KOMPAS.com - Orang dewasa di Jepang dan Korea Selatan mengalami perubahan gaya hidup seiring terjadinya resesi seks.
Resesi seks adalah keengganan seseorang atau pasangan suami istri untuk memiliki anak, atau memilih untuk memiliki sedikit anak.
Hal ini juga ditandai dengan turunnya gairah seksual karena berbagai faktor.
Baca juga: Krisis Inggris Memicu Meningkatnya Pekerja Seks hingga Kelaparan
Penyebab Jepang dan Korsel alami resesi seks
Dilansir dari The Guardian, Sabtu (19/11/2022), saat ini wanita Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak.
Menurut mereka, menikah dan memiliki anak dinilai membutuhkan banyak biaya.
Selain itu, di Jepang ada juga peran gender konservatif yang memaksa banyak wanita untuk berhenti bekerja begitu mereka hamil dan memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak.
Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604, angka ini terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899.
“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan jadi seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo.
“Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak," kata dia.
Iwai mengatakan, jika memiliki anak di Jepang, dan suami bekerja, maka ibu diharapkan berhenti dari pekerjaannya dan beralih menjadi ibu rumah tangga untuk menjaga anak.
"Saya hanya merasa sulit untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik," ujar Iwai.
Baca juga: Cara Meningkatkan Kenyamanan Hubungan Seks jika Penis Berukuran Besar
Profesor Showa Women's University, Naohiro Yashiro mengatakan, kemungkinan faktor keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan.
Menurut dia, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah yang sama dengan laki-laki.
Sehingga rata-rata masa pencarian pasangan mereka lebih lama.
Saat ini, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan adalah 29 tahun, jauh melampaui masa menikah di tahun 1980-an yakni 25 tahun, di mana saat itu sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.
Korea Selatan
Resesi seks juga terjadi di Korea Selatan. Penduduk Korsel memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia dan populasi yang menua dengan cepat.
Seorang pekerja kantoran yang baru menikah dan berencana tidak ingin punya anak, Choi Jung-hee mengatakan, kehidupan rumah tangganya hanya dirinya dan suaminya saja sudah cukup.
“Kami menginginkan kehidupan yang menyenangkan bersama, dan sementara orang mengatakan memiliki anak dapat memberi kami kebahagiaan, itu juga berarti harus banyak menyerah,” ujar Jung-hee.
Tahun 2021, jumlah pernikahan di Korsel mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 193.000, di negara di mana separuh penduduknya sekarang percaya bahwa pernikahan bukanlah suatu keharusan.
Kebanyakan wanita dewasa memprioritaskan kebebasan pribadi dan dengan sengaja mengesampingkan pernikahan sama sekali.
Baca juga: Gairah Seks Tiba-tiba Melonjak? Mungkin Ini 6 Penyebabnya
Hal itu juga berpengaruh akibat adanya kesenjangan upah gender terburuk di OECD.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah organisasi antar pemerintah dengan 38 negara anggota, didirikan pada tahun 1961 untuk mendorong kemajuan ekonomi dan perdagangan dunia.
Di antara negara-negara OECD, Korea Selatan memiliki salah satu tingkat kepuasan hidup terendah, dan tingkat bunuh diri tertinggi.
“Orang akan mulai memiliki anak hanya ketika kita menciptakan masyarakat di mana anak-anak tumbuh lebih bahagia dari kita,” kata Jung-hee.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.