Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Selamat Datang Era Baru "Urban Mining"

Baca di App
Lihat Foto
Dok. iStock
Ilustrasi sampah elektronik.
Editor: Egidius Patnistik

RAKSASA elektronik Samsung kini menambang emas, perak, dan logam mulia lainnya dari sampah-sampah elektronik di zona Pasifik Selatan. Demikian tulisa Aimee Shaw, jurnalis New Zealand Herald, 2 November 2022 di situs web Fairfax Digital.

Ini tren global, era baru penambangan sampah-sampah di kota-kota (urban mining) kini dan ke depan, bukan lagi penambangan fosil, logam mulia, atau emas dari perut bumi.

Terobosan Samsung itu sangat strategis. Sebab, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, 2021), misalnya, memperkirakan bahwa rata-rata tiap orang menghasilkan 7,6 kg per kapita esampah elektronik)per tahun (WEEE Forum, 2021).

Baca juga: 5 Miliar Ponsel Bakal Jadi Sampah Elektronik, Tingginya 60.000 Kali Burj Khalifa

Oktober 2021, ahli kimia James Tour asal Rice University merilis satu hasil riset lab bahwa metode pemanasan flash-Joule dapat mengekstrak logam ‘komersial’ dari sampah elektronik dan menghilangkan logam berat beracun, seperti kromium, arsenik, kadmium, merkuri, dan timbal (J Falk et al., 2021).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lotfi Belkhir dan Ahmed Elmeligi (2018) merilis hasil riset tentang jejak emisi elektronik (ICT) hingga tahun 2040. Hasilnya, ponsel, laptop, tablet, atau infrastruktur kegiatan virtual sejenisnya, memicu 3,5 persen emisi CO2 global tahun 2020 dan sekitar 15 persen tahun 2040.

Emisi produksi ponsel berkisar 125 megaton (Mt) tahun 2020 dan sekitar 17 Mt tahun 2010. Kira-kira 95 persen emisi CO2 itu berasal dari produksi. Solusinya ialah daur-ulang ponsel atau gunakan ponsel dalam waktu lama.

Awal abad 21, papar Raffaello Cossu et al. (2015:1), hampir semua industri tata kelola daur-ulang sampah adalah urban mining atau penambangan (sampah) perkotaan.

Daur-ulang sampah-sampah perkotaan berguna untuk menghasilkan bahan-bahan baru manufaktur beragam produk. Sampah-sampah itu mencakup plastik, kertas, kayu, sampah pangan, elektronik, sampah bangunan, hingga sampah medis.

Dari basisnya di Selandia Baru, raksasa elektronik Samsung mengumpulkan sampah elektronik, seperti ponsel, TV, lemari es, tablet, dan barang elektronik bekas lainnya di Samoa, Tonga, Fiji, Papua Nugini, Vanuatu, dan Tahiti. Samsung dan Computer Recycling mendaur-ulang sampah-sampah perkotaan itu pada satu fasilitas pabrik di Auckland.

Sejak tiga  tahun silam, perusahaan Samsung Electronic merintis industri ‘penambangan di kota-kota’.

“As a global company, we strive to do our best to be responsible for the future of humanity and the environment. Human rights violations and environmental degradation caused by the mining of minerals in Indonesia and conflict-affected regions of Africa are important global challenges,” tulis Samsung Electronic (Juni, 2020) tentang risiko konflik dan degradasi lingkungan akibat penambangan mineral-mineral di Indonesia dan zona Afrika.

Produk-produk elektrik dan elektronik Samsung Electronic selama ini menggunakan bahan-bahan mineral misalnya tantalum, timah, tungsten, emas, dan kobalt. Kini Samsung Electronic fokus ke penambangan bahan-bahan ini pada sampah-sampah perkotaan.

Target Samsung antara lain, tahun 2050, Samsung dapat mengurangi 70 juta ton emisi karbon dioksida dan penggunaan air. Tentu ini sangat strategis. Alasannya, antara lain, menurut Angeli Mehta (2019), candu ponsel masyarakat dunia memicu 125 megaton emisi per tahun.

Tren ‘urban mining’

Samsung Electronic mendaur-ulang emas dan perak dari enam juta ponsel sampah untuk membuat 5.000 medali bagi para pemenang pertandingan Olimpiade Tokyo tahun 2020. Sampah ponsel itu dikumpulkan dari masyarakat Jepang.

Hasilnya, 80 ribu ton ponsel dan perangkat elektronik yang menghemat sekitar 5 ton logam mulia medali. Contoh lain, Samsung memproduksi Galaxy Z Flip 4 dari 100 persen bahan daur-ulang (Aimee Shaw, 2022).

Baca juga: 5,3 Miliar Ponsel Jadi Sampah Elektronik di Tahun 2022

Samsung hanya satu contoh dari era baru penambangan sampah di kota-kota akhir-akhir ini. Tren global ini tidak hanya menyerap lapangan kerja, tetapi juga mengurangi emisi karbon dioksida, sangat ramah-lingkungan, sangat efisien, dan sangat hemat.

Angeli Mehta (2019) misalnya menyebut perkiraan Apple bahwa penggunaan tembaga dari daur-ulang sampah elektronik dan listrik (e-waste) di kota-kota, dapat menghindari penggunaan sekitar 60 ribu ton tembaga hasil tambang dari perut bumi per tahun.

Mehta menyebut peluang e-waste; misalnya, tahun 2016, masyarakat global menghasilkan sekitar 45 juta ton e-waste dengan nilai sekitar 55 miliar euro. Jenisnya antara lain emas, perak, platinum, dan palladium.

Dari jumlah itu, sekitar 20 persen dapat didaur ulang. Sisanya, berbentuk sampah-sampah di kota-kota. Jumlah ini belum termasuk sampah pangan, sampah medis, sampah bangunan, dan sampah lainnya.

Di Gusan, Korea Selatan, pabrik daur-ulang sampah elektronik mengekstrak logam khusus bateri mobil listrik. Tenaga kerja dan teknologi di sini tidak menggali tanah dan tidak memurnikan bijih mineral. Tenaga kerja hanya memilah-milah sampah bateri lithiumion dari ponsel dan laptop bekas. 

Mengapa Korea Selatan membangun urban mining? Sebab Tiongkok memburu kobalt dan lithium bahan bateri kendaraan listrik di berbagai zona dunia. Akibatnya, harga mineral-mineral ini naik tajam, bahkan pasokan logam utama skala global pun berkurang.

Siasat Korea Selatan sukses. Industri urban mining mineral logam seharga 18,38 miliar dollar diekstrak dari sampah-sampah elektronik tahun 2016. Jumlah itu memasok sekitar 20 persen kebutuhan logam Korea Selatan (Jane Chung et al., 2018).

Akhir-akhir ini, Tiongkok mengandalkan pasokan logam dari Kongo dan Cile melalui penambangan ke perut Bumi. Sedangkan Korea Selatan, misalnya perusahan SungEel HiTech, di kota barat daya Gunsan, mengekstrak sekita 8 ribu ton lithium-ion dan logam dari sampah elektronik per tahun sejak 2018.

Hasilnya, antara lain, 830 ton litium fosfat, 1.000 ton setara logam kobalt, dan 600 ton nikel. Jumlah ini bakal meningkat sejak 2019.

Data Korea Institute of Geoscience and Mineral Resources (milik pemerintah Korea Selatan) menyebut, tahun 2017, Korea Selatan mengimpor 3,5 juta ton nikel; jumlah itu naik 2 persen dari tahun 2016; impor kobalt 13.972 ton tahun 2017. Korea Selatan memilih strategi dan program penambangan sampah di kota-kota guna mengurangi ketergantungan pada pasokan mineral atau logam-logam langka dari impor.

Hingga tahun 2018, menurut data Urban Mining Association (2018) Korea Selatan, jumlah UKM dan UMKM pada sektor urban mining di Korea Selatan, berkisar 150 perusahan.

Kira-kira 20 tahun silam, perusahan Eco-System berdiri di Honjo, sekitar 80 km dari kota Tokyo, Jepang. Perusahan ini mendaur-ulang sampah elektronik dan limbah industri lainnya. E-waste dipilah dan direndam dalam bahan kimia guna menghasilkan logam murni.

Tahun 2018, Eco-System dapat menghasilkan 200-300 kg emas murni per bulan seharga kira-kria 5,9 juta – 8,8 juta dollar AS (Miho Yoshikawa, 2018). Peluang Eco-System sangat besar, seperti logam-logam khusus, misalnya indium, termasuk komponen penting untuk produksi layar komputer, antimom, bismut, televisi panel, dan produk teknologi tinggi lainnya.

Jenis industri seperti Eco-System tentu saja bukan hanya unggul ramah-lingkungan, tetapi juga dapat melibatkan UKM dan UMKM dari masyarakat perkotaan.

Urban mining adalah pilihan strategis dan solusi ramah lingkungan bagi industriindustri elektronik Jepang yang memiliki puluhan juta sampah ponsel dan gadget elektronik per tahun.  Di sisi lain, Jepang tidak memiliki sumber daya alam kaya.

Rata-rata penduduk Jepang menggunakan ponsel kira-kira 2 tahun 8 bulan; jumlah penduduk Jepang berkisar 128 juta jiwa. Namun, menurut Miho Yoshikawa (2018), Maret 2006- Maret 2007, hanya 20 persen atau sekitar 558 ton sampah ponsel didaur-ulang per tahun di Jepang.

Contoh urban mining lainnya di Skotlandia yakni Technology Renewal Centre untuk pelanggan pemerintah dan bisnis. Jasa daur-ulang e-waste antara lain peralatan elektronik konsumen diservis khusus sesuai kebutuhan pelanggan, misalnya keamanan data pengguna. Hasilnya, tingkat penggunaan-ulang elektronik berkisar 95 persen.

Jasa Technology Renewal Centre melayani daur-ulang 9.000 laptop, PC, dan ‘workstation’ per pekan sejak tahun 2012. Jadi, kini tiba era baru urban mining guna melahirkan kota-kota sehat, lestari dan bebas sampah berbahaya.

Iptek dan kurikulum edukasi

Stefan Rau (2019:2) menyebut empat nilai guna dan strategis dari urban mining, yaitu menkonservasi energi, mengurangi emisi gas rumah-kaca, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan ramah lingkungan.

Namun, untuk meraih empat manfaat tersebut membutuhkan konsep, modul, silabus, dan kurikulum urban mining. Misalnya, proses daur-ulang sampah membutuhkan iptek bidang biologi, kimia, dan teknologi (ADB, 2017).

Kelompok sampah, misalnya, sampah industri, sampah rumah-tangga, sampah pangan dan organik, sampah bangunan, sampah elektronik dan elektrik, dan sampah medis (Rau, 2019). Sampah elektronik mengandung baja, lembaga, perak, emas, plastik, dan rare-earth-elements (REE).

Bagaimana peluang ekonomis urban mining? “There's gold in them landfills'” tulis Alister Doyle (2018) yang mengutip laporan riset dan kajian Prospecting Secondary Raw Materials in the Urban Mine and Mining Waste (ProSUM, 2018) tentang sampah di 30 negara Eropa. Jadi, ada emas di sampah-sampah. Jenisnya antara lain emas pada ponsel dan kobalt
pada baterai mobil listrik.

Kendaraan bekas, baterai, komputer, lemari es, dan sampah elektronik-listrik lainnya berkisar 18 juta ton per tahun di 30 negara zona Eropa. Sampah-sampah itu mengandung mineral bernilai miliaran dollar AS.

Misalnya, ProSUM (2018) menyebut, ponsel memiliki konsentrasi emas 25-30 kali dari bijih emas primer terkaya dari perut Bumi! ProSUM juga melaporan bahwa tahun 2016, sampah elektronik di seluruh dunia mengandung mineral seharga kira-kira 55 miliar euro atau sekitar 67,29 miliar dollar AS.

Kajian Angeli Mehta (2019) melaporkan bahwa rata-rata tiap tahun sampah elektronik
bertambah sekitar 4 persen di seluruh dunia. Maka awal 2019, PBB menyatakan, “It is time to reconsider e-waste, re-evaluate the electronics industry and reboot the system for the benefit of industry, consumer, worker, health of humankind and the environment.”

Di Inggris, perusahan Mazuma Mobile mengembangkan urban mining. Misalnya, Mazuma Mobile membeli iPhone bekas dan memperbaikinya untuk dijual lagi; perusahan iMend di Inggris khusus melayani servis daur-ulang iPhone di rumah dan kantor-kantor.

Contoh lain, perusahan Hyla Mobile di Amerika Serikat, sejak tahun 2009, mendaur-ulang sekita 50 juta ponsel, misalnya daur-ulang komponen, tukar-tambah, dan sejenisnya (Angeli Mehta, 2019).

Itu hanya beberapa contoh penambangan dengan peluang besar kini dan masa datang. Seperti halnya arah baru urban-mining Samsung Electronic asal Korea Selatan, perusahan-perusahan ini juga berupaya menghasilkan sustainable minerals dan mencegah conflict minerals pada zona-zona tambang mineral dari perut Bumi di berbagai zona dunia.

Tentu saja, kini tiba saatnya, Indonesia menyusun strategi dan program khusus urban mining. Langkah ini perlu melibatkan perguruan tinggi, sektor industri, dan peran pemerintah.

Inggris, misalnya, merintis sejak beberapa tahun silam, konsep, modul, dan kurikulum e-mining (J Bumpus, 2022) atau ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) penambangan e-waste. Bahkan konsep, modul, silabus, dan kurikulum e-mining sejak SMA.

Brand-brand permata skala kecil dan besar kini mulai melirik e-mining, yakni hasil daur-ulang logal dari cepis-cepis ponsel, laptop, dan lain-lain.

Daur-ulang sampah-sampah elektronik mengurangi penambangan yang berisiko merusak lingkungan selama ini. Khusus bagi Indonesia, pilihan urban-mining adalah juga peluang mewujudkan Pasal 28C (1) UUD 1945 tentang hak tiap orang mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari iptek, seni dan budaya, meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia.

Di sisi lain, iptek dan kurikulum pendidikan urban mining makin dibutuhkan. Sebab, menurut badan kesehatan PBB, World Health Organization (2021) dalam ‘Report 2021’, sekitar 12,9 juta perempuan pekerja sektor informal berisiko terkena racun e-waste; sekitar 18 juta anak usia 5 tahun hingga remaja bekerja di sektor daur-ulang sampah informal di seluruh dunia.

Kita juga melihat alarm penipisan stok sumber-sumber daya alam dari perut Bumi. Pilihannya, menurut UN Environment Management Group (EMG, 2019) ialah ekonomi srikular berkelanjutan, khususnya urban mining.

Tantangan selama ini ialah keahlian, kompetensi, dan pengetahuan tenaga kerja masih rapuh; begitu pula, program kebijakan nyaris tidak ada; tidak ada dukungan data dan statistik sampah-sampah perkotaan; kurangnya kesadaran para pemangku-kepentingan; dan keterbatasan Iptek ‘urban-mining’. Jalan keluarnya ialah penyusunan dan penerapan konsep, modul, silabus, dan kurikulum pendidikan urban mining.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi