Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
PNS
Bergabung sejak: 31 Okt 2022

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Artificial Intelligence dan Kepenulisan

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/Zapp2Photo
Ilustrasi artificial intelligence (AI), kecerdasan buatan.
Editor: Sandro Gatra

“Sore hari di taman kota. Angin yang lembut meniup-niup rambut ke pekerjaan menari di sekitar pohon-pohon. Anak-anak bermain di sekitar taman, tertawa dan bersorak. Seorang ibu sedang duduk di bangku membaca sebuah buku sementara anaknya berlari ke sekitar taman. Sekelompok teman-teman sedang bermain sepak bola di lapangan. Semuanya terlihat senang dan santai. Sementara itu, seorang pria tua sedang duduk di bawah pohon, menikmati keindahan sore hari. Semuanya terlihat damai dan indah di taman kota pada sore hari ini.”

Cerita tersebut dikarang (tanpa diubah sedikit pun) oleh asisten bahasa yang bernama Artificial Intelligence. Ya, dia di-elu-elukan dan digadang-gadangkan sebagai mesin pintar pengganti search engine yang lebih familiar di masyarakat.

Iseng, setelah login menggunakan akun Google, terbesit keinginan untuk mencicipi si asisten tersebut. Setelah mengetikkan “speak Indonesia” seperti saran Mas-Mas yang fyp di Tiktok, langkah selanjutnya ialah menugaskan si asisten dengan kata kunci “buat narasi 100 kata.”

Setelah dihitung, jumlah kata hanya 78. Saat dilakukan cek plagiasi didapatkan hasil 13 persen plagiasi dan sisanya unik.

Bagian yang teridentifikasi plagiasi ialah kalimat pembuka: sore hari di taman kota. Sumber terbesar, yakni 6 persen didapatkan dari instagram.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari kasus teks hasil buatan AI tersebut, kita dapat bercermin bahwa menulis bukanlah perkara sekadar menghasilkan kalimat-kalimat dalam beberapa paragraf.

Cermati cerita tersebut! Sekilas ceritanya memang menarik, bukan? Unsur 5w plus 1H memang hadir sebagai penciri sebuah teks.

Lantas, apa yang tidak dimilikinya?

Sebelum menjawabnya, kita dapat mengacu definisi teks narasi itu sendiri. Dulu, guru bahasa Indonesia menyampaikan bahwa narasi merupakan jenis teks imajinatif.

Pembaca seolah-olah ikut merasakan semua hal yang dialami tokoh terkait suasana, tempat, bahkan hal yang dirasakan tokoh.

Tidak dipungkiri teks narasi buatan AI memiliki beberapa hal tersebut. Namun, ada satu hal yang tidak dimilikinya, yakni kohesi-koherensi, alias kesatupaduan. Kita bisa menelusurinya melalui kata kunci “merasakan” sebagai penciri teks narasi.

Bacalah kalimat demi kalimat. Resapi kata-kata penyusunnya. Anda menemukan kejanggalan? Apa yang Anda rasakan?

Memang, kesatupaduan (setidaknya hingga saat ini) masih menjadi bagian dari tugas manusia yang tidak bisa dilakukan mesin.

Hal ini disebabkan mesin tidak memiliki akal sehat seperti manusia, sedikit berbeda dengan hasil wawancara Blake Lemoine dengan The Language Model for Dialogue Applications (Lamda) (Kompas.com, 27/07/22).

Berikutnya, masih dalam rangka menuntaskan hasrat yang hampir di ubun-ubun, kita coba menuliskan kata kunci “buat berita tentang Gibran Rakabuming Raka”.

Siapa tahu kita dapat mendaftar menjadi wartawan dan menulis berita bermodalkan asisten pintar buatan manusia ini. (Tentunya Anda akan menjadi pelanggar etika penyalahgunaan AI, Kompas, 29/11/22).

Sim salabim. Berikut hasilnya.

“Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden Joko Widodo, dilantik menjadi walikota Surabaya pada tanggal 13 Desember 2022. Gibran merupakan walikota termuda yang pernah ada di Surabaya, berusia 34 tahun. Gibran mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Surabaya yang telah memilihnya sebagai walikota. Dia juga menyatakan bahwa dia akan bekerja keras untuk memajukan kota Surabaya dan memenuhi harapan masyarakat.”

Ya, putra sulung sang presiden dituliskan AI sebagai wali kota Surabaya dan baru saja dilantik.
Dari uraian tersebut, kehadiran AI dapat menjadi peluang bagi mereka yang memang sudah memiliki keterampilan menulis yang diperoleh dari hasil belajar (utamanya formal).

Mereka memang terbantu, setidaknya untuk menghasilkan kerangka awal tulisan.

Keterampilan menyatu-padukanlah yang berperan selanjutnya agar hasil karya kecerdasan buatan tersebut menjadi bernilai.

Lalu, apakah kehadirannya menjadi ancaman?

Kembali mencoba mengetikkan kata kunci “buat soal tentang kalimat utama”. Kata kunci tentunya mengarah ke pekerjaan sang guru bahasa Indonesia.

Rapalkan mantra, sim salabim. Tidak membutuhkan waktu bermenit-menit muncul beberapa pertanyaan dengan jenis uraian.

Hebatnya, si asisten mampu menuliskan soal dengan beragam level kognitif.
Ia memulainya dengan level terendah, “Apa yang dimaksud dengan kalimat utama?”. Pertanyaan yang menuntut hafalan.

Lanjut, soal kedua dengan level analisis, “Apa perbedaan antara kalimat utama dan kalimat tambahan?”.

Pintarnya (lagi), ia bisa menuliskan soal yang membutuhkan alasan komprehensif, yakni “Mengapa penting untuk mengetahui kalimat utama dalam sebuah paragraf?”

Terlepas dari mana si asisten mampu menyajikan setiap pesanan, sampai di sini Anda paham, dong, kapan menjadi peluang dan kapan menjadi ancaman bagi kepenulisan?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi