Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 4 Nov 2022

Guru Besar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arsitektur Kesehatan Global dan Tantangan Basis Data

Baca di App
Lihat Foto
Dok. kemkes.go.id
Kemenkes RI usulkan rancangan ketahanan sistem kesehatan global pada Health Working Group.
Editor: Egidius Patnistik

SAAT ini Indonesia didapuk menjadi tuan rumah perhelatan akbar Forum Presidensi G20 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Bali pada 15-16 November 2022.

G20 merupakan forum kerja sama multilateral strategis yang beranggotakan 19 negara utama dan 1 kawasan (Uni Eropa). Forum ini diyakini memiliki kapasitas dalam pengentasan pelbagai persoalan dunia karena merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi Bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen PDB (Produk Domestik Bruto) dunia.

Sebagai pemegang presidensi G20, Indonesia memiliki peran strategis, khususnya dalam mendorong kesadaran masyarakat dunia untuk bangkit dari keterpurukan pasca pandemi Covid-19. Tema yang diusung, “Recover Together, Recover Stronger", sangat relevan dengan situasi saat ini.

Baca juga: Hadiri Pertemuan Bahas Pandemi, Jokowi Dorong Kerja Sama Penguatan Arsitektur Kesehatan Dunia

Ada nuansa optimistik sekaligus ajakan kepada negara-negara di dunia untuk bergandengan tangan dan bahu-membahu untuk pulih bersama.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah satu sektor strategis yang dibahas dalam Forum Presidensi G20 adalah penguatan asritektur kesehatan global (global health architecture). Sektor ini dilatari oleh situasi di mana hampir semua negara dunia gagap dalam merespons pandemi Covid-19. Situasi ini juga menggambarkan potret di mana arsitektur kesehatan global melambat.

Pada konteks itulah, isu restructuring the global health architecture menjadi agenda utama yang dibahas di sektor kesehatan dalam upaya mendorong penguatan ketahanan kesehatan dunia.

Ikhtiar melakukan penguatan arsitektur kesehatan global merupakan langkah strategis bagi negara-negara dunia agar memiliki daya tanggap dan kapasitas yang lebih memadai dalam menghadapi kemungkinan krisis kesehatan yang terjadi di kemudian hari.

Boleh jadi dunia akan menghadapi pandemi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Maka, sistem kesehatan yang saling terkait dan mendukung antar negara menjadi kebutuhan mendesak.

Sedikitnya ada tiga strategi kebijakan yang perlu didorong Forum Presidensi G20 dalam upaya memperkuat arsitektur kesehatan global. Pertama, menyusun dan membangun mekanisme global health fund.

Kedua, membuka akses penanggulangan darurat kesehatan. Ketiga, penguatan mekanisme berbagi data yang terpercaya dengan pembentukan platform genome sequence data secara global.

Gagasan mengenai formalisasi platform global tentu layak disambut dan diapresiasi mengingat pentingnya ruang akses data dan informasi yang setara bagi semua pihak yang membutuhkan, khususnya sebagai instrumen kerja-kerja kemanusiaan.

Baca juga: KTT G20 Dikhawatirkan Tak Akan Hasilkan Komunike Bersama

Gagasan itu tampaknya dilatari pengalaman pandemi Covid-19, di mana saat virus mulai menyebar di Wuhan, China, dalam beberapa pekan, data sekuens genom kendati telah dapat diunggah, namun hanya dapat diakses para peneliti Amerika Serikat, Moderna, dan peneliti Jerman dari BioNTech.

Padahal, data tersebut sangat dibutuhkan semua negara dalam upaya mencegah dan mengendalikan Covid-19.

Lihat Foto
Dok. Shutterstock By metamorworks
Ilustrasi data science
Berkaca pada pengalaman kita

Masalah data kerap menjadi perdebatan klasik. Jika dirunut, akar persoalannya juga masih sama, yakni soal ego sektoral yang pada akhirnya berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis masing-masing lembaga pemerintahan.

Kondisi tersebut memicu aneka persoalan, seperti yang tampak saat pandemi Covid-19. Diskrepansi data pernah terjadi terkait angka kematian yang dirilis oleh sistem Bersatu Lawan Covid dengan data surveillance dari Public Health Emergency Operating Centre Kementerian Kesehatan dan laboratorium jejaring Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia.

Demikian pula kebijakan stimulus fiskal pemerintah dalam bentuk bantuan sosial (Bansos) Covid, juga berujung kisruh soal data.

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Resmi Gunakan Basis Data NIK untuk Cegah Penyalahgunaan

Belum adanya integrasi data antar kementerian dan daerah juga menuai perdebatan seputar data siapa yang benar terkait penerima bantuan. Potret betapa pentingnya basis data dapat dilihat pada keberhasilan pelaksanaan program vaksinasi Covid-19.

Sistem informasi vaksinasi yang terintegrasi yakni dengan penggunaan big data dan artificial inteligence yang dihimpun dari pelbagai lembaga, seperti Kemkominfo, Kemendagri, Kemenkes, TNI, Polri, dan pelbagai data lainnya yang disatukan menjadi Satu Data Vaksinasi Covid-19 menjadi faktor penting kesuksesan pelaksanaan program vaksinasi Covid-19.

Data tersebut pada akhirnya juga dapat digunakan sebagai landasan perumusan dan penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Di sektor kesehatan, disparitas kesehatan masyarakat dan akses pelayanan kesehatan masyarakat merupakan tantangan penyelenggaraan sistem informasi kesehatan. Data yang valid dan akurat memiliki signifikansi bagi upaya perluasan dan peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan untuk masyarakat.

Karena itu, Kementerian Kesehatan tampaknya juga masih terus mengupayakan terbangunnya sistem informasi kesehatan yang mampu menyajikan data dan informasi yang lengkap, akurat, dan tepat waktu sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan.

Upaya itu tentu membutuhkan data di setiap proses manajemen kesehatan, baik dalam konteks manajemen pelayanan kesehatan, manajemen institusi kesehatan, maupun manajemen program kesehatan berbasis wilayah.

Contoh lain dari kebutuhan soliditas data dalam sektor kesehatan adalah dalam upaya menargetkan penurunan prevalensi anak merokok (10-18 tahun). Jika mengacu pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi anak merokok dari 9,4 persen menjadi 8,7 persen pada 2024.

Ikhtiar itu perlu didukung sebagai langkah membangun kualitas sumber daya manusia yang sehat dan unggul. Namun demikian, dapat saja langkah ini menimbulkan anomie atau ketidakpastian jika data faktual prevalensi saat ini masih beragam.

Sebab, data-data yang berbeda dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda dengan implikasi kebijakan yang juga berbeda.

Menepis ego sektoral

Ego sektoral kerap menjadi sekat bagi upaya membangun sinergitas dan kolaborasi antar sektor kelembagaan pemerintahan. Kesulitan untuk membangun koordinasi dan kolaborasi biasanya diakibatkan adanya fragmentasi sektor.

Karena itu, upaya membangun kebersamaan dan sinergitas keseluruhan aktor dari seluruh sektor dalam pemerintahan menjadi hal yang niscaya, utamanya dalam kerja-kerja pengentasan persoalan yang dihadapi pemerintah.

Baca juga: Soal Basis Data Vaksinasi Covid-19, KPU Sebut Tak Beri Data Pemilih ke Kemenkes, tapi Sinkronisasi

Inilah yang disebut sebagai Whole of Government (WoG), yang menekankan pentingnya penyatuan keseluruhan elemen pemerintahan. Di antara langkah penting untuk menekan diskrepansi data antar sektor adalah dengan menepis ego sektoral itu sendiri.

Bermula dari cara pandang bahwa sinergitas dan koalisi antar sektor merupakan langkah strategis pengentasan masalah, bukan mengedepankan sisi superioritas antar sektor.

Berkaca pada praktik yang diterapkan di beberapa negara, pendekatan WoG dapat membangun sinergitas antar sektor dalam pengentasan pelbagai persoalan yang dihadapi pemerintah.

Di Inggris, misalnya, era kepemimpinan Tony Blair pernah mengintrodusir istilah Joined-Up Government. Sebuah langkah memodernisasi gerakan dan sistem berbasis WoG.

Lebih progresif lagi di Australia, membuka ruang keikutsertaan entitas non-negara seperti swasta dan kelompok masyarakat sipil dalam membangun kesamaan persepsi terhadap upaya pengentasan persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah.

Praktik tersebut menjadi kian lazim, seperti disebut Javier Barnes, di mana fungsi pemerintahan modern meniscayakan terjadinya pengorganisasian jaringan organisasi, pertukaran, dialog, dan saling ketergantungan para aktor publik dan swasta.

Soliditas data sebagai basis perencanaan dan perumusan kebijakan penting diwujudkan, sebagaimana amanah yang tertuang dalam beleid Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Semangat yang hendak dibangun adalah menyatukan pelbagai data ke dalam satu wadah agar tidak memunculkan kebingungan banyak kalangan terhadap keabsahan data itu sendiri.

Beragamnya varian data yang disajikan masing-masing sektor justru akan menuai anomi di ruang publik. Terhadap isu yang sama akan dipersepsikan secara berbeda jika pijakan datanya juga berbeda.

Sajian data dan informasi yang lebih baik dapat mendorong masyarakat untuk ikut bergerak dan terlibat membantu pengentasan persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah. Data yang solid juga dapat digunakan sebagai alat navigasi untuk menentukan akurasi sasaran suatu kebijakan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi