Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)
Bergabung sejak: 15 Jun 2022

Peneliti dan Penulis

Lepas dari Politisasi Riset dan Stagnasi Ilmiah

Baca di App
Lihat Foto
Freepik.com/Rawpixel.com
Ilustrasi riset pemasaran
Editor: Egidius Patnistik

DIAKUI atau tidak, hasil ribuan riset baru nyaris tak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi seperti dulu. Hal itu membuat perlambatan atau bahkan stagnasi ilmiah semakin tak terhindarkan.

Tak sempurnanya siklus hidup ide-ide ilmiah menjadi penyebab melambatnya integrasi antara riset dan industri. Tanpa terasa, selama lima dekade terakhir, budaya kutipan (citation) menjadi cara paling dominan untuk mengevaluasi kontribusi ilmiah bagi ilmuwan.

Penekanan pada kutipan dalam pengukuran produktivitas ilmiah telah menggeser perilaku ilmuwan menjauh dari proses eksplorasi yang lebih mungkin gagal, tetapi bisa menjadi terobosan di masa depan. Di Indonesia, ide-ide cemerlang hanya tersimpan rapi di atas rak-rak perpustakaan.

Baca juga: Aktualisasi Semangat Sumpah Pemuda Para Periset Indonesia

Eksekusi riset yang begitu lemah karena harus berbenturan dengan politik atau dengan kepentingan kelompok tertentu. Ketika perhatian baik secara politik maupun finansial pada ide-ide baru menurun, saat itulah sains mengalami stagnasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maka, tak ayal Indonesia sulit menemukan alternatif substitusi impor yang menjadi kunci untuk lepas dari kecanduan impor. Inilah yang menjadi tantangan riset sehingga berdampak pada penurunan produktivitas ilmiah.

Biaya riset jadi makin mahal

Meskipun jumlah ilmuwan saat ini jauh lebih banyak daripada di masa lalu, kemajuan saat ini tidak sebanding dengan terobosan di masa lalu. Di daerah-daerah di mana kemajuan ilmiah masih sekuat di masa lalu, penemuan hari ini membutuhkan upaya penelitian berkali-kali lipat lebih besar dibanding dulu.

Bidang farmasi, misalnya, sekarang riset pengembangan obat menjadi dua kali lipat lebih mahal dibanding satu dekade lalu. Bahkan, selama perang melawan Covid-19, biaya produksi obat baru meningkat secara dramatis selama dekade terakhir tetapi masih berkisar antara 314 juta dolar AS hingga 2,8 miliar dolar AS per obat baru.

Rata-rata investasi research and development (R&D) yang diperlukan untuk membawa obat baru ke pasar menyentuh angka 1 miliar dolar AS, dengan rata-rata waktu 10 sampai 15 tahun untuk membawa obat baru ke pasar. Sekitar setengah dari waktu dan investasi ini dihabiskan selama fase uji klinis dari siklus pengembangan obat sementara setengah sisanya mencakup penemuan, pengujian, dan proses pengaturan senyawa praklinis.

Tingginya biaya untuk memasukkan obat baru ke pasar dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukannya telah melahirkan generasi skeptis di tengah masalah “lemon” pasar (The Lemons Problem) yang semakin tak menentu.

Tak mengherankan saat ini industri farmasi terkesan seperti lahan rent seeking bagi pencari keuntungan dengan mengesampingkan informasi simetris pasar. Situasi seperti ini disebut dalam hukum Eroom (Eroom’s Law) , konsep di mana biaya pengembangan obat baru meningkat secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir meskipun teknologi berkembang sangat pesat.

Hukum Eroom yang sebenarnya adalah hukum Moore yang dieja terbalik, mirip dengan hukum pengembalian yang semakin berkurang (the Law of Diminishing Margnal Return), sebuah konsep dalam ekonomi yang menunjukkan bahwa jika satu input dalam produksi suatu komoditas ditingkatkan, sementara semua input lainnya tetap, di titik tertentu akan terjadi penurunan output. Karena itu, perlambatan produktivitas penelitian pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan kurangnya ide-ide bagus yang membanjiri riset-riset di seluruh dunia.

Akar dari perlambatan kemajuan ilmiah terletak pada fakta bahwa karya ilmiah tentang ide-ide baru yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi kemajuan yang inovatif, benar-benar tidak lagi dihargai dengan cara yang sama seperti dulu. Perubahan skema insentif dan penghargaan bagi para ilmuwan pun sudah berubah.

Perubahan mendasar dalam insentif ilmuwan didorong seberapa populer karya mereka yang diterbitkan di komunitas ilmiah, dengan popularitas diukur dengan berapa kali karya mereka dikutip oleh ilmuwan lain.

Pergeseran ini sering disebut sebagai 'revolusi kutipan'. Revolusi kutipan saat ini dianggap memiliki pengaruh besar pada perkembangan sains di masyarakat. Namun sayang, sebagian besar ide ilmiah tidak pernah berhasil mencapai fase terobosan, bahkan banyak riset penting berhenti di tengah jalan.

Periset butuh dukungan

Tahap eksplorasi semestinya menghasilkan kerangka riset mapan yang menjanjikan gagasan atau rangkaian eksperimen baru layak untuk dijalankan. Maka, para ilmuwan perlu dukungan dalam memanfaatkan fase eksplorasi riset, tanpa takut akan konflik kepentingan dan politik.

Pertama, yang perlu disadari bahwa perubahan insentif akan mendorong beberapa ilmuwan untuk mengubah fokus penelitian mereka menjadi lebih banyak eksplorasi membutuhkan banyak biaya. Tanpa menyebut lembaga atau kementerian tertentu, sudah semestinya biaya eksplorasi riset tidak dibatasi atau dikurangi dengan alasan politis di semua lembaga yang sedang menjalankan riset.

Baca juga: BRIN-LDE Academy, Membangun Kolaborasi Riset Internasional

Konsekuensi pemotongan biaya riset akan menghambat proses penemuan terobosan baru, bahkan riset-riset penting bisa terancam berhenti sia-sia.

Kedua, perlu dukungan secara politik bagi para periset. Banyak periset memilih untuk menjauh dari dunia akademis atau bahkan memilih menetap di luar negeri karena takut eksplorasi sejati riset tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya sebagai seorang ilmuwan.

Ketiga, meningkatkan toleransi terhadap kegagalan riset dan mempermudah pembentukan komunitas ilmiah baru yang mengeksplorasi dan mengembangkan area penyelidikan riset-riset baru. Saat ini, dengan keterbatasan biaya, banyak periset bekerja dengan ruang eksplorasi yang sempit karena takut salah dan gagal.

Pada akhirnya, banyak periset takut terjun langsung menangani riset-riset berisiko tinggi, padahal Indonesia saat ini benar-benar bergantung pada riset-riset high risk tersebut. Maka di tengah situasi yang kian tak menentu, penguatan riset secara politis layak diperjuangkan, bukan justru dipolitisasi untuk melemahkan ekosistem riset di Tanah Air.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi