Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 12 Des 2022

Doktor Kajian Budaya dan Media UGM. Dosen Magister Ilmu Komunikasi UBakrie. Mengamati Isu-isu Jurnalisme dan Demokrasi, Media dan Budaya Populer, dan Komunikasi Politik.

Kejahatan Siber, Jangan Ada yang Tertipu di Antara Kita

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock/PR Image Factory
Ilustrasi Penipuan social engineering
Editor: Sandro Gatra

SUATU pagi, saya mendapati pesan di grup perbincangan yang memicu kehebohan. Pesan itu berupa video pendek soal ajakan berhati-hati agar tidak sembarangan mengklik foto yang dikirim via aplikasi perbincangan oleh seseorang yang mengaku-ngaku pengantar paket.

Foto mengandung konten APK yang begitu diklik akan terinstal secara otomatis. Begitu terinstal, gawai bisa dikontrol dari jauh.

Jika sudah begini, maka data penting di gawai termasuk data perbankan bisa dicuri. Uang di rekening bisa lenyap seketika.

Hampir semua anggota grup berkomentar: hati-hati! Lainnya berterima kasih sudah diingatkan.

Cerita lain, saya sendiri yang mengalaminya, ada pesan dari seseorang yang mengaku-ngaku admin bank pelat merah. Isinya agar segera membarui data melalui suatu tautan. Jika tidak, maka biaya administrasi bulanan akan melonjak ratusan ribu rupiah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saya juga pernah mendapat pesan serupa dari orang yang mengaku berasal dari bank swasta terbesar di Indonesia. Termasuk dengan modus meminta OTP. Jadi, tak hanya satu-dua kali.

Saya iseng mengikuti arahan pesan tadi. Tampilan isian yang harus diisi ternyata mirip dengan aslinya. Ngerinya, saya diminta mengisi data-data rahasia yang dilarang disampaikan ke siapapun, termasuk pihak bank sekalipun.

Saya isikan saja data-data bohong sampai ke bagian akhir. Karena data yang diisi adalah data bohong, ya prosesnya gagal!

Saya kirim pesan balik, "Gagal! Kenapa, ya?" Tak ada balasan.

Dalam modus meminta OTP, saya berpura-pura bingung hingga pelaku marah-marah kepada saya. Saya langsung tutup telepon dan langsung lapor ke bank.

Intinya, saya tidak tertipu karena sudah tahu modus ini sejak awal. Sementara, ada kerabat yang terpaksa merelakan uang tabungan ratusan juta rupiah raib. Bank mengganti sebesar lima puluh persen. Tetap saja gigit jari.

Modus kejahatan seperti ini sudah banyak menelan korban. Tapi, mengapa ada yang bisa menjadi korban?

Saya akan jelaskan dari sudut pandang psikoanalisis yang dipelajari banyak disiplin ilmu, terutama Kajian Budaya dan Media.

Hasrat kaya

Dalam menjalankan modusnya, pelaku memanfaatkan psikologis korban, kecanggihan teknologi, serta lemahnya literasi dan penegakkan hukum. Ketiga faktor itu saling terkait satu sama lain.

Psikologis korban identik dengan hasrat. Hasrat, menurut tokoh psikoanalisis Lacan (1977), terkait dengan kebutuhan (need) dan tuntutan (demand).

Kebutuhan pada dasarnya adalah sesuatu yang mungkin selalu bisa dipenuhi oleh subjek. Namun dalam perjalanannya, hadir tuntutan yang merupakan harapan atau keinginan yang tak pernah bisa terpenuhi.

Hal ini muncul karena pemikiran subjek telah dipengaruhi kondisi eksternalnya. Subjek bercermin dari yang lain lalu menuntut bisa seperti yang lain itu.

Hasrat timbul karena tuntutan yang tak pernah terpenuhi. Ada kekosongan antara kebutuhan dan tuntutan sehingga subjek akan terus berupaya memenuhinya. Subjek menjadi gelisah karena ada hal yang hilang yang tak bisa diraih.

Faruk (2012) menyebut psikoanalisis Lacan menempatkan alam bawah sadar subjek selalu merasa ada yang hilang, kurang, sehingga berupaya terus-menerus memenuhinya, menutupinya, dan melengkapinya.

Agar hasrat terjaga, maka ditopang oleh fantasi. Fantasi membantu subjek memproyeksikan apa yang ia cari di tengah situasi pencarian yang tak pernah tuntas.

Dengan kata lain, karena pemenuhan tuntutan tak pernah selesai, hasrat harus terus dijaga oleh fantasi.

Ranah simbolik (konteks di luar subjek) melalui bahasa akan terus-menerus berupaya menjebak manusia agar selalu berupaya memenuhi tuntutannya yang tak pernah bisa tercapai.

Situasi di mana subjek telah masuk dalam ranah simbolik disebut kastrasi (pengebirian), kesadaran subjek telah terenggut.

Hasrat apa yang bisa membuat orang menjadi korban kejahatan siber sehingga uangnya terkuras? Adalah hasrat menjadi kaya.

Hasrat harus selalu untung, agar tidak rugi, agar bisa menjadi kaya dan lebih kaya lagi. Jangan sampai keuntungan berkurang sehingga upaya mengejar kekayaan menjadi terhambat.

Hasrat ini muncul karena subjek merasa materi yang sudah didapatnya tidaklah cukup, selalu kurang. Dalam situasi itu, subjek bercermin pada mereka yang menunjukkan kekayaannya (liyan).

Tuntutan menjadi kaya lalu terbentuk dan diperkuat oleh tekanan simbolik di luar dirinya (struktur sosial).

Subjek dijejali dengan berbagai informasi dari media massa, media sosial, sekolah, influencer, konsultan investasi, lembaga ekonomi baik swasta maupun negara dan sebagainya agar mengejar kekayaan, menabung, dan menyimpan kekayaannya di bank demi kebahagiaan di masa depan.

Subjek mengalami kastrasi. Di balik itu semua, kapitalismelah yang berperan penting.

Sayangnya, informasi tandingan berupa literasi keamanan digital selalu datang terlambat dan kurang masif. Kalaupun ada, modus kejahatan telah berubah. Di sisi lain, subjek yang mengalami kastrasi terlena.

Alhasil, situasi ini dimanfaatkan oleh pelaku. Ditambah kemampuan teknologi yang andal dan kerja tim yang sistematis, pelaku menyebarkan kejutan kepada korban untuk mengikuti perintah mereka sehingga mau memberikan informasi rahasia.

Kejutan bisa berupa takut atau senang. Takut kehilangan uang, senang karena mendapatkan uang (hadiah).

Ketika korban yang berhasrat kaya dihadapkan pada kejutan tadi, maka ia akan bertindak sesuai hasratnya. Saat dihadapkan pada rasa takut, ia akan berupaya melindungi uangnya.

Saat dihadapkan pada rasa senang (akan mendapat hadiah, misalnya), ia menjadi terkaget-kaget. Pelaku lalu memosisikan dirinya sebagai penyelamat yang membantu korban agar terhindar dari kerugian ataupun mendapatkan keuntungan yang tak lain adalah tipu-tipu.

Tujuan akhirnya adalah menyedot kekayaan korban. Korban terus dipepet agar selalu dalam kontrol pelaku.

Lambatnya penegakkan hukum membuat pelaku terus beraksi, bahkan dengan modus yang lebih beragam. Pelaku bergerak dengan cepat.

Begitu berhasil, mereka segera menghapus jejak digital dan memindahkan uang secepatnya. Sementara ada serangkaian birokrasi yang perlu dilewati aparat hukum menangkap mereka.

Agar tidak jatuh korban lagi

Subjek harus paham bahwa kejahatan perbankan di ranah digital nyata, beragam, dan terus berkembang.

Subjek, meminjam istilah Althusser (2008), harus diinterpelasi (dipanggil) sehingga sadar dan mengantisipasi atas situasi kejahatan yang menimpa mereka.

Ibarat dalam olahraga bela diri, subjek harus dengan refleks menangkis dan mengelak dari serangan. Agar bisa refleks, subjek perlu disadarkan dan dilatih terus-menerus. Upaya menyadarkan subjek agar tidak menjadi korban sebaiknya dilakukan secara berjamaah.

Meningkatnya kasus ini tak hanya merugikan korban, tapi juga aparat hukum karena dianggap tak mampu menangkap pelaku, bank karena dianggap lalai, bahkan negara karena dianggap gagal melindungi warga negaranya.

Sehingga para pihak perlu bersinergi menyadarkan subjek, menyiapkan sistem keamanan perbankan yang baik, dan menangkap pelaku serta menjeratnya dengan hukuman berat.

Utamanya negara melalui aparaturnya, baik yang bersifat ideologis (lembaga negara yang berperan dalam penyebarluasan informasi) maupun represif (lembaga penegak hukum) perlu bekerja secara optimal.

Interpelasi subjek, kata Althusser, bisa berhasil membuat subjek sadar dan mengikuti kehendak penguasa jika negara mampu mengarahkan aparaturnya (ideologis dan represif) dengan baik.

Jadi, jangan sampai ada korban lagi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi