan dan menilai sesuatu yang belum jelas dalam pandangan serta pendengaran kita?

Kebiasaan-kebiasaan yang tergesa itu ujung-ujungnya hanya semakin memperumit keadaan dan menebalkan persepsi saling curiga.

Pertama-tama, jelas kita perlu menghindar dari pemahaman bahwa akar persoalan penolakan pendirian gereja di Cilegon dan di beberapa daerah di Indonesia disebabkan oleh adanya konflik antar agama atau sentimen Islam terhadap Kristen.

Penolakan tersebut tidak bersumber dari ajaran Islam. Karena memang tidak ditemukan secara qoth’i baik dalam Al Quran maupun sunah.

Bahkan pernah suatu ketika sahabat Nabi yakni Umar bin Khattab tatkala berhasil memasuki Yerusalem, dia menolak untuk melaksanakan shalat di dalam gereja.

Alasannya, bukan karena gereja dianggap tempat yang najis sehingga shalat di dalamnya tidak sah. Tapi karena Umar tidak ingin di masa depan umat Islam menilai hal tersebut sebagai legitimasi untuk merebut gereja dan mengalihfungsikannya sebagai masjid.

Dengan kata lain, sejatinya umat Islam tidak anti terhadap umat Kristen. Tidak ada intimidasi atau bahkan kekerasan yang dialami oleh umat kristiani di Indonesia. Faktanya kehidupan sosial dan ekonomi di Indonesia tetap berjalan beriringan di tengah kemajemukan.

Bila demikian, mengapa kasus penolakan pendirian gereja masih terjadi?

Kritik sosial?

Penentangan pendirian gereja, baik di Cilegon maupun di daerah lain, harus dipahami melalui sudut pandang yang luas. Saya, dalam hal ini, termasuk pihak yang menyangkan adanya penolakan tersebut, karena bagaimanapun setiap rakyat Indonesia berhak untuk beragama sebagai hak yang melekat secara kodrat. Kodratnya itu tidak bisa dikurangi oleh apapun kondisinya.

Namun, kita semua tidak boleh anti untuk melakukan telaah dan introspeksi secara mendalam dan bahkan melakukan semacam evaluasi dari peran tiap-tiap unit di masyarakat yang mewakili komunitas keagamaan tertentu.

Salah satu telaah kritis yang harus kita dalami adalah tentang bagaimana komunitas, dalam kasus di Cilegon adalah komunitas umat kristiani atau di daerah lainnya dalam komunitas beragama lain, dalam kehidupan kesehariannya.

 

Apakah mereka, dalam komunitas di Cilegon itu misalnya, cenderung tertutup sehingga membuatnya berjarak dengan masyarakat sekitar yang kebetulan beragama Islam.

Baca juga: Terkait Pembangunan Gereja, Wali Kota Cilegon Bakal Hadir ke Kantor Kemenag Besok

Sebab adanya jarak itu juga memungkinkan tersendatnya bangunan kerja sama dan komunikasi yang sangat penting dalam ranah sosial. Sehingga, setiap upaya menyangkut urusan keagamaan yang tidak terkomunikasikan dengan baik hanya akan melahirkan persepsi curiga.

Hal ini bisa semakin diperparah dengan kenyataan bahwa masih terdapat pemeluk agama Islam yang memelihara stereotipe terhadap gereja yang di antaranya dinilai sebagai: pertama, gereja dianggap sebagai sarana gerakan kristenisasi yang sistematis.

Kedua, gereja dipandang sebagai simbol yang menghadirkan trauma sejarah yang terkait dengan pengalaman pahit ketika masa kolonial bercokol. Ketiga, gereja dinilai sebagai ancaman terhadap hegemoni Islam.

Apa yang dipersepsikan umat Islam di beberapa daerah terhadap gereja tidak dapat sepenuhnya diangap sebagai kesalahan kolektif. Sebagaimana kita juga perlu meluruskan persepsi atau stereotip yang keliru tentang gereja yang tidak boleh terpatri dalam benak umat Islam di Indonesia.

Di lain sisi, penolakan terhadap pendirian rumah ibadah seperti gereja juga cenderung terjadi di beberapa daerah yang teridentifikasi sebagai daerah yang indeks toleransinya rendah. Cilegon, misalnya, termasuk dalam daerah yang anjlok nilai toleransinya.

Dalam riset yang dipublikasikan Setara Institute, Kota Cilegon berada dalam peringkat ketiga dari bawah pada riset tahun 2021.

Kematangan beragama

Polemik terkait penolakan pendirian rumah ibadah kemungkinan besar juga berhubungan dengan tingkat kematangan masyarakatnya dalam memahami dan mengenal agamanya. Sebab seperti yang telah disinggung tadi, tidak ada syariat yang melarang atau menolak pendirian gereja atau rumah ibadah lainnya.

Dari sini kita perlu berbenah dan menghidupkan kesadaran keberagamaan kita. Sadar ataupun tidak, penolakan pendirian rumah ibadah adalah ciri yang menjelaskan betapa belum matangnya kita dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur sebagaimana yang diajarkan oleh berbagai agama.

Tetapi, karena proses pematangan dalam beragama juga memerlukan waktu dan peran dari banyak pihak, dan karena persoalan penolakan pembangunan rumah ibadah sudah kadung/sering terjadi, maka sekurang-kurangnya setiap upaya kita saat ini diarahkan pada cara-cara penyelesaian persoalan yang lebih humanis, tanpa harus menimbulkan konflik horizontal, tanpa harus menyelesaikannya lewat mahkamah konstitusi.

Lagi pula, begitu banyak daerah di Indonesia yang dikenal islami tetapi memiliki semangat untuk menjujung toleransi. Kita dapat berkaca dari beberapa daerah yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam di atas 80 persen seperti Aceh, Sumatera Barat, dan daerah lainnya yang masih membolehkan umat non-Islam untuk menjalankan agamanya termasuk mendirikan rumah ibadah.

Begitupun sebaliknya, kita juga perlu melihat realitas di daerah lain di mana umat Islam sebagai minoritas tetapi tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan tenang. Hal ini seperti yang tampak di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan beberapa daerah lain di Kalimantan.

Baca juga: Potret Toleransi di NTT, Umat Islam Ikut Perarakan Patung Bunda Maria Asumpta Nusantara

Meski tentu ada juga cerita mengenai penolakan pendirian masjid di daerah mayoritas nasrani seperti yang pernah terjadi di Manokwari, Papua. Tetapi jumlah kasusnya amat sedikit dan tidak mewakili pandangan umum dari umat kristiani.

Sebagaimana juga penolakan pembangunan gereja yang terjadi di beberapa daerah yang sama sekali tidak mewakili pandangan umat Islam.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi