Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Utama LAZNAS PPPA Daarul Qur'an
Bergabung sejak: 7 Jul 2022

Direktur Utama LAZNAS PPPA Daarul Qur'an; Sekretaris Jenderal Forum Wakaf Produktif (FWP); Ketua KA FOSSEI Bidang Economic & Social Development; Assesor Nadzir Wakaf Badan Wakaf Indonesia; Dosen STMIK Antar Bangsa dan Assosiate Trainer Institut Fundraising Indonesia.

Perlindungan Pekerja Migran Dimulai dari Keberanian Penindakan di Hulu

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/JOY ANDRE T
Ratusan calon pekerja migran Indonesia (PMI) korban dari dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dijanjikan berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga oleh pihak penyalur tenaga kerja ilegal di wilayah Jatisampurna, Kota Bekasi, Kamis (29/9/2022) malam. Ratusan korban itu dijanjikan untuk bekerja ke Arab Saudi dan diiming-imingi mendapat gaji yang besar dan disalurkan secara cepat.
Editor: Egidius Patnistik

KEMENTERIAN Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia (RI) melansir data bahwa kasus perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri cenderung meningkat. Kasus perlindungan terhadap WNI pada 2022 ini jumlahnya sudah melebihi kasus sepanjang tahun 2019, sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Kemenlu merinci, kasus-kasus yang tercatat pada 2022 antara lain terkait Covid-19, terkait dengan anak buah (ABK), dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ada juga kasus WNI yang menetap di luar negeri tanpa memiliki dokumen, kasus haji dan umroh, evakuasi WNI di luar negeri, pembebasan sandera, dan WNI yang terancam hukuman mati.

Dari data di atas, kasus-kasus perlindungan terhadap kasus WNI yang berkaitan dengan Pekerja Migran Indonesia (PMI) adalah kasus TPPO, kasus ABK, dan irisan kasus WNI tanpa dokumen.

Baca juga: Gerebek Asrama Pekerja Migran Ilegal, BP2MI Temukan 161 Orang Dijanjikan Bekerja di Arab Saudi

Jika kita melakukan cek silang data, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) pada 2021 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara asal utama perdagangan orang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melansir, pada tahun 2019 hingga 2021, tercatat 1.331 orang menjadi korban TPPO. Dari jumlah itu, 97 persen atau sekitar 1.291 korban adalah perempuan dan anak.

Teranyar, pada akhir September 2022 dilakukan penangkapan terkait kasus TPPO terhadap 161 orang calon PMI nonprosedural untuk tujuan Arab Saudi. Semua korban perempuan.

Tingginya kasus perlindungan WNI, termasuk PMI di dalamnya, tentu bukan hal yang bisa dibanggakan. Semakin tinggi kasus perlindungan terhadap WNI bermakna semakin rentan WNI kita di luar negeri. Semakin kecil kasus perlindungan yang dilaporkan, bermakna semakin sedikit kasus yang menimpa WNI, termasuk PMI kita.

Titik kritis PMI nonprosedural

Salah satu titik rawan PMI di luar negeri adalah ketika mereka berangkat dengan skema nonprosedural. Saat berangkat melalui jalur nonprosedural, tentu daya tawar dan perlindungan PMI di negara tujuan sangat lemah. Kemungkinan mereka menjadi korban tindak kejahatan termasuk TPPO pun besar.

Karena itu, menekan angka keberangkatan PMI nonprosedural menjadi kunci dari maksimalnya perlindungan PMI yang terjadi di ujung. Kita perlu melihat beberapa alasan calon PMI lebih memilih jalur nonprosedural dan menawarkan solusi dengan melihat persoalan per alasan.

Faktor pertama adalah masih maraknya calo PMI nonprosedural yang mencari calon korban hingga daerah-daerah.

Pada kasus penggerebekan terhadap 161 calon PMI nonprosedural pada September lalu, diketahui banyak calo berkeliling ke kampung untuk menawarkan bekerja di Arab Saudi, bahkan dengan memberikan uang modal sebesar RP 10 juta diawal.

Keberanian para calo mengeluarkan modal besar itu mengindikasikan perputaran ekonomi dari kasus TPPO sangatlah besar.

Indikasi adanya sindikat dan mafia dalam mencari korban juga sangat kuat. Pada kasus pengirimin PMI nonprosedural ke Kamboja, didapatkan fakta penempatan telah dilakukan beberapa kali. Karena itu, tidak ada kata lain selain menggandeng aparat penegak hukum guna memberantas sindikat dan jaringan TPPO di Indonesia.

Baca juga: Saatnya Pekerja Migran Indonesia Berdaya Saing Global

Seperti halnya jaringan judi online yang tengah jadi perhatian aparat kepolisian, sindikat kasus TPPO juga mesti diusut. Terlebih untuk kasus TPPO telah dibuat gugus tugas yang terdiri dari lintas sektor, termasuk aparat penegak hukum. Itu artinya, penindakan kasus TPPO sejatinya adalah kasus prioritas.

Faktor kedua adalah terkait biaya. Bekerja di luar negeri dengan jalur nonprosedural dinilai memakan biaya lebih murah dibandingkan dengan jalur prosedural.

Berdasarkan temuan Migrant Care, untuk menjadi PMI nonprosedural di Malaysia 'hanya' membutuhkan biaya Rp 5 juta. Jika melewati jalur prosedural setidaknya harus disiapkan Rp 25 juta.

Anggapan mahalnya biaya penempatan PMI prosedural harus sebisa mungkin ditekan, bahkan dihapus. Penempatan PMI melalui sektor swasta pasti berimplikasi pada pembiayaan yang tidak murah.

Selain itu, masih adanya praktik pungli oleh beberapa oknum membuat komponen biaya yang dibebankan kepada calon PMI kadang-kadang jauh lebih tinggi dari aturan yang berlaku.

Pemerintah, dalam kasus ini, bisa memberikan subsidi pada komponen biaya tertentu sehingga proses pembiayaan bagi PMI di jalur prosedural bisa lebih terjangkau.

Selain itu, celah pungli harus ditutup. Memperjuangkan beberapa komponen biaya dibebankan kepada pemberi kerja di negara tujuan juga bisa dilakukan lewat MoU yang menguntungkan calon PMI.

Faktor ketiga adalah sosialisasi yang kurang masif terkait potensi bahaya jika PMI menempuh nonprosedural dan penempatan PMI lewat jalur prosedural. Tantangan lemahnya sosialisasi dan edukasi memang menjadi pekerjaan tanpa henti di negeri ini. Rendahnya literasi dipadu dengan tantangan geografis dan infrastruktur yang tidak merata masih menjadi problem yang belum selesai.

Bentuk sosialisasi yang sekadar formalitas juga harus dievaluasi. Pemerintah bisa memfokuskan edukasi ke daerah-daerah yang selama ini menjadi kantong calon PMI. Fokus ke wilayah tersebut hingga ke pelosoknya, setidaknya adalah langkah efektif dibandingkan keinginan menjangkau semua wilayah dengan anggaran yang tidak memadai.

Pemerintah sebagai leading sector perlu menggandeng banyak pihak untuk meluaskan proteksi PMI sejak sebelum keberangkatan. Salah satu yang bisa diajak kolaborasi untuk proses advokasi persoalan PMI adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada perlindungan PMI, termasuk menggandeng organisasi masyarakat yang memiliki program perlindungan PMI dan memiliki kantor perwakilan di negara lain.

Akhirnya dengan mengatasi secara serius faktor-faktor penyebab persoalan kasus WNI, khususnya PMI di luar negeri, seharusnya PMI kita jadi jauh lebih terlindungi. Keberanian untuk melakukan tindakan tegas pada persoalan yang terjadi di hulu akan memberikan dampak signifikan terhadap pekerjaan di hilir.

Sebab, melindungi segenap warga Indonesia di manapun mereka berada adalah kewajiban utama negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi kita.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi