Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM
Bergabung sejak: 13 Jun 2022

Pemerhati Konstitusi

Geliat Resentralisasi pada Pemekaran Papua

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/Roberthus Yewen
Ribuan massa, saat menggelar aksi demonstrasi damai tolak rencana pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Papua yang berlangsung di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (01/04/2022).
Editor: Egidius Patnistik

PERTENGAHAN November ini, dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), muncul satu provinsi baru lagi di Indonesia, yakni Provinsi Papua Barat Daya. Ini merupakan provinsi baru keempat di Papua setelah tiga provinsi baru lainnya muncul dalam dua bulan terakhir. Tiga provinsi baru sebelumnya adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.

Pertanyaannya yang kemudian timbul adalah bagaimana bisa pemerintah pusat begitu leluasa memuluskan jalan pemekaran daerah di Papua? Pertanyaan terkait peran pemerintah pusat yang tampak dominan ini mencuat karena hal itu memperlihatkan sikap diskriminatif pemerintah pusat terhadap kepentingan daerah lain yang juga berhasrat untuk memekarkan diri.

Baca juga: Pemekaran Papua dan Pengabaian Aspirasi Masyarakat Adat

Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), semua daerah punya pintu masuk yang sama untuk memekarkan daerahnya, yaitu melalui usulan gubernur kepada pemerintah pusat, DPR RI atau DPD RI setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif.

Pemekaran dan desentralisasi

Sejak era reformasi dan segenap agenda amandemen UUD 1945, otonomi daerah melalui ide desentralisasi mencuat sebagai ide demokratisasi dari kekuasaan otoriter yang berjalan hingga tahun 1998. Desentralisasi terwujud pula dalam ide-ide pemekaran daerah yang sebelumnya melekat dengan pola top down yang sentralistik, kemudian menjelma menjadi bottom up.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kita bisa melihat bukti sentralisasi pemekaran yang terjadi zaman orde baru yang hanya menghasilkan tiga provinsi pemekaran. Sementara sejak reformasi yang desentralistis, dalam satu tahun saja bisa membentuk empat provinsi baru.

Tujuan pemekaran daerah berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-VII/2009 adalah: “Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga diharapkan dapat meningkatkan pula kesejahteraan rakyat serta menumbuhkan efisiensi dan kemudahan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Pemekaran daerah seyogyanya bermula dari kesepakatan yang berisi aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan”.

Pemekaran daerah bukan tanpa tantangan. Secara politis hal itu tersusupi kepentingan-kepentingan elite politik lokal untuk berebut kekuasaan agar dapat menduduki pos-pos jabatan publik. Persoalan elitis itu yang lebih mendominasi ketimbang kepentingan masyarakat sendiri.

Baca juga: Pemekaran Papua: Membangun Kemandirian Daerah Otonom Baru

Kepentingan elite

Dafrin Muksin, dkk. tahun 2021 mengungkapkan data yang cukup mencengangkan terkait dominasi kepentingan elite lokal terhadap ide pemekaran provinsi di Papua. Data Dafrin Muksin, dkk, menungkapkan bahwa kepetingan elite lokal dalam ide pemekaran mencapai 29 persen, lebih banyak dari anasir lainnya.

Elite lokal tersebut berupa bupati, gubernur, anggota partai, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penelitian yang sama juga menunjukkan, peran pemuka adat hanya sebesar 12 persen, tokoh agama 4 persen dalam ide pemekaran. Sementara peran masyarakat sipil di angka 0 persen.

Temuan menarik lainnya adalah pada urutan kedua yang mendominasi justru kepentingan (pemerintah) pusat, sebesar 25 persen. Kepentingan pusat mencakup kepentingan anggota DPR RI, MPR RI, dan Kementerian. Di bawahnya adalah kepentingan Polri sebesar 20 persen.

Persentase yang besar itu menggambarkan adanya campur tangan pusat yang amat besar dalam eksekusi pemekaran daerah. Kepentingan pusat itu perlu dipertanyakan secara serius. Sebab, secara kasuistik pada aspirasi pemekaran pada daerah-daerah lain tidak disikapi dengan baik dan selancar sebagaimana empat provinsi baru di Papua.

Ngurah Suryawan, peneliti dari Universitas Papua, mengatakan, pemekaran di Pulau Papua hampir selalu melibatkan siasat dari elite lokal serta kepentingan elite Jakarta. Untuk memahami motif politik ini bisa dilihat dari dua aspek.

Pertama, gerrymander berupa kepentingan partai tertentu dalam kaitannya dengan kekuatan politik di Papua. Kedua, peluang bisnis dan investasi oleh segolongan elite yang dapat semakin terbuka dan berkembang.

Untuk semakin membuktikan data di atas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2003 membuat laporan penelitian terkait konflik dalam pemekaran di wilayah Papua yang menjelaskan bahwasanya terdapat relasi dan lobi politik elite lokal Papua yang berdomisili di Jawa terhadap sejumlah elite politik pusat di satu partai politik untuk mempercepat pemekaran wilayah Irian Jaya Barat kala itu. Motif ini bisa saja direpetisi dalam pemekaran wilayah di Papua kini.

Konflik sosial

Ada geliat kepentingan pemerintah pusat yang tergambarkan dalam upaya untuk memudahkan pemekaran daerah Papua melalui revisi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, tahun lalu. Pasal 76 UU a quo diubah ketentuan terkait pemekaran daerah yang semula “wajib” melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menjadi hanya bersifat “opsional”.

Dengan revisi UU Otsus itu, selain tergambarkan semakin mudahnya pemekaran daerah Papua dengan upaya legislasi oleh pusat, berpeluang besar juga tereduksinya aspirasi-aspirasi masyarakat daerah yang seharusnya dapat disalurkan dengan baik melalui DPRP dan MRP.

Hal itu terbukti. Pemekaran empat provinsi baru segera dieksekusi pasca-revisi UU Otsus tersebut disahkan.

Fenomena upaya pusat yang amat gigih untuk pemekaran Papua ini pantas disebut sebagai geliat resentralisasi dengan kembalinya dominasi pusat atas daerah.

Corak pemekaran yang lebih sentralistik ini dapat menghasilkan konflik sosial yang buruk. Konflik sosial bisa terjadi karena tidak begitu melibatkan masyarakat daerah.  Selain itu, hal tersebut dapat memicu konflik di daerah-daerah lain yang berhasrat memekarkan provinsinya, tetapi seperti terhambat oleh pemerintah pusat.

Daerah yang cukup berhasrat melakukan pemekaran adalah Provinsi Kepulauan Flores (PKF). Beberapa langkah teknis dan politis sudah ditempuh. Namun respon pusat tidaklah  sekencang wacana pemekaran Papua.

Saat ini, ide pemekaran baru diterima sebatas Rancangan Undang-Undang Provinsi NTT yang merupakan revisi Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 yang disetujui pada rapat kerja DPR tahap I dan belum tentu juga di dalamnya diakomodir ide pemekaran Provinsi Kepulauan Flores.

Mudahnya pemerintah pusat membentuk provinsi baru atas kepentingan politik yang dominan bisa menjadi presen buruk. Ketidakadilan sikap pusat dalam pemekaran daerah dapat memicu protes besar daerah-daerah lain dan hal itu  bisa saja menyebabkan disintegrasi.

Refleksi dan solusi

Secara ideal pemekaran daerah harus ditujukan agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat dan daerah, harus dapat mengefisienkan birokrasi, serta dapat semakin mengakomodasi aspirasi masyarakat secara lebih baik dengan peran-peran masyarakat di daerah. Pemekaran empat provinsi di Papua juga harus mewujudkan itu di balik problematika yang ditimbulkannya.

Sebagai langkah preventif, agar pemekaran daerah khususnya provinsi tidak menjadi problematis, serta agar mencegah kepentingan politik dan kepentingan pemekaran yang berbeda-beda pada setiap rezim kekuasaan, maka diperlukan aturan hukum yang dapat menjadi blueprint pemetaan daerah di seluruh Indonesia.

Pintu masuk aturan tersebut dapat dimulai dari aturan turunan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengeksekusi potensi-potensi pemekaran daerah melalui pemetaan baik etnis, sosial-budaya, sosial-politik, sosial-ekonomi, dan lain sebagainya.

Pada sisi lain, pemerintah pusat selayaknya harus bersikap lebih sebagai pengontrol pasif dalam upaya pemekaran daerah daripada aktif. Biarlah daerah-daerah saja yang berhasrat dan menyumbangkan aspirasinya dalam masa pemekaran daerah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi