Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)
Bergabung sejak: 15 Jun 2022

Peneliti dan Penulis

Pertaruhan Lingkungan di Balik Ambisi Hilirisasi Nikel

Baca di App
Lihat Foto
AFP/BANNU MAZANDRA
Aktivitas pekerja di smelter PT Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan. Gambar diambil pada 30 Maret 2019.
Editor: Egidius Patnistik

SECARA historis nikel telah lama digunakan terutama untuk paduan industri logam agar tahan korosi. Tak ayal, sekitar dua pertiga baja tahan karat saat ini mengandung nikel. 

Hal ini menyebabkan permintaan nikel sebagai komponen baterai lithium-ion (Li-Ion) terus meningkat dengan kontribusi permintaan sekitar 7 persen dari total permintaan nikel hari ini. Sekitar 10 persen dari kebutuhan nikel digunakan untuk berbagai teknologi energi bersih, baik sebagai bahan katoda untuk baterai maupun dalam bentuk paduan untuk energi terbarukan dan hidrogen.

Pangsa teknologi energi bersih dari total permintaan nikel diprediksi akan tumbuh lebih dari 30 persen dalam jangka menengah dan menjadi sekitar 60 persen pada tahun 2040 (IEA, 2022).

Pertumbuhan permintaan tersebut tak lepas dari produksi nikel global telah meningkat sebesar 20 persen selama lima tahun terakhir, terutama didorong oleh proyek ekspansi di Asia Pasifik, terutama Indonesia dan Filipina.

Baca juga: Nikel, Komoditas Logam Dasar Aneka Tambang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedua negara itu  mewakili 45 persen dari output global saat ini. Dominasi produksi nikel Asia Pasifik akan meningkat di tahun-tahun mendatang, karena berkontribusi atas sekitar 70 persen pertumbuhan produksi global selama periode hingga 2025.

Indonesia sendiri menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan tersebut. Hal ini didorong oleh perusahaan China yang menginvestasikan dan berkomitmen sekitar 30 miliar dolar Amerika Serikat (AS) dalam rantai pasokan nikel Indonesia.

Dalam jangka panjang beberapa proyek pun sedang direncanakan di luar Indonesia, seperti proyek Kabanga di Tanzania (salah satu deposit nikel sulfida terbesar, dengan 2,6 persen bijih berkadar tinggi) dan proyek Wingellina di Australia.

Nikel kelas 1 jadi incaran

Pasokan nikel di masa depan kemungkinan besar akan didorong oleh kemajuan di Indonesia, dan karena itu rantai pasokan nikel global dapat dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan kebijakan di Indonesia.

Pada 1 Januari 2020, misalnya, pemerintah Indonesia mulai menerapkan larangan ekspor bijih nikel, dua tahun lebih awal dari tanggal yang diumumkan sebelumnya, dengan tujuan memproses bijihnya di smelter dalam negeri (tidak mengekspor ke China) untuk hilirisasi nikel.

Tahun 2020 ekspor bijih nikel ke China turun hampir 90 persen dan ekspor nikel pig iron naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2019 (Reuters, 2021).

Hal itu pada gilirannya memaksa perusahaan penyulingan China untuk mencari sumber pasokan bijih baru dari Filipina dan New Caledonia. Pasalnya saat ini produsen baterai Li-Ion begitu gencar mengincar nikel dengan kemurnian paling tinggi.

Secara umum, terdapat dua jenis produk nikel primer, nikel kelas 1 produk dengan kemurnian paling tinggi (mengandung 99,8 persen nikel atau lebih) dan nikel kelas 2 dengan kemurnian lebih rendah (mengandung kurang dari 99,8 persen nikel).

Katoda baterai membutuhkan nikel sulfat, yang disintesis dari produk kelas 1.

Ada hubungan yang kompleks antara berbagai jenis sumber daya (sulfida, saprolit dan limonit) dan jenis produk (kelas 1 dan kelas 2). Deposit sulfida terutama banyak terdapat di Rusia, Kanada dan Australia, dan menjadi sumber pasokan utama nikel kelas 1 selama lebih dari satu abad.

Nikel terkonsentrasi dalam bijih pada kadar yang relatif tinggi, biasanya dalam kisaran 0,4-3,2 persen. Sedangkan sumber oksida (sering disebut laterit) seperti saprolit dan limonit banyak terdapat di Indonesia, Filipina, dan New Caledonia.

Baca juga: 3 Alasan Pentingnya Smelter Nikel di Indonesia

Bijih sulfida memang sangat cocok untuk proses pirometalurgi, karena kadar bijihnya relatif tinggi dan kadarnya mudah dikonsentrasikan dengan flotasi. Saat ini bijih sulfida merupakan sumber utama produk kelas 1 dengan kemurnian tinggi.

Bijih limonit biasanya diproses melalui proses hidrometalurgi seperti HPAL (high-pressure acid leaching), karena mudah untuk melindi nikel yang diserap dari tanah liat dan memiliki lebih sedikit magnesium.

Sementara, untuk sumber daya laterit terbentuk oleh pelapukan dalam suhu tinggi dan iklim lembab. Tanah bagian atas yang lebih lapuk disebut limonit, dan tanah bagian bawah yang kurang lapuk disebut saprolit. Nikel terutama diserap dalam tanah liat dalam bijih daripada mineral.

Saprolit memiliki kadar yang relatif lebih tinggi (1,8-3,0 persen) dibandingkan limonit (0,8-1,8 persen). Karena perbedaan ini, metode produksi produk nikel dan pemurniannya berbeda di setiap negara, tergantung jenis bijih nikelnya.

Bijih saprolite umumnya tidak cocok untuk produk kelas 1, dan lebih cocok digunakan untuk memproduksi produk kelas 2, misalnya feronikel dan besi kasar nikel.

Inilah gambaran bahwa prospek pasokan nikel begitu beragam. Pasar nikel secara keseluruhan kemungkinan akan tetap dipasok dengan pertumbuhan positif, tetapi gambarannya menjadi sangat berbeda untuk nikel kelas 1.

Saat ini produksi nikel kelas 1 sedikit surplus, tetapi peningkatan pesat dalam permintaan baterai membuat nikel kelas 1 berpotensi defisit di masa depan karena akan semakin diperebutkan.

Secara umum, sumber daya sulfida sangat cocok untuk memproduksi nikel kelas 1 baterai. Namun, sebagian besar pertumbuhan produksi di tahun-tahun mendatang diperkirakan akan datang dari daerah dengan sumber daya laterit dalam jumlah besar, seperti Indonesia dan Filipina, yang umumnya lebih cocok untuk produk kelas 2.

Dengan demikian, HPAL mendapatkan daya tarik sebagai cara untuk menghasilkan produk kelas 1 dari sumber daya laterit.

Lima proyek hidrometalurgi yang sedang dikembangkan di Indonesia semuanya menggunakan HPAL.

Hal ini perlu dicermati dan sekaligus ini menjadi tantangan. Pertama, proyek HPAL sebelumnya memiliki rekam jejak pembengkakan biaya dan penundaan proyek.

Kedua, HPAL secara teknis sulit dioperasikan secara stabil, karena HPAL memproses bijih berkadar rendah di bawah suhu dan tekanan tinggi.

Ketiga, karena HPAL menggunakan asam untuk melepaskan logam dari endapan, fasilitas produksi asam diperlukan di lokasi, yang menimbulkan biaya tambahan. Biaya modal untuk proyek-proyek HPAL biasanya lebih dari dua kali lipat biaya untuk smelter konvensional untuk bijih oksida.

Keempat, proyek HPAL cenderung memakan waktu empat hingga lima tahun untuk meningkatkan kapasitas hingga 80 persen (BloombergNEF, 2020).

Lihat Foto
KOMPAS.COM/istimewa
Hutan mangrove di wilayah Kawasan Industri Kariangau (KIK) rusak akibat pembangunan smelter nikel.
Mitigasi risiko pencemaran lingkungan

Rekam jejak masa lalu HPAL benar-benar harus menjadi pelajaran penting untuk prospek-proyek HPAL Indonesia yang sedang dijalankan. Proyek direncanakan untuk memanfaatkan infrastruktur yang ada, yang dapat membantu mengurangi biaya modal.

Namun, ada masalah lingkungan yang perlu ditangani, seperti emisi CO2 yang lebih tinggi yang timbul dari penggunaan listrik berbasis batu bara dan pembuangan tailing (limbah nikel) ke laut, sehingga menjadi ancaman bagi masyarakat pesisir.

Sementara fasilitas pengelolaan tailing masih banyak berbasis darat, penempatan tailing laut dalam sedang dipertimbangkan sebagai pilihan di Indonesia karena kondisi geografis negara yang unik (misalnya curah hujan yang tinggi dan aktivitas seismik yang sering) dan biayanya yang lebih rendah.

Namun, penempatan tailing di laut dalam menimbulkan kekhawatiran terhadap lingkungan laut. Pengolahan tailing yang ekonomis dan berkelanjutan akan tetap menjadi tantangan utama bagi proyek-proyek HPAL di Indonesia.

Jika semua proyek HPAL yang direncanakan di Indonesia berjalan dengan lancar dan sesuai prinsip ESG (Environmental, Social, and [Corporate] Governance), itu akan memberikan volume pasokan nikel kelas 1 yang cukup besar, mengurangi tekanan pada harga nikel dalam jangka menengah.

Beberapa opsi tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan produk kelas 1 jika terjadi kegagalan atau penundaan, tetapi semua opsi memiliki beberapa kekurangan dan akan membutuhkan harga yang lebih tinggi untuk mewujudkannya.

Mengingat tidak ada daftar panjang proyek di luar Indonesia, kemajuan di Indonesia akan menjadi kunci pasokan nikel untuk baterai di masa depan, setidaknya dalam waktu dekat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi