Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Filter Bubble, Echo Chamber, dan Ruang Digital Sehat Keluarga

Baca di App
Lihat Foto
Thinkstockphotos
Ilustrasi
Editor: Sandro Gatra

UNTUK memenuhi keperluan hobi, mungkin suatu ketika kita pernah Googling iklan sepeda. Kita tentu saja akan mendapatkan banyak link terkait penjual sepeda lewat search engine itu. Tapi tahukah bahwa soal tak akan berhenti sampai di situ.

Jika kita kemudian setelahnya berselancar di Facebook atau platform situs lain, maka “ajaibnya” platform digital yang dikunjungi itu akan menawarkan juga sepeda tanpa kita minta. Itulah cara kerja algoritma.

Pada platform digital, setiap pengunjung seperti nyaris “tanpa privasi”. Hal ini tak lain karena platform digital melalui sistem kerja algoritmanya dapat mengenali profil dan jejak digital yang disebut digital footprint atau digital track kita. Dan itulah yang kemudian dikelola untuk kepentingan iklan.

Berbasis cara kerja algoritma ini, platform digital dapat dengan mudah menyasar target pasarnya dan menayangkan iklan dari produk yang kita inginkan, yang menjadi pendorong minat untuk membeli.

Algoritma memang bisa saja tidak sampai mengenali data pribadi kita secara detail. Algoritma dalam konteks big data tidak tahu tanggal lahir, alamat, nomor NIK, apalagi golongan darah kita, dll, karena memang sejak awal tidak di-share.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun sistem elektronik cerdas ini bisa mengetahui profil, kecenderungan, keinginan, hobi, lagu yang disukai, makanan favorit, dan apa yang dibutuhkan. Semua itu tergantung dari digital footprint tadi.

Dan hal ini yang justru sangat signifikan untuk pasar digital dan bagaimana platform berperan memengaruhi ekosistemnya.

Filter bubble dan echo chamber

Filter Bubble sangat terkait dengan eco chamber. Jika filter bubble berdasarkan data atau history pengguna, maka echo chamber berdasarkan kesamaan informasi antarpengguna.

Apa perbedaan filter bubble dan echo chamber, sebuah artikel di BBC yang diunggah dalam situs bbc.co.uk dengan judul How algorithms and filter bubbles decide what we see on social media, menyatakan istilah echo chamber dan filter bubble digunakan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan di antara keduanya.

Mengutip pendapat Laura Garcia dari First Draft, echo chamber adalah cara di mana kita hanya menemukan informasi dari orang-orang yang berpikiran sama.

Sedangkan filter bubble adalah ruang di mana perilaku online kita sebelumnya memengaruhi apa yang kita lihat di media sosial berikutnya.

Seorang pakar dan sekaligus praktisi digital bernama Eli Pariser yang sukses menulis buku berjudul The Filter Bubble How The New Personlized Web Is Changing What We Read And How We Think dan menjadi New York Time Best Seler, adalah orang pertama yang mempopulerkan istilah filter bubble dan menyebutnya sebagai sebuah personal ecosystem of information.

Pariser berpendapat bahwa filter bubble akan memperkuat bias setiap orang. Filter bubble identik dengan ekosistem, di mana informasi yang muncul di platform digital atau medsos yang kita kunjungi, akan relatif “itu-itu saja”.

Cara kerjanya, memfiltrasi informasi yang tersebar dijagat maya, disesuaikan dengan kecenderungan dan minat pemilik akunnya.

Topik berita, isu politik, atau isu sosial budaya yang akan kita terima relatif seperti yang kita sukai. Tapi jangan heran bahwa konten yang ditampilkan akan berbeda dengan orang lain yang mengakses platform yang sama.

Filter bubble setidaknya sudah ditemukenali sejak Desember 2009. Saat itu Google mulai menyesuaikan hasil pencariannya untuk setiap pengguna dengan memprediksi apa yang menjadi keinginan penggunanya.

Perubahan kebijakan Google merupakan fenomena paling signifikan. Seperti dikatakan Pariser dalam bukunya Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, Harvard Book Store, intinya bahwa perkembangan ini memengaruhi cara orang mengonsumsi dan berbagi informasi sebagai masyarakat.

Filter bubble dan cara kerja algoritma di sisi lain awalnya memang diciptakan untuk memberikan layanan platform terbaik untuk pelanggannya. Sudah barang tentu juga untuk keunggulan komparatif layanan platform itu.

Dampak bertebarannya WA grup dengan komunitas yang relatif seragam, follower Twitter, viewer dan subscriber YouTube, Tiktok dll, telah mendorong semakin kuatnya ekosistem filter bubble dan echo chamber ini.

Konten yang diunggah akan membentuk gelembung tersendiri. Sementara link konten yang diunggah dan kemudian diakses oleh anggota komunitas atau follower, otomatis akan menjadi digital footprint bagi mereka.

Saat orang terjebak pada filter bubble, maka bisa menciptakan kecenderungan, menganggap pendapatnya merupakan pendapat umum dan mayoritas.

Padahal informasi yang terus-terusan muncul di platform digitalnya adalah informasi yang tersaring dan berasal sumber dan orang-orang dengan pendapat yang seragam karena kinerja algoritma tadi.

Ruang digital sehat keluarga

Filter bubble dapat membentuk pribadi yang tidak peduli pada sekitar atau informasi lain di luar filter bubble itu. Hal ini disebabkan karena cara kerja algoritma yang hanya menyuguhkan informasi sesuai dengan preferensinya.

Hal yang berbahaya adalah, jika terbangunnya kondisi bahwa seseorang seolah-olah sudah mengetahui segala macam berita. Padahal faktanya adalah semu.

Hal yang lebih fatal adalah, jika sampai membentuk pribadi ignorant, tidak peduli lagi terhadap pendapat atau informasi di luar ekosistem yang membelenggunya.

Dampak ikutannya, bisa berupa menganggap pendapatnya sebagai pendapat paling benar karena sama dengan mayoritas. Sehingga tidak tertarik dengan perspektif dan opini yang berbeda.

Di saat berita-berita bohong, hoax, fake news, provokatif, kontra produktif, bahkan informasi berbahaya untuk anak tersebar begitu rupa dan menjadi bagian dari informasi dalam filter bubble seseorang atau kelompok, maka sempurnalah keterbangunan ekosistem semu itu.

Hal yang sangat kita khawatirkan adalah, jika hal itu melanda anak-anak, yang karena dampak pandemi semakin akrab dengan internet dan platform digital.

Jika dibiarkan kekhawatiran lahirnya pribadi ignorant dan abai terhadap informasi di luar ekosistemnya akan sangat mungkin terjadi.

Filter bubble juga seringkali dihubungkan dengan click bait. Banyak sekali informasi yang judulnya bombastis, dengan kalimat agak panjang sehingga memberi kesan tanpa membaca lengkap beritanya orang sudah tahu isinya.

Banyak orang yang hanya membaca judul suatu berita langsung menyimpulkan tanpa membaca detail isinya. Padahal sangat mungkin judul dan isi berbeda jauh, bahkan hanya hoax sehingga menimbulkan ketersesastan.

Cara mengatasi

Bagaimana mengatasi hal ini. Langkah konkret yang bisa kita lakukan adalah dengan peduli atas perangkat digital (device) kita sendiri, dan yang digunakan anak-anak kita.

Lalu, memperluas sumber informasi agar tidak terjebak pada platform, media sosial atau situs web itu-itu saja.

Kunjungi berbagai platform digital lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih besar, tetapi pastikan sumbernya dapat dipercaya, dan kredibel agar tidak bias.

Rutin menghapus browsing history, cookies, dan mengaktifkan ad-blocker adalah juga hal penting.

Laura Gracia sebagaimana dikutip bbc.co.uk menyarankan agar kita juga mengikuti akun yang berbeda visi. Dengan cara itu kita akan melihat cerita hal yang berbeda dari yang biasa temui.

Hal yang tak kalah penting adalah lakukan juga komunikasi luring (offline). Berbincang dengan teman, keluarga, dan orang-orang di tempat kerja, kampus, sekolah secara langsung merupakan hal yang baik, daripada hanya mendapatkan cerita dari filter bubble.

Saatnya kita lebih peduli terhadap ruang digital, baik untuk diri sendiri, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya.

Mengawasi anak-anak dalam aktivitasnya sehari-hari di ruang digital adalah hal penting. Cek apa saja yang mereka akses, hapus historinya, hindari hal destruktif, dan arahkan pada konten positif edukatif.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi