Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pegawai Negeri Sipil
Bergabung sejak: 19 Nov 2022

Seorang sarjana hukum dan aktivis hak asasi manusia (HAM). Pernah menjadi asisten pengacara publik di LBH Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Komnas HAM RI Perwakilan Papua. Instagram : @ridwanherdika

Persidangan Kasus HAM Paniai di PN Makassar dan Permasalahan Kewenangan Relatif Pengadilan HAM di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/HENDRA CIPTO
Sidang kedua kasus pelanggaran HAM berat Paniai di Pengadilan Negeri (PN) Makassar digelar, Rabu (28/9/2022). Dalam sidang kali ini, anggota polisi, Brigadir Andi Richo Amir (32) sebagai saksi terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu mengungkap warga ditembak di depan Koramil.
Editor: Egidius Patnistik

DARI sekian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Papua, salah satunya terjadi di Paniai pada 8 Desember 2014. Kasus itu dikenal sebagai “Peristiwa Paniai Berdarah 2014”.

Peristiwa tersebut menyebabkan empat orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka akibat kekerasan yang diduga dilakukan anggota TNI.

Delapan tahun berlalu, penantian keluarga korban akan keadilan seolah-olah dihadirkan negara dengan dimulainya persidangan perdana peristiwa tersebut melalui Pengadilan HAM di PN Makassar pada 21 September 2022. Namun, sebagaimana dugaan keluarga korban dan pemerhati hukum dan HAM di Tanah Air sejak awal, Pengadilan HAM itu dinilai mengecewakan oleh berbagai pihak.

Baca juga: Terdakwa Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua Mayor Isak Sattu Dituntut 10 Tahun Penjara

Mulai dari obyek materiil penyidikan hingga proses persidangan dianggap hanya gimmick semata agar negara seolah-olah dianggap telah melaksanakan kewajibannya untuk menjamin, memenuhi, menjaga, dan menegakkan hak asasi manusia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Luasnya isu yang menjadi polemik dalam proses peradilan itu tidak akan selesai melalui satu kolom tulisan dengan ruang yang terbatas ini. Karena itu, penulis akan berfokus terhadap permasalahan kewenangan relatif Pengadilan HAM di Indonesia, terutama dalam kasus Pengadilan HAM “Peristiwa Paniai Berdarah 2014”.

Kompetensi relatif Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc

Pengadilan HAM menurut UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibagi menjadi Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pengadilan HAM. Pengadilan HAM Ad Hoc berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat sebelum berlakunya UU 26 Tahun 2000 sehingga bersifat retroaktif. Sementara Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM yang berat pasca-berlakunya UU 26 Tahun 2000.

Kedua pengadilan tersebut pada dasarnya berada di lingkungan peradilan umum. Mengingat Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat sementara, kompetensi relatifnya diatur dalam Keppres yang telah diterbitkan presiden sebelumnya, tanpa terikat di mana locus kejadian perkara.

Sebagai contoh, peristiwa pelanggaran HAM di Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres Nomor 53 Tahun 2021 yang salah satu isinya memberikan kewenangan PN Jakarta Pusat untuk menyelenggarakan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hal tersebut berbeda dengan Pengadilan HAM. Seharusnya setiap pengadilan negeri di kota dan kabupaten di Indonesia mendirikan Pengadilan HAM. Yurisdiksi pengadilan HAM mengikuti kompetensi relatif masing-masing pengadilan negeri di setiap kota atau kabupaten di indonesia (lihat Pasal 3 UU 26 Tahun 2000).

Akan tetapi, entah apa original intent pembuat undang-undang, aturan selanjutnya dalam Pasal 45 UU 26 Tahun 2000 melimitasi kewenangan relatif masing-masing pengadilan negeri, baik di kota maupun kabupaten, di seluruh indonesia untuk mendirikan Pengadilan HAM dengan menunjuk pengadilan-pengadilan negeri tertentu yang berwenang mengadili pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Komnas HAM Soroti Pengadilan Pelanggaran HAM Berat Paniai Sepi Perhatian Publik

Bunyi Pasal 45 ayat adalah: “Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar”.

Selanjutnya ayat 2 menjelaskan soal pembagian yurisdiksi masing-masing Pengadilan HAM yang mana salah satunya wilayah Papua masuk ke dalam yurisdiksi PN Makassar.

Tidak adanya kepastian hukum

Hal tersebut kontradiktif jika kita melakukan penafsiran hukum secara sistematis. Adanya kontradiksi antar norma dalam Pasal 3 dan Pasal 45 UU 26 Tahun 2000 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, yang tentu dampaknya akan menghalangi keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat.

Belum lagi terkait rumusan yang ambigu, alias tidak jelas, pada Pasal 45 ayat 1 UU 26 Tahun 2000 terkait istilah “Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM…. dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.”

Apa yang dimaksud dengan frasa “untuk pertama kali...”? Apa patokan atas frasa tersebut? Apabila yang dimaksud ialah persidangan Pengadilan HAM pertama kali, bukankah Pengadilan HAM definitif pernah juga bersidang di PN Makassar tahun 2004 atas kasus pelanggaran HAM berat di Abepura? Mengapa saat ini kita masih tunduk dengan norma Pasal 45 ayat 1 tersebut atau ada maksud lain dari pembentuk undang-undang?

Terlepas apapun jawabannya, jelas norma tersebut menyebabkan kerancuan sehingga terjadi ketidakpastian hukum di tengah masyarakat. Belum lagi terkait tidak jelasnya urgensi mengapa pembuat UU hanya menunjuk lima pengadilan negeri yang berwenang mengadili pelanggaran HAM berat.

Harapannya, pembuat UU dapat memperbaikinya atau masyarakat “memaksa” memperbaikinya dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permasalahan ini berdampak signifikan terhadap access to justice bagi para korban pelanggaran HAM berat.

Due proccess of law dan asas aksesibilitas dilanggar

Dalam mencari kebenaran materiil, hakim harus memutuskan perkara dengan seyakin-yakinnya, tanpa ada keraguan sedikitpun di benaknya (beyond reasonable doubt). Implikasinya, pembuktian harus kuat dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum acara.

Pada persidangan HAM kasus Abepura 2004 telah terbukti bahwa jaksa kesulitan menghadirkan para saksi dari Papua ke Makassar. Hasilnya, terdakwa pun diputus bebas oleh majelis hakim.

Hal lainnya yang tidak kalah penting ialah pihak korban tidak dapat memantau jalannya persidangan secara langsung karena sangat jauhnya lokasi persidangan dari tempat kejadian perkara.

Permasalahan itu, selain terjadi pada persidangan HAM Abepura juga terjadi pada persidangan HAM Paniai. Padahal, esensi dari prinsip persidangan harus terbuka untuk umum ialah agar proses persidangan dapat diawasi para pihak yang berkepentingan, salah satunya pihak korban selaku justiciabelen.

Baca juga: Detik-detik Pelanggaran HAM Berat di Paniai: Oknum TNI Tembak Warga dan Tikam dari Dekat

Hal tersebut tentu merugikan kepentingan korban untuk mendapatkan keadilan (access to justice). Apabila permasalahan serupa terus berlanjut di kemudian hari, bagaimana keadilan substansial dapat diraih oleh korban dengan mengharapkan dari terselenggaranya Pengadilan HAM yang adil? (Atau memang hasil seperti ini yang diinginkan oleh penyelenggara negara?).

UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 diabaikan

Dalam konteks peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua, dalam hal ini kasus Paniai, negara seharusnya tunduk terhadap Pasal 45 UU Otonomi Khusus yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk Pengadilan HAM di Provinsi Papua. Lagi-lagi, entah mengapa penyelenggara negara mengenyampingkan norma tersebut dengan mendahulukan penerapan Pasal 45 ayat 1 UU Pengadilan HAM.

Padahal, apabila melihat asas penafsiran hukum lex specialis derogat legi generali, seharusnya pemerintah mendahulukan penerapan UU Otonomi Khusus karena sifat kekhususannya di tanah Papua.

Selain itu, apabila ditinjau dari asas penafsiran hukum lex posterior derogat legi priori, seharusnya juga pemerintah mendahulukan penerapan UU Otonomi Khusus karena merupakan produk perundang-undangan terbaru dibanding dengan UU Pengadilan HAM.

Apabila alasannya hanya normatif karena belum dibentuknya Pengadilan HAM di Papua sehingga tetap disidangkan di PN Makassar, lalu apa sulitnya dibentuk? Mengingat bahwa sebenarnya Pengadilan HAM “hanya” berada di lingkungan peradilan umum, dalam hal ini pengadilan negeri, sehingga tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru maupun hal lainnya.

Bukankah hal tersebut lebih menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat?

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Minta Para Saksi Dihadirkan dalam Pengadilan HAM Kasus Paniai

Apapun argumentasi hukum yang diberikan pemerintah untuk menanggapi hal ini, pada akhirnya penulis hanya ingin mengingatkan pesan dari ahli hukum progresif, almarhum  Prof Sutjipto Rahardjo, yang menyatakan bahwa sejatinya “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.

Parameter hukum yang baik ialah hukum yang dapat melayani masyarakat guna terciptanya keadilan substansial. Hal tersebut patut direnungi oleh penyelenggara negara selaku pemangku kewajiban (duty bearer) guna melaksanakan kewajibannya untuk menjamin, memenuhi, menjaga, dan menegakkan hak asasi manusia di indonesia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi