Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pengamat Penerbangan
Bergabung sejak: 4 Mei 2019

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Catatan Kaki untuk Penerbangan Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
Flightradar 24
B737-800 Lion Air registrasi PK-LKK penerbangan JT330 yang alami gangguan api di mesin pesawat saat di udara, Rabu (26/10/2022).
Editor: Egidius Patnistik

TANGGAL 27 Oktober selalu diperingati bangsa Indonesia sebagai Hari Penerbangan Nasional. Pada tanggal itu, 77 tahun  lalu, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Cureng rongsokan perang yang diperbaiki para teknisi-teknisi Indonesia.

Pesawat yang kemudian diberi label bendera Merah Putih itu pun berhasil diterbangkan di atas langit lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta dan menjadi pesawat Indonesia pertama yang berhasil terbang.

Penerbangan Indonesia kemudian terus berkembang baik militer maupun sipil. Penerbangan sipil bahkan menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia, terutama untuk mengangkut penumpang dan barang kargo dari satu pulau ke pulau lain di negara kepulauan ini.

Baca juga: Industri Penerbangan Mulai Pulih, Volume Angkutan Kargo di Bandara AP I Melonjak

Namun masih ada beberapa catatan kaki yang harus segera diperbaiki agar penerbangan sipil Indonesia benar-benar menjadi moda transportasi yang selamat, aman, nyaman, serta terjangkau oleh masyarakat sekaligus juga menguntungkan bagi pelaku bisisnya sehingga investasi di bidang ini bisa terus berkembang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keselamatan penerbangan

Hanya beberapa jam sebelum memasuki tanggal 27 Oktober 2022, kita disuguhi berita tentang insiden serius yang dialami pesawat Boeing 737-800 NG yang dioperasikan Lion Air untuk rute Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang menuju Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Pesawat dengan nomor penerbangan JT 330 itu lepas landas pukul 17.13 WIB, namun harus return to base (RTB) atau kembali ke bandara asal hanya 30 menit setelah mengudara.

Di media massa diberitakan bahwa penumpang sempat melihat adanya api di sayap, tempat mesin pesawat.

Maskapai Lion Air juga menyatakan ada yang tidak beres di mesin pesawat. Beruntung pilot berhasil membawa pesawat RTB dengan sukses, dan penumpang dapat dievakuasi dengan selamat.

Tentu kita harus mengapresiasi  kinerja sepasang pilot tersebut pada saat itu. Namun kejadian ini harus menjadi perhatian serius, diselidiki dan diinvestigasi lebih dalam agar jangan terulang lagi dan dicegah jangan sampai menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal.

Kondisi penerbangan saat ini, baik global maupun nasional memang sangat pelik. Setelah lebih dari dua tahun terpuruk dihantam pandemi Covid-19, bisnis penerbangan saat ini mengalami rebound atau titik balik.

Selama pandemi itu, banyak pesawat dikandangkan, kru-nya dirumahkan bahkan di-PHK (putus hubungan kerja). Namun saat ini, seiring menurunnya pandemi Covid-19, permintaan masyarakat akan penerbangan meningkat.

Pesawat dan kru yang tadinya dikandangkan dan dirumahkan, segera dipekerjakan lagi. Selain memenuhi keinginan masyarakat untuk terbang, tentu saja juga kesempatan bagi maskapai untuk menangguk untung, mengembalikan aliran dana (cash flow) perusahaan yang sempat macet selama dua tahun dihantam pandemi.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, pada Januari-Juni 2022 atau semester 1, jumlah keberangkatan pesawat terbang domestik dan internasional sudah mencapai 240.280 penerbangan.

Artinya sudah lebih dari separuh penerbangan jika dibandingkan tahun 2021 yang jumlahnya 367.574 penerbangan atau tahun 2020 dengan 463.816 penerbangan.

Baca juga: Mencari Solusi Terbaik Untuk Penerbangan Nasional

Jumlah penumpang yang diangkut pada semester 1 tahun 2022 ini juga sudah mencapai 29,4 juta penumpang atau hampir menyamai jumlah penumpang di 2021 yaitu 34,7 juta penumpang dan tahun 2020 sebanyak 42,5 juta penumpang.

Peningkatan tajam ini menggembirakan di sisi bisnis tapi juga harus diwaspadai di sisi keselamatan dan keamanan.

Pesawat yang selama ini dikandangkan, harus benar-benar dipersiapkan dengan baik sehingga layak terbang. Begitupun kru pesawat, harus dilatih kembali sehingga benar-benar siap menerbangan pesawat dengan selamat.

Dalam penerbangan, dikenal motto bahwa “the sky is vast, but there’s no room from error”. Artinya tidak ada toleransi bagi kesalahan sedikit pun dalam penerbangan karena hal itu bisa berpotensi besar menyebabkan kecelakaan fatal dan merenggut banyak nyawa manusia.

Untuk itu jauh sebelum dilakukan operasional penerbangan, harus dicek semua sarana dan prasarananya. Bukan hanya pesawat dan kru-nya, tapi juga bandara, navigasi bahkan hingga manajemen maskapai dan perusahaan pendukungnya.

Pengecekan harus dilakukan oleh maskapai dan perusahaan masing-masing serta harus diawasi, diinspeksi, dimonitor, dan dikendalikan oleh regulator penerbangan atau Kementerian Perhubungan. Menurut UU Penerbangan, Menteri Perhubungan adalah penanggung jawab keselamatan penerbangan nasional.

Menurut Prof Patrick Hudson dari Centre for Safety Science, Leiden University, keselamatan pada maskapai penerbangan mempunyai lima tingkatan. Dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi adalah pathological, reactive, calculative, proactive dan generative.

Sebuah maskapai bisa meningkat keselamatannya atau bahkan bisa menurun tergantung situasi yang dihadapi, seperti misalnya kondisi keuangan, persaingan bisnis dan hal-hal lainnya.

Untuk itu memang diperlukan pengawas dan sistem serta operasional pengawasan oleh regulator yang juga baik sehingga maskapai tetap bisa menjaga keselamatannya sekaligus juga tetap bisa menjalankan bisnisnya dengan lancar.

Dalam kondisi pasca pandemi yang menyebabkan industri penerbangan terpuruk, hal-hal tersebut memang menjadi kondisi yang menantang.

Indonesia tidak sendiri. Tanggal 23 Oktober lalu, pesawat A330 Korean Air juga mengalami overshoot dan terperosok di Bandara Mactan, Cebu, Filipina. Padahal Korean Air baru saja diumumkan sebagai salah satu dari 10 maskapai terbaik di dunia menurut lembaga penerbangan berpengaruh, Skytrax Internasional.

Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tren kecelakaan penerbangan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat.

Pada tahun 2017 ada 9 kecelakaan, tahun 2018 (12 kecelakaan), tahun 2019 (8 kecelakaan) dan di tahun 2020 dan 2021 masing-masing 9 kecelakaan. Namun patut diingat bahwa sejak tahun 2019, 2020 dan 2021, jumlah penerbangan menurun dibanding tahun 2018.

Dengan demikian tren kecelakaan (accident dan serious incident) per satu juta penerbangan Indonesia juga terus meningkat. Pada tahun 2017 tren-nya 3,9; tahun 2018 trennya 2,7; tahun 2019 trennya 4,2; tahun 2020 trennya 6,5; dan tahun 2021 trennya 5,4.

Tren kecelakaan Indonesia ini melebihi tren global yaitu 2,4 (2017); 2,6 (2018); 2,9 (2019); dan 3,8 (2020).

Peningkatan jumlah operasional penerbangan yang sudah dimulai pada awal tahun 2022 ini tentu saja harus diwaspadai. Jangan sampai jumlah kecelakaan dan insiden serius juga ikut bertambah dan membuat bangsa Indonesia menangis lagi.

Bisnis penerbangan

Bisnis penerbangan juga menjadi salah satu catatan kaki dalam perjalanan industri penerbangan nasional. Seperti diketahui, hingga saat ini harga tiket pesawat masih berada di level tarif batas atas.

Masyarakat, bahkan seorang Menteri Pariwisata Sandiaga Uno juga mengaku resah. Karena tingginya harga tiket ini memengaruhi banyak hal, termasuk di antaranya kunjungan wisatawan yang sebagian besar menggunakan transportasi pesawat.

Badan Pusat Statistik (BPS) berkali-kali menyatakan bahwa harga tiket pesawat yang mahal ini juga turut memengaruhi laju inflasi nasional. Dengan prediksi kondisi perekonomian global yang gelap di tahun 2023, tentu saja bisnis penerbangan dengan harga tiket yang tinggi tersebut harus pula dicermati, jangan sampai menjadi bagian gelap dari perekonomian di tahun depan dan merugikan masyarakat.

Memang tidak bisa dimungkiri, pada saat ini maskapai penerbangan berlomba mengumpulkan pendapatan untuk mengembalikan kondisi finansialnya yang terpuruk selama pandemi.

Sedikitnya jumlah pesawat yang bisa dioperasionalkan menjadi salah satu keuntungan bagi mereka, karena tingkat keterisian pesawat menjadi semakin tinggi.

Hal tersebut tentu saja harus dikendalikan oleh pemerintah selaku regulator penerbangan, mengingat penerbangan saat ini menjadi transportasi yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Bagaimanapun harus diberlakukan keseimbangan antara kepentingan maskapai dan daya beli masyarakat.

Namun demikian,  harus dijaga agar tidak terjadi lagi perang harga antar maskapai. Maskapai tidak boleh menjual harga tiket terlalu murah.

Walaupun awalnya menguntungkan masyarakat, tetapi bisa mematikan persaingan dengan maskapai lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya terjadi monopoli dan akhirnya merugikan masyarakat dalam jangka panjang.

Semoga catatan kaki ini bukan sekedar menjadi hiasan dalam perjalanan penerbangan nasional yang sudah hampir menyentuh satu abad.

Namun menjadi perhatian untuk perbaikan ke depannya oleh semua stakeholder sehingga penerbangan nasional benar-benar menjadi urat nadi perikehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi