Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PNS
Bergabung sejak: 31 Okt 2022

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Hujan Panas

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi cuaca, pancaroba, peralihan musim hujan ke musim kemarau.
Editor: Sandro Gatra

DUA lema tersebut secara geografi mengacu pada nama musim. Indonesia memiliki kedua-duanya. Dulu, saat belajar ilmu pengetahuan sosial (IPS) di sekolah dasar, sang guru selalu menjelaskan hafalannya bahwa musim hujan ditandai dengan bulan yang huruf akhirnya –er.

Kita pun akan mengeja dan menuliskan dalam buku catatan maupun lembar ujian bahwa hujan akan turun sekitar bulan September, Oktober, November, dan Desember. Artinya lagi, bersiap-siagalah dengan ember.

Akan tetapi, hafalan guru terkait bulan-bulan musim hujan ditolak Sapardi Djoko Damono. Sang penyair menyanggah melalui puisinya yang berjudul “Hujan di Bulan Juni”.

Barangkali Juni 1989 lalu saat puisi ini diciptakan, alam sedang meluapkan rasa rindunya. Basahlah bumi di bulan Juni. Kacaulah hafalan guru.

Sama kacaunya dengan beberapa hari belakangan ini. Cuaca benar-benar tak menentu. Padahal Kepala BMKG sudah memprediksi ini itu. Yang jelas, hujan turun simultan dengan panas. Hujan panas.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat kita kira panas datang mendera, bersiap-siap menjemur segala yang basah. Eh, seketika itu pula hujan turun. Aneh bukan? Cuaca seperti pemberi harapan palsu (PHP).

Ya, sama php-nya dengan para petinggi yang tidak terkena panas maupun hujan saat berada di singgasananya.

Terkait hujan panas ini, di kebudayaan tertentu, Minangkabau, misalnya, hujan panas sejak dahulunya sudah memiliki kearifan lokal tersendiri.

Masyarakat Indonesia umumnya memaknai hujan panas ke dalam dua makna. Pertama, bermakna ungkapan, yakni telah biasa bahwa kehidupan manusia ada kalanya susah, ada kalanya senang.

Kedua, bermakna hujan yang turun ketika matahari sedang bersinar, biasanya disertai timbulnya pelangi.

Kedua definisi itu ada dicantumkan di dalam KBBI. Definisi yang kedua dalam KBBI tersebut sepertinya lebih cocok untuk fenomena sun shower atau hujan matahari (Kompas.com, 05/02/22), yang sesuai dengan judul tulisan ini.

Nah, masyarakat Minangkabau memaknai hujan panas ini dengan cara yang unik. Ada aroma-aroma lokalnya (jika diksi mistis dinilai terlalu ekstrem).

Pertama, kondisi paradoks. Misalnya, terdapat pada lirik lagu viral milik Ipank, “Rantau Den Pajauah”.

Ipank menggunakan frasa ujan paneh ‘hujan panas’ untuk memperkuat pengorbanannya di rantau, dua musim ia lalui demi mengumpulkan harta benda. Artinya, ujan paneh secara hermeneutik berbeda dengan yang didefinisikan KBBI.

Kedua, ujan paneh bermakna ‘ada mayat yang belum ditemukan, ‘ada yang akan mati muda’, ‘ada yang akan mati berdarah’. Ngeri bukan kearifan lokalnya?

Sedikit berbeda dengan yang diberitakan berkaitan dengan mitos matinya orang yang sangat kaya (Kompas.com, 01/01/22).

Menilik pemberitaan seputar daerah Minangkabau, baru-baru ini masih hangat berita terkait hilangnya korban akibat longsor di Agam (Kompas.com, 09/11/22).

Selama mayat korban belum ditemukan, biasanya daerah sekitar Agam akan mengalami hujan panas. Boleh percaya, boleh tidak. Itulah kearifan lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Menariknya, fenomena hujan panas nan disertai mitos di dalamnya ditolak mentah-mentah oleh Kominfo melalui lamannya.

Laman milik pemerintah tersebut tegas-tegas menegaskan (sangat penting dan genting) bahwa jika ada pihak yang mengatakan saat terjadi hujan panas (hujan zenithal, hujan tengah hari, istilah Kominfo) dihubungkan dengan ada orang mati mendadak, itu dapat dikategorikan berita hoaks (Kominfo.go.id, 17/10/19).

Sejatinya, sesuatu yang berkembang di dalam kebudayaan adalah milik budaya tersebut, toh tidak menimbulkan keresahan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu stabilitas nasional!

Sebanyak yang percaya mitos, sebanyak itu pula yang tidak percaya, bukan?

Bascom dalam Danandjaya, Folklor Indonesia (1991:51), menggolongkan terjadinya maut (yang dalam hal ini ditandai dengan peristiwa hujan panas) sebagai mite atau mitos.

Jika mitos dinyatakan sebagai hoaks, tentunya hal ini akan mengerdilkan penelitian-penelitian terkait folklor yang notabene merupakan bidang ilmu tersendiri.

Jangan sampai upaya hoaks-isasi mitos dianggap memiliki kesamaan dengan upaya depolitisasi masyarakat borjuis (Barthes, 2007:342).

Masih banyak lho mitos yang eksis di tengah kemajuan teknologi ini. Bagaimana penerimaan seseorang terhadap mitos dikembalikan ke pribadi masing-masing (Barthes 2007: 323).

Jika menerima secara polos, apa untungnya mengajukan mitos kepadanya? Pun, jika dia merenungkan seperti perenungannya ahli mitologi, apakah menjadi masalah alibi apa yang ditampilkan?

Hujan panas dan mitos penyertanya mengandung seluruh sistem nilai: geografis, sejarah, moral, zoologi, dan literatur.

So, biarkanlah ia hidup di dalam budaya tempat ia lahir dan terus bertumbuh, setidaknya sebagai kearifan lokal yang pernah diwariskan turun temurun dan menjadi roh kebudayaan folk-nya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi