Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi dan konsultan komunikasi
Bergabung sejak: 6 Mei 2020

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kilah-berkilah di Negeri (Bukan) Bedebah

Baca di App
Lihat Foto
Thinkstock
Ilustrasi korupsi
Editor: Egidius Patnistik

MENAKLUKKAN diri sendiri adalah kemenangan yang lebih besar daripada menaklukkan ribuan orang dalam pertempuran.”

Dalai Lama XIV tentu tidak sedang mencermati “tragedi” kemanusian yang terjadi di sebuah negeri yang bernama Nusantara ketika mengutarakan kalimat di atas. Ketika rasa bersalah bersalin rupa menjadi bantahan.

Bantahan demi bantahan dilontarkan demi membela sebuah keyakinan pridadi, untuk mengelak dari rasa salah. Tidak ada rasa malu dan tidak peduli dengan logika yang umum diyakini rakyat. Tampil sebagai ksatria berwibawa walau tangan berlumur darah atau harta berlimpah karena rasuah.

Tidak ada yang takut dengan Tuhan karena sejatinya bagi mereka Tuhan adalah formalitas dalam dokumen negara.

Di saat seorang prajurit rendahan bersumpah telah menembak rekan sejawat atas perintah atasannya, justru sang pemilik bintang di pundak mengaku hanya meminta untuk memberi pelajaran. Bukan membunuh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ubah Keterangan soal Perintah Menembak Brigadir J, Ferdy Sambo Bisa Dinilai Tak Kooperatif

Menghilangkan nyawa adalah ulah bawahannya karena ternodanya kehormatan keluarga sang jenderal. Proses peradilan belumlah digelar, namun bantah-membantah menjadi wajah sebenarnya para pelaku yang tidak merasa berdosa telah menghilangkan nyawa seseorang.

Padahal, kehadiran sang korban bagi keluarganya adalah pelengkap kebahagian sekaligus kebahagian yang tiada tara. Saya pun tidak mengerti padahal sang jenderal juga memiliki keluarga.

Jika urusan penghilangan nyawa saja dianggap bukan dosa yang disesali, apalagi soal keteladanan dari seorang kepala wilayah yang begitu luas. Wilayahnya membentang besar, lengkap dengan karunia hasil tambang yang melimpah.

Di saat rakyatnya masih berkutat dengan kelaparan akut, sang pemimpin masih sempat mempertaruhkan harta di meja judi. Persetan dengan rakyat, judi adalah penghilang rasa sakit walau dana telah tersetor ke bandar hingga ratusan miliar rupiah.

Demi judi dan pengobatan di negeri jiran, tidak peduli dengan tunggangan mahal yang harus disewa privat.

Baru kali ini lembaga rasuah dibikin “kelimpungan”, saat berulang kali gagal menghadirkan sang pesakitan. Diminta baik-baik tidak hadir, disiapkan para pengobat juga tidak digubris. Ketika serangkaian pasal-pasal penyuapan telah disiapkan, sang pemimpin pun tiba-tiba dinobatkan sebagai kepala besar para kaum.

Berbicara keteladan, kita memang jauh tertinggal dari butir-butir pengamalan azimat bangsa yang bernama Pancasila. Urat syarat malu para pemimpin seakan lenyap dalam sekejap, saat harta begitu dipuja dan jabatan begitu dikejar.

Lihat Foto
Dokumentasi Pribadi.
Keadaan banjir yang merendam wilayah Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Senin (10/10/2022). Wilayah tersebut terdampak banjir akibat luapan air kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat sejak Minggu malam.
Banjir adalah air hujan yang jatuh bersamaan

Tanah dilanda banjir saat musim hujan sedang melimpah. Ketika ibu kota negara sebagian terendam banjir, sang pemimpin pun berkilah itu karena air hujan yang jatuh saat yang bersamaan.

Warga yang kebanjiran sudah jengah dengan janji-janji manis sang penata kata, yang tidak seindah dengan janji kampanyenya. Air yang jatuh ke daratan, jangan dialirkan tetapi sebaiknya dimasukkan ke dalam tanah.

Baca juga: Pakai Master Plan 1973, Penangangan Banjir di Era Anies Sudah Usang

Warga terpesona dengan otak-atik kata yang menjungkirbalikkan akal sederhana. Warga pun harus mau keinginan sang pemimpin saat bertitah membuat sumur biopori berbiaya mahal. Di saat biopori tidak sanggup memasukkan air yang melimpah ke pori-pori tanah maka sekali lagi, air pula yang harus menanggung salah.

Tawaran menjadi calon penguasa negeri dari sebuah partai begitu menggoda sehingga alpa akan masa tugasnya sebagai penguasa wilayah belumlah berakhir. Jika mau bersabar, hanya hitungan hari sebetulnya jabatan prestise itu akan usai.

Akan lebih elok jika menerima kepercayaan besar saat sudah purna tugas. Bisa jadi, urusan patut-mematut menjual pesona dan prestasi menurut versinya ketika masih berdinas dianggap bisa menarik simpati massa.

Hitung-hitung memanfaatkan jabatan untuk menggapai jabatan yang lebih tinggi lagi. Kini warga yang akan ditinggalkannya akan mengenangnya sebagai pewaris pengubah kata “sakit” menjadi “sehat” di seluruh tempat pengobatan di daerahnya.

Pengubah nama jalan yang telah terpatri lama dalam lembar-lembar dokumen resmi menjadi nama-nama baru. Pasti setiap warga yang tinggal di rumah bersusun akan mengingatnya sebagai penggagas uang muka nihil persen dan pencanang lomba “kebut-kebutan” mobil listrik yang sepi sponsor tapi dipuja setengah mati.

Saya khawatir kalangan muda kita kelak tidak bisa lagi membedakan mana “besi” dan mana “loyang” ketika terpaan kabar sesat yang masif dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dunia media sosial – entah benar atau tidak - menjadi sebuah kitab pembelajaran tanpa terbantahkan.

Kita begitu krisis kepemimpinan dan keteladanan di saat ada lagi wakil pemimpin wilayah yang tidak risih akan mendapat kendaraan dinas berharga fantastis saat rakyatnya banyak yang hidup susah.

Sang wakil berkilah adalah hal yang “wajar” jika setiap orang menginginkan sesuatu termasuk dirinya untuk menunggangi mobil seharga Rp 1,7 miliar.

Jika seperti itu pola pikirnya, tentunya rakyat miskin yang dipimpinnya harus bisa meyakini bahwa sang wakil akan mengunjunginya lengkap dengan kendaraan dinas baru untuk memeriksa derajat kemiskinan yang dialami rakyatnya.

Sebelumnya, sang wakil juga kerap berujar kontroversial seperti ketika menggagas perlunya poligami sebagai katup pengaman penyebaran penyakit kelamin menular.

Lihat Foto
SuryaMalang.com/Purwanto
Penyintas tragedi Kanjuruhan, Kevia Naswa Ainur Rohma, menceritakan detik-detik insiden Sabtu kelabu.
Tragedi Kanjuruhan, matinya nurani

Kejadian tragis memilukan terjadi di arena yang seharusnya mempertontonkan sportivitas. Sebanyak 132 nyawa penonton terengut karena kalut gas air mata yang ditembakkan petugas pengaman.

Semua marah, tidak saja korban selamat tetapi sang penguasa terwahid di Republik ini hingga mengundang keprihatinan dari badan sepak bola dunia. Di saat tim pencari fakta mengurai asal muasal tragedi maka semua kalangan yang terlibat saling berkilah.

Si pengaman menganggap langkah penertiban suporter sudah sesuai prosedur. Pihak pengaman merasa tidak bersalah menembakkan gas air mata walau organisasi sepak bola dunia melarang penggunaannya dalam stadion.

Tidak peduli gas air mata itu kadaluarsa atau tidak, yang penting telah ditembakkan untuk menertibakan penonton. Penyelenggara lokal mengaku sudah berbuat maksimal walau karcis yang terjual jauh melebihi daya tampung stadion.

Pihak pengatur liga pusat yang memaksa pertandingan harus tetap berjalan menyalahkan stasiun layar kaca yang menyiarkan pertandingan. Sementara pihak stasiun televisi berkilah tidak pernah memaksa penyelenggara untuk mempertandingkan sepakbola di malam hari.

Persoalan semakin runyam ketika petinggi perkumpulan sepak bola nasional menolak mundur karena menilai kesalahan bukan berada di pihaknya.

Kejumawahan bertambah saat pelatih yang dianggap sukses mengantar persepakbolaan ke level Asia, juga mengancam lengser. Tidak hanya pelatih, para pemain pun kompak membela sang ketua yang dilihatnya tidak layak disalahkan apalagi diminta pertanggungjawabannya.

Benar-benar kilah-berkilah menjadi wajah kita semuanya.

Rasuah tak bernalar

Mengikuti kisah dari celoteh “pemain” penyedia alat-alat militer, saya begitu miris mendengar sepak terjangnya demi mendapat proyek. Ada kawan yang ingin menjadi pemasok peralatan perang tapi ketika bertemu dengan pemegang kuasa anggaran harus menyetor upeti walau proyek belum tentu didapat.

Saya menjadi tidak heran ketika perantara penjual pesawat kitiran angin me-mark up penjualan dengan mengubah barang bekas menjadi angkutan berspesifikasi very-very important person.

Dengan alasan untuk dana komando, saat petinggi disetor dana. Sang penyalur ditutup jatah besar sementara sang pemilik proyek berpendapatan gembul hasil kongkalingkong sana-sini.

Dari “pemain” sejenis saya bisa mencermati, bisnis tipu-tipu model seperti itu menjadi sebuah kewajaran dalam bisnis di negeri ini. Harga harus dikerek tinggi bahkan setinggi-tingginya demi membagi hasil jarahan yang terlihat seolah sesuai prosedur kepada para pembesar.

Pembesar disenangkan dengan beragam fasilitas yang selama ini hanya menjadi impian rakyat jelata. Pembesar senang diperlakukan bak raja diraja sementara sang pemilik proyek bertingkah pola mirip the rich people.

Sekali lagi rasuah memang tidak bernalar seperti halnya pembebasan lahan di Tangerang Selatan, Banten, yang akan digunakan untuk pendirian sekolah menengah. Sang pemegang kuasa anggaran memoles sedemikian rupa sehingga harga lahan dilambungkan sementara sang pemilik tanah dibuat menerima penggantian yang minimal.

Alhasil dari dana yang dikeluarkan dari anggaran negara sebesar Rp 17,8 miliar maka yang dijadikan ajang bancakan mencapai Rp 10 miliar lebih (Cnnindonesia.com, 26 April 2022).

Rakyat kecil yang tidak memiliki pangkat apalagi harta menjadi gamang di zaman edan seperti sekarang ini. Tidak ada yang bisa diteladani, minimal dijadikan tokoh yang layak dikagumi.

Ketika rakyat susah mengidolakan pesohor, kini pun juga berganti muak usai sandiawara demi sandiwara dipertontokan mereka. Ada pesohor yang kerjanya mencari penghasilan dari derita orang tetapi ada juga pendakwah yang selalu bermasalah dengan dana umat.

Ada selebritas yang terekam melempar bola sodok ke arah istrinya tetapi dikilahkan hanya main-main. Ada pula yang mengusili petugas tetapi berkilah hanya ingin membuat konten edukasi.

Kita memang benar-benar tinggal di negeri yang penuh kilah-berkilah seakan lupa hidup kita hanyalah mampir ngombe.

“Hiduplah seakan-akan kamu akan mati besok. Belajarlah seakan-akan kamu akan hidup selamanya.” – Mahatma Gandhi (1869 – 1948).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi