Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Meresapi Kearifan Kerendahan Hati

Baca di App
Lihat Foto
Growth Center
RENDAH HATI: KUNCI SUKSES MENGHADAPI PERUBAHAN
Editor: Sandro Gatra

SATU di antara sekian banyak kesimpulan yang dapat disimpulkan dari telaah Pusat Studi Kelirumologi adalah tahta kekuasaan rawan membuat manusia lupa daratan sehingga ketinggian hati menjerumuskan manusia ke keyakinan diri sendiri paling pasti benar.

Contoh manusia yang lupa daratan akibat mabuk kekuasaan adalah Attila, Hitler, Stalin, Mao yang sedemikian mabuk kekuasaan sehingga merasa diri pasti benar dalam melakukan angkara murka membinasakan jutaan sesama manusia.

Pada masa yang oleh para sejarawan disebut sebagai Zaman Pertengahan yang juga kerap disebut sebagai Zaman Kegelapan terbukti kekuasaan membuat manusia lupa daratan sehingga ketinggian hati menjerumuskan sebagian (tidak semua) penguasa lembaga agama berkeyakinan bahwa diri sendiri adalah paling berkuasa maka paling benar.

Mereka yang mabuk kekuasaan tega menyelenggarakan aksi penindasan bahkan pembunuhan secara sistematis, terstruktur dan masif terhadap sesama manusia yang dianggap tidak tunduk terhadap kekuasaan sang penguasa gereja.

Girolamo Savonarola, Domenico da Pescia, Fra Silvestro, Pietro Bernadino merupakan para korban ketinggian hati para penguasa gereja yang sedang berkuasa pada masa itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puji Tuhan, habis gelap terbitlah terang, maka setelah Zaman Kegelapan terbitlah Zaman Renaissance disusul Zaman Pencerahan yang membuka pintu gerbang peradaban umat manusia ke masa depan yang lebih baik.

Satu di antara maha karya pemikiran manusia yang secara ragawi berjasa mengembangkan peradaban adalah apa yang disebut sains.

Namun akibat sains memang ciptaan manusia maka secara tak sadar maupun sadar sebagian (tidak semua) manusia memberhalakan sains seperti dahulu sebagian manusia memberhalakan agama.

Alhasil sebagian (tidak semua) saintis menyandang ketinggian hati maka yakin sains adalah yang paling benar bahkan satu-satunya yang pasti benar.

Sebenarnya tidak masalah meyakini diri paling benar selama tidak memaksakan keyakinan diri ke orang lain atau balas dendam terhadap agama dengan tuduhan agama pasti salah.

Bahkan internal di antara para saintis ternyata ketinggian hati merusak sendi-sendi apa yang disebut sebagai sains itu sendiri.

Akibat mabuk kekuasaan maka sebagian (tidak semua) saintis menyandang ketinggian hati sehingga segenap pintu bahkan jendela kearifan diri tertutup rapat terhadap pemikiran orang lain yang diyakini pasti salah atau minimal inferior ketimbang superioritas diri sendiri.

Pihak yang merasa diri pasti benar cenderung menyemooh pihak lain sebagai pseudo sains alias sains gadungan.

Akibat ketinggian hati maka sebagian (tidak semua) saintis lupa daratan bahwa di semesta pemikiran manusia termasuk sains hadir bukan hanya fakta yang hadir pada das Sein, namun juga kontrafakta yang hadir pada das Sollen.

Tanpa bekal pedoman das Sollen dalam bentuk akhlak, dikhawatirkan bahwa para saintis rawan terpapar virus ketinggian hati sehingga menjerumuskan manusia ke alam lupa daratan yang lebih membawa mudarat destruktif ketimbang manfaat konstruktif bagi peradaban umat manusia di planet bumi yang cuma satu bahkan satu-satunya ini.

Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki merupakan fakta sekaligus kontrafakta tentang maha malapetaka yang terjadi apabila sains diwujudkan secara murni Das Sein tanpa bekal pedoman das Sollen.

Bagi yang tidak secara langsung merasakan derita korban bom atom atau derita korban kebengisan Attila, Hitler, Stalin, Mao, wajar jika menganggap naskah menghayati kearifan kerendahan hati sebagai energi penggerak peradaban ini sekadar khayalan romantisme, bahkan dramatisasi omong kosong hampa makna yang justru rawan menghambat derap langkah kemajuan sains dan teknologi.

Seyogianya manusia senantiasa belajar kearifan kerendahan hari dari langit seperti dinyatakan oleh sang penerima anugerah MURI sebagai profesor termuda bidang pendidikan matematika, Prof. Rully Charitas Indra Prahmana dengan untaian kalimat mutiara: Langit tidak perlu membuktikan diri bahwa dia itu tinggi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi