Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 17 Nov 2022

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) UIN Jakarta

Menyoal Diskrepansi Data Prevalensi Perokok Anak

Baca di App
Lihat Foto
FREEPIK/FREEPIK
Ilustrasi rokok.
Editor: Egidius Patnistik

POLEMIK soal diskrepansi data prevalensi perokok anak ramai diperbincangkan. Hal ini didasari adanya perbedaan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS, telah terjadi tren penurunan angka prevalensi perokok anak dalam empat tahun terakhir atau sejak adanya integrasi hasil Susenas dengan Riskesdas tahun 2018.

Saat itu, integrasi keduanya menunjukkan bahwa angka prevalensi perokok anak (10-18 tahun) masih di angka 9,65 persen. Setelahnya, angka prevalensi perokok anak terus menurun, yakni 3,87 persen pada 2019, 3,81 persen pada 2020, dan 3,69 persen pada 2021 (dataindonesia.id).

Baca juga: Tekan Perokok Anak, Cukai Rokok Harus Dinaikkan?

Sebaliknya, Kemenkes mengatakan bahwa angka prevalensi perokok anak mengalami peningkatan. Mengacu pada hasil Riskesdas yang dilakukan lima tahun sekali, Kemenkes menyebut bahwa angka prevalensi perokok anak tahun 2018 meningkat 1,9 persen dibandingkan tahun 2013, dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hingga saat ini tercatat belum ada data baru yang dikeluarkan secara resmi oleh Kemenkes, mengingat Riskesdas baru akan diadakan lagi tahun 2023.

Perbedaan data antara versi BPS dan Kemenkes tentu menyiratkan makna yang berbeda dan mendorong tafsir yang berbeda pula. Jika mengacu pada data Riskesdas tahun 2018, tersirat makna bahwa kerja-kerja pemerintah untuk penurunan prevalensi perokok masih belum signifikan.

Kendati ditopang dengan kebijakan cukai yang eksesif dan regulasi yang melarang penjualan kepada anak di bawah umur 18 tahun, angka prevalensi perokok anak justru mengalami peningkatan.

Sebaliknya, jika yang menjadi referensi adalah rilis mutakhir BPS berdasarkan Susenas sejak tahun 2019-2021, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja pemerintah berhasil dalam mengupayakan penyelematan generasi bangsa dari bahaya merokok.

Pertanyaannya kemudian, data mana yang seharusnya diacu? Sebab, adanya diskrepansi data ini berpotensi mengaburkan arah pengendalian prevalensi perokok anak di Indonesia dan kontradiktif dengan semangat upaya mewujudkan visi Satu Data Indonesia (SDI).

Visi Satu Data Indonesia

Selama ini, kisruh data yang kerap terjadi di lapangan disebabkan oleh produksi data yang beragam untuk satu isu masalah. Tentu, diskrepansi data dalam satu isu dapat menimbulkan ketidakpastian informasi bagi masyarakat.

Implikasi yang lebih mengkhawatirkan adalah kebijakan publik yang dilahirkan dari pijakan data yang salah. Seperti diketahui, data seharusnya menjadi acuan perencanaan suatu program agar yang dijalankan betul-betul selaras dengan realitas dan kebutuhan di tengah masyarakat.

Bagaimana mungkin perencanaan perumusan kebijakan maupun suatu program dapat dilakukan dengan baik, jika terdapat multitafsir atas kondisi faktual yang sesungguhnya?

Visi SDI meniscayakan pendekatan “one data” dalam tata kelola data. Selaras dengan prinsip SDI yang mengupayakan adanya penyajian data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan.

Baca juga: Cukai Rokok Naik, Bisakah Menurunkan Jumlah Perokok di Indonesia?

Hal itu pula yang menjadi semangat gagasan visi SDI sebagaimana amanat beleid Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019. Terbitnya beleid ini pada dasarnya hendak menyudahi masalah klasik persoalan data yang kerap melahirkan sejumlah persoalan, sehingga menuntut adanya langkah perbaikan tata kelola data.

Pada 3 November 2022, Poskolegnas UIN Jakarta menggelar seminar dan diskusi publik bertajuk “Mengurai Problem Basis Data dalam Penyusunan Arah Kebijakan dan Disain Arsitektur Kesehatan Nasional”. Sejumlah narasumber hadir, baik dari Kemenkes, BPS, Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, serta akademisi. Semua narasumber sepakat akan pentingnya mewujudkan visi SDI, terutama dalam rangka perumusan arah kebijakan kesehatan nasional dan mendukung penguatan arsitektur kesehatan global sebagaimana amanat Forum Presidensi G20.

Jamak diketahui bahwa salah satu tantangan krusial untuk mewujudkan visi SDI adalah ego sektoral yang hingga saat ini masih menjangkiti kementerian/lembaga negara. Pasca terbitnya Perpres Nomor 39 Tahun 2019, sudah semestinya ego sektoral dapat dikesampingkan dan digantikan semangat sinergi serta gotong royong antar kementerian dan lembaga.

Beleid tersebut secara tegas telah membagi peran tentang produsen data, walidata, dewan pengarah, dan sebagainya di mana semua aktor memiliki tugas dan peran yang sama pentingnya.

Jika mengacu pada beleid tersebut, kementerian dan lembaga sebagai produsen data sejatinya dituntut untuk menghasilkan data dengan mengacu pada prinsip standar data yang dibuat oleh BPS selaku salah satu pembina data statistik sektoral. BPS sebagai lembaga negara juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan terhadap para statistisi di tiap kementerian dan lembaga.

Jika demikian, sudah semestinya BPS menjadi leading sector bagi upaya mewujudkan data statistik yang berkualitas dengan merujuk pada sistem statistik nasional sebagai basis referensi kebijakan pemerintah.

Lihat Foto
PEXELS.com
Ilustrasi
Perlunya koordinasi antar sektor

Prinsip satu data memang tidak selamanya mendasarkan pada satu sumber data. Kebutuhan yang berbeda meniscayakan kebutuhan terhadap sumber data yang berbeda pula. Namun, produksi data tetap harus mengacu pada prinsip-prinsip standar data yang dibuat oleh pembina data.

Selain itu, visi SDI juga berorientasi pada bagaimana data dapat dibagipakaikan antarsistem yang saling terintegrasi.

Selain itu, interkomparabilitas data juga penting, jika harapan membangun big data hendak diwujudkan. Koordinasi antar-sektor merupakan langkah kunci untuk mengupayakan sinkronisasi data, sehingga polemik soal diskrepansi data dapat diantisipasi.

Baca juga: Integrasi Big Data Diharap Bisa Percepat Pembangunan Smart City

Kembali pada konteks polemik data prevalensi perokok anak, data BPS semestinya dapat digunakan sebagai rujukan mengingat data Riskesdas sudah tidak mutakhir. Sudah barang pasti perlu dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu untuk memahami dan menjelaskan mengapa hasil Riskesdas dan Susenas menunjukkan tren yang berbeda.

Satu hal yang disayangkan, di tengah terjadinya diskrepansi data ini, alih-alih melakukan koordinasi dengan BPS, sepertinya Kemenkes justru lebih memilih untuk merujuk pada data yang dirilis oleh lembaga-lembaga asing.

Hal ini terlihat dari tidak adanya rujukan data Susenas dalam rilis-rilis dan situs Kementerian Kesehatan. Sebaliknya, angka Global Youth Tobacco Survey berulang kali dikutip. Langkah tersebut tentu dapat memperburuk anomi masyarakat, mengingat kisruh soal data prevalensi perokok anak belum juga lepas dari dikotomi data versi BPS dan Kemenkes.

Dalam konteks yang lebih luas, hal ini juga menimbulkan pertanyaan terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut, pemerintah mencanangkan target penurunan prevalensi perokok anak dengan menjadikan data Riskesdas sebagai tolok ukur.

Pertanyaannya, apakah memang ada intensi khusus untuk meminggirkan data BPS dari proses perumusan kebijakan agar terkesan Indonesia darurat perokok anak? Pertanyaan tersebut tentu hanya dapat dijawab oleh pemangku kepentingan terkait.

Namun yang jelas, peningkatan kerja sama, kolaborasi, dan koordinasi antar-sektor merupakan sebuah tuntutan dalam mewujudkan Whole-of-Government (WoG). WoG merupakan sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang berupaya menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas.

Hal itu bertujuan agar tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik dapat terwujud dengan baik dan berbasis data yang sahih. Upaya mewujudkan visi SDI tentu menuntut kerja sama antar-seluruh pemangku kepentingan.

Demikian pula sajian data yang solid dan berkualitas juga dapat dinikmati oleh masyarakat. Jika langkah ini dapat dilakukan, pada tahap selanjutnya kita akan mampu membangun gerakan semesta dalam upaya pengentasan berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi