Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Konten Medsos Tak Terkendali, "Safe Harbour" Digugat agar Tak Absolut

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Ilustrasi Hoaks
Editor: Egidius Patnistik

GEDUNG Putih melalui saluran resminya, White House Gov, baru-baru ini menyatakan pendirian pemerintah Amerika Serikat (AS) terkait ujaran kebencian yang marak terjadi dan berdampak signifikan.

Penasihat Kebijakan Domestik Gedung Putih, Susan E Rice, melalui White House Gov mengatakan, kebencian tidak boleh dilindungi safe harbour di AS, terutama ketika kebencian itu memicu jenis kekerasan yang telah kita saksikan dari Oak Creek hingga Pittsburgh, dari El Paso hingga Poway, dan dari Atlanta hingga Buffalo - (WH Gov, August 19, 2022 United We Stand: Countering Hate-Fueled Violence Together).

Baca juga: Twitter Dibanjiri Ujaran Kebencian Sejak Ada Elon Musk

Sikap pemerintah AS terhadap dampak media sosial juga mulai disuarakan, khususnya dalam kaitannya dengan safe harbour policy di media sosial. Hal ini diungkapkan perwakilan pemerintahan Presiden Joe Biden saat menyampaikan pendapatnya di Mahkamah Agung AS atau Supreme Court of The United States (SCOTUS) . Perwakilan Presiden Biden mengatakan, regulasi safe harbour yang melindungi perusahaan media sosial memiliki batasan.

Hal itu terutama ditekankan terkait pengaruh penggunaan algoritma pada platform digital. Argumen tersebut menekankan bahwa raksasa media sosial seperti Google dalam beberapa kasus dapat memiliki tanggung jawab atas konten pengguna.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus itu  berkaitan dengan perkara YouTube, yang dimiliki raksasa teknologi tersebut yang merekomendasikan video kepada beberapa pengguna melalui algoritmanya. Google dan YouTube adalah bagian dari Alphabet Inc (GOOGL.O).

Mahkamah Agung AS sedang mengadili kasus itu di tingkat kasasi, setelah sebelumnya pengadilan banding yang berbasis di San Francisco memenangkan Google. Pengadilan banding mengatakan bahwa Google dan Youtube dilindungi dari klaim semacam itu berdasarkan Section 230 Communications Decency Act (CDA) of 1996.

Konten Negatif dan Kedigdayaan Medsos

Konten negatif sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Bedanya dengan sekarang, dulu orang melakukannya secara luring (offline), karena memang belum ada medsos. Dampaknya pun terlokalisasi dan tidak tersebar luas secara masif.

Baca juga: Imbas Ujaran Kebencian, Kanye West Dipecat Sejumlah Brand, Apa Saja?

Saat ini konten seperti itu secara masif bisa tersebar, memengaruhi perilaku indidvidu, sosial, dan budaya. Saat ini situasi sudah berubah 180 derajat. Media sosial selain masif mengamplifikasi konten video instan, juga telah mendorong budaya bertutur menjadi budaya menulis, twit frasa pendek, emoticon, dan komunikasi interaktif tanpa batas ruang dan waktu yang memengaruhi perilaku, emosi, dan sikap secara signifikan.

Semua itu semakin menjadi-jadi karena dilakukan tanpa penapis editorial dari pengelola platform. Secara realitas, media sosial menjadi sangat diametral perbedaannya jika dibandingkan dengan media massa arus utama, yang dikenal selama ini.

Ketiadaan tapis editor, adanya akses tak terbatas, konten bisa diunggah siapa saja, dan tersedianya fitur like, unlike, share, dan subscribe, telah menambah kekuatan luar biasa medsos dalam memengaruhi masyarakat dengan satu dua kali “klik“ saja.

Kedigdayaan medsos juga memengaruhi kondisi psikologis, kesehatan, dan mental penggunanya yang bisa berlangsung tanpa henti dan tidak kenal ruang dan waktu. Fenomena ini melanda seluruh dunia tanpa kecuali.

"Safe Harbour Policy" dan "Section 230 CDA"

Kedigdayaan medos berawal dari sistem hukum dan kebijakan yang awalnya diterapkan di AS yang dikenal dengan safe harbour policy yang tertuang pada Section 230 Communications Decency Act (CDA) of 1996.

Menurut Black's Law Dictionary,  safe harbor adalah the provision in a law or agreement that will protect from any liability or penalty as long as set conditions have been met. Jadi, safe harbour intinya adalah ketentuan dalam undang-undang atau perjanjian yang akan melindungi dari segala kewajiban atau hukuman, selama syarat-syarat yang ditetapkan telah dipenuhi.

Section 230 CDA menyatakan, "Tidak ada penyedia (provider) atau pengguna layanan komputer interaktif yang akan diperlakukan sebagai penerbit atau pengujar dari informasi apa pun yang disediakan oleh penyedia konten informasi lainnya" (47 U.S.C. § 230).

Dengan kata lain, perantara online (online intermediaries) yang hosting atau menerbitkan ulang ucapan, dilindungi dari serangkaian undang-undang yang mungkin digunakan, untuk meminta pertanggungjawaban hukum mereka atas apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain itu.

Pihak yang dilindungi tidak hanya mencakup penyedia payanan internet (ISP) biasa, tetapi juga serangkaian "penyedia layanan komputer interaktif, yang pada dasarnya mencakup semua layanan online yang menerbitkan konten pihak ketiga.

Meskipun ada pengecualian penting untuk klaim berbasis kriminal dan kekayaan intelektual tertentu, CDA 230 menciptakan perlindungan luas yang memungkinkan inovasi dan kebebasan berbicara online berkembang (www.eff.org/issues/cda230).

Baca juga: Sederet Narasi Hoaks yang Mencatut Nama Wapres Maruf

Hal itu menunjukan, platform digital ada di dalamnya. Section 230 CDA meskipun banyak diikuti berbagai negara di dunia, tetapi regulasi tersebut saat ini mulai banyak dikritik tajam di seluruh spektrum politik. Kritik itu terkait platform media sosial yang ikut menyebarkan ujaran kebencian dan informasi tidak benar (hoax) melalui algoritma dan model bisnis platform digitalnya itu.

Berkembang pesatnya platform digital di AS tidak terlepas dari regulasi ini yang memberi ‘karpet merah’ kepada para kreator start up dan platform digital di negara itu. Safe harbour telah menghapus kekhawatiran sekaligus memberi kepastian hukum untuk founder dan pengelola platform digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, dan platform medsos lainnya, termasuk market place yang kemudian tumbuh luar biasa.

Untuk distribusi konten, safe harbour tidak memberikan beban tapis editorial kepada pengelola platform digital atas segala konten yang diposting para pelanggan. Syaratnya adalah platform digital tersebut memiliki prosedur dan mekanisme untuk mengatasinya jika ada laporan atau aduan.

Di samping itu platform digital juga biasanya membuat klausul eksenoratif yang membebankan tanggung jawab kepada setiap orang atas apa yang diunggahnya. Hal ini sangat berbeda dengan konten di media arus utama (mainstream) yang mengedepankan penapis editorial dan etika jurnalistik.

Karena itu sampai detik ini media mainstream tetap memiliki keunggulan, khususnya terkait beritanya yang terpercaya, steril dari hoaks, dan memiliki misi pemersatu bangsa.

Di tengah meningkatnya pengaruh dan dominasi pelaku usaha media sosial, AS telah mengidentifikasi enam prinsip utama untuk menjaga agar platform digital tetap terkendali yang meliputi kompetisi, (data) pribadi, kesehatan mental remaja, mis-informasi dan dis-informasi, tindakan ilegal dan kasar, termasuk eksploitasi seksual, diskriminasi algoritma, dan kurangnya transparansi.

Indian Express dalam laporan berjudul "Keeping Big Tech in Check: Safe Harbour Under Lens in US, India (13, September 2022), menyatakan, “Meskipun platform teknologi dapat membantu kita tetap terhubung, menciptakan pasar ide yang dinamis, dan membuka peluang baru untuk membawa produk dan jasa ke pasar, mereka juga dapat memecah belah kita dan menimbulkan kerugian dunia nyata yang serius."

Kita tentu tidak menafikan bahwa medsos juga telah berkontribusi besar bagi banyak hal, termasuk dunia pendidikan.

Portal Time Higher Education (13/10/2021) menyajikan artikel berjudul "Fake news, educated views and how-tos: social media for teaching and research", yang ditulis Profesor Terese Bird. Bird mengatakan, meskipun media sosial telah menjadi alat untuk memengaruhi pemilu dan opini publik, media sosial juga berfungsi sebagai platform untuk diskusi akademis yang bebas, mengalir, dan berjangkauan luas, sambil mendorong kreativitas yang dapat memicu pembelajaran dan penelitian.

Bird mengaku, dia menggunakan enam platform media sosial populer untuk pembelajaran dan penelitiannya.

Medos tentu juga bisa menjadi media ujaran kebaikan dan keilmuan para intelektual dan akademisi kampus.

Terkait dampak medsos, kita harus melakukan penelitian, dan evaluasi. Khususnya terkait dampaknya pada publik dan ekosistem sosial budaya di Tanah Air. Penelitian dapat dijadikan landasan pendekatan kebijakan dan pembuatan regulasi yang secara pragmatis diterapkan dalam menghadapi gempita digital global yang luar biasa ini.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi