Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan
Bergabung sejak: 13 Sep 2022

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Memaknai 94 Tahun Sumpah Pemuda

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/MAMAK SUTAMAT
Para tokoh Kongres Pemuda I dan II bertemu di Gedung Sumpah Pemuda (28/10/1978).
Editor: Egidius Patnistik

PADA hakikatnya, Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober sebagai momentum awal lahirnya bangsa Indonesia. Sebab pada waktu itu (28 Oktober 1928), untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama, mengakui “berbangsa satu, bangsa Indonesia”.

Kemudian, sebagai langkah perjuangan selanjutnya, didirikanlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tujuannya tidak lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Amanat Pembukaan UUD 1945).

Baca juga: Organisasi Kedaerahan yang Muncul Sebelum Sumpah Pemuda

Dari situ terlihat jelas bahwa rangka bangun NKRI dibentuk secara button up, bukan top down. NKRI adalah objektifikasi aspirasi seluruh bangsa, bukan aspirasi satu golongan, kelompok, ataupun kelas.

Sebagaimana di amanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan didirikannya NKRI tidak hanya untuk kemaslahatan bangsa-bangsa yang ada di kepulauan nusantara saja, tapi juga mencakup seluruh bangsa di dunia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dengan demikian, momentum Sumpah Pemuda bukan hanya tentang bagaimana memperingati kiprah pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknai kembali secara lebih jernih semua nilai dari gagasan persatuan Indonesia, yang menjadi konstruksi elementer NKRI ini.

Nilai dan konteks

Sebagaimana kita ketahui, segala sesuatu yang dianggap bernilai, tidak bersifat independen, tetapi terikat pada konteks.

Hubungan seksual akan bernilai baik dalam konteks pernikahan, tetapi akan dinilai sebagai perzinahan bila dilakukan di luar konteks itu. Bahkan perbuatan membunuh akan bernilai kepahlawanan bila dalam konteks perang. Tetapi akan bernilai pembunuhan bila dilakukan dalam situasi damai.

Inilah hukum besi penilaian yang berlaku secara universal. Karena konteks bersifat lentur dan dinamis, maka nilai membutuhkan pengelolaan yang kreatif, terampil, dan intens. Untuk inilah dibutuhkan sebuah kaidah, hukum, atau aturan yang menjadi kerangka pijakan bagi ekosistem nilai tersebut. Fungsinya adalah untuk mengikat konteks.

Berbeda dengan nilai, sebuah kaidah atau hukum harus bersifat ajeg, kokoh dan timeless. Bila tidak, maka konteks akan terlepas, sehingga nilai pasti akan bergerak liar.

Dalam kasus Indonesia, Pancasila adalah “kerangka nilai”, yang menjadi ekosistem, tempat nilai tersebut tumbuh. Ini sebabnya, Pancasila dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum di republik ini.

Pada titik tertentu, Pancasila adalah substansi yang menjadi identitas utama NKRI. Dalam kerangka ini, merawat nilai bhinneka tunggal ika dan Pancasila adalah hal yang paling fundamental bagi bangsa Indonesia. Menjaga kedua hal ini sama halnya dengan menjaga hidup itu sendiri.

Baca juga: Sumpah Pemuda, Tonggak Kelahiran Bahasa Indonesia

Tanpa kedua hal tersebut, konsep yang bernama Indonesia itu akan menjadi nisbi dan tak bernilai. Seperti ikan dengan air. Bila Indonesia adalah ikan, maka kebinekaan itulah airnya, semesta kehidupannya.

Konteks yang liar

Namun beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan sendiri, bagaiman kita gagap mendefinisikan konteks. Dinamika politik dalam konteks pilpres, kita artikan sebagai perjuangan hidup mati mempertahan eksistensi kelompok.

Tak ayal, kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon “perang” justru muncul pada konteks damai; konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks pemilu diartikan sebagai “revolusi”.

Akibatnya, nilai persatuan kita terguncang hebat. Penegakan hukum yang seyogyanya menjadi sarana untuk menjaga nilai, dicurigai dan dianggap sebagai kriminalisasi.

Konteks bergerak liar, dan nilai suatu pendapat ataupun tindakan digantungkan pada keberpihakan politik. Bahkan – yang paling mencemaskan dari semuanya - kaidah keilmuan pun dikebiri.

Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik ataupun apresiasi dicurigai memiliki tendensi. Dimasukkan dalam konteks politik yang bergerak demikian dinamis, bahkan di masa bencana pandemi Covid 19 melanda negeri ini.

Hari ini, kita kehilangan gugus makna, dan hanya bisa melihat nanar nilai Sumpah Pemuda di cakrawala sana. Semua titian sudah kita runtuhkan. Tak seorangpun yang bebas bergerak ke sana ke mari tanpa dicurigai.

Bahkan Prabowo dan Jokowi, seperti apapun mereka berusaha membangun rekonsiliasi, keduanya sudah terlanjur dibingkai dalam konteks kontestasi. Sialnya, dinamika yang tidak sehat ini terus berlangsung hingga saat ini.

Padahal, Pilres 2024 masih dua tahun lagi, dan Pilres 2019 sudah tertinggal jauh di belakang dengan menyisakan rekonsiliasi elite di dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Di sisi lain, kita sudah melalui bencana pandemi Covid 19 selama dua tahun belakangan, dan potensi ancaman krisis ekonomi, finansial, dan energi sudah di depan mata.

Di hadapan kita ada dua fakta alamiah yang muncul saat ini – yang bila tidak direspon atau dituntaskan – akan menjadi beban bagi generasi yang akan datang, serta akan membuat cita-cita Indonesia emas tahun 2045 bisa tidak tercapai.

Pertama, masa depan yang datang lebih cepat. Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami lompatan yang siginifikan, sebut saja; kemajuan dalam bidang komunikasi dan informatika, artificial intelligence (AI), bio-technology, nano-technology, aerospace technology, dan energi alternatif non-fosil.

Semua pecapaian ini, memang belum optimal dan sempurna. Tetapi kita sadari, inilah infrastruktur masa depan yang akan kita tuju nantinya. Itu sebabnya kita secara perlahan berbenah dan mulai beradaptasi.

Namun pandemi Covid 19 yang melanda dunia selama dua tahun terakhir, telah membuat masa depan itu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam ngarai kebingungan yang melanda, pencapaian teknologi masa depan itu menjadi jawaban.

Ketika semua orang disuruh untuk menjaga jarak dan berdiam di dalam rumah (lockdown), global inter-connectivity menjadi jawabannya; AI menggantikan kerja-kerja fundamental manusia yang tidak maksimal di masa pandemi; bio-technologi melalui derivasinya (genomic, recombinant gene techniques, applied immunology, and development of pharmaceutical therapies and diagnostic test), terus menembus batas untuk menemukan vaksin dan solusi lainnya yang berguna bagi manusia.

Dengan kata lain, bencana pandemi Covid 19 telah mendorong peradaban modern memasuki era yang benar-benar baru dengan bertumpu sepenuhnya pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ini jelas sebuat tantangan nyata bagi setiap negara, khususnya para generasi muda yang akan menjadi penerus tongkat estafet pembangunan bangsa.

Kedua, surplus demografi. Menurut Bappenas, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada 2030-2040. Saat itu jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).

Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa (bappenas.go.id).

Fakta ini, melahirkan harapan (optimisme) di satu sisi, tapi juga tantangan di sisi lain. Agar Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi, ketersediaan sumber daya manusia usia produktif yang melimpah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.

Maka, betapa mencemaskannya situasi yang kita hadapi saat ini.

Belum lagi bila kita menambahkan variabel politik, di mana efektivitas pemerintahan Jokowi-Ma’ruf hanya tinggal menyisakan waktu satu tahun lagi, sampai tahun 2023. Sebab di akhir tahun 2023, semua akan disibukan oleh kontestasi politik menuju Pemilu, Pilpres, dan Pilkada Serentak 2024.

Di sisi lain, program pembangunan Jokowi untuk membangun landas pacu peradaban Indonesia Emas 2024 belum rampung akibat terkendala masalah pandemi selama dua tahun. Sekarang semuanya terserah pada kita.

Sumpah Pemuda diperingati bukan sebagai ajang seremoni. Tapi sebagai pengingat bahwa nilai-nilainya harus terus dikontekstualisasi.

Ini seharusnya menjadi momentum strategis untuk menjahit kembali rasa kebangsaan kita, dan mencairkan friksi kelompok yang sudah membuat pengap ruang politik kita dalam beberapa tahun terakhir.

Berkaca pada Sumpah Pemuda 94 tahun lalu, para pendiri bangsa ini sibuk mencari titik temu dan merumuskan persatuan, di atas segala perbedaan dan ratusan alasan untuk bermusuhan.

Sedang kita hari ini sibuk menghujat, saling menyalahkan, dan mencari celah perbedaan di antara nilai-nilai persatuan yang sudah solid dirumuskan.

Bila kita tidak mampu merumuskan Sumpah Pemuda, setidaknya belajarlah menerimanya, atau sekurang-kurangnya, jangan pernah merusaknya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi