Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Absurditas Indeks Kecerdasan Negara

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ada dua jenis kecerdasan, masing-masing akan berubah seiring pertambahan usia.
Editor: Sandro Gatra

DEMI membuktikan diri cerdas, maka lembaga non-profit alias memang mengutamakan profit ketimbang benefit, lembaga yang menamakan diri sebagai World Population Review mempublikasikan indeks Tingkat Kecerdasan IQ negara-negara dunia.

Judul keren daftar tersebut pada hakikatnya an sich sudah cukup absurd sebab tidak ada yang namanya “kecerdasan IQ”.

Kecerdasan adalah kecerdasan, sementara IQ adalah IQ yang kurang layak dipaksakan menjadi satu kesatuan kalimat seperti misalnya kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan matematikal, kecerdasan sosial, kecerdasan ekonomi, kecerdasan politik serta kecerdasan lain sebagainya asal bukan IQ.

Juga tidak ada negara yang cerdas atau tak cerdas. Yang cerdas atau tak cerdas bukan negara, tetapi manusia.

Sebagai warga Indonesia saya sangat tidak setuju ulah WPR tega menempatkan Indonesia pada posisi ke 130 di bawah Srilanka namun di atas Saudi Arabia, Afrika Selatan dan Nepal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naga-naganya WPR menyusun indeks kecerdasan negara-negara dengan menggunakan ilmu statistika yang memiliki licence to err (mirip James Bond punya lisence to kill) dilindungi dalih cetirus paribus plus margin of errors berbumbu gebyah-uyah alias generalisasi yang keseluruhannya membuktikan bahwa dalam membuat statistik mustahil tidak mengandung risiko kemungkinan untuk keliru.

Tidak jelas bagaimana WPR mampu mengukur sesuatu yang pada hakikatnya mustahil diukur kecuali dipaksakan untuk dianggap bisa diukur.

Kecepatan lari, kejauhan loncat, ketinggian lompat memang bisa diukur, tetapi kecerdasan? Yang bener aja!

Menurut metode ukur IQ yang lazim berlaku di masyarakat “modern”, mungkin saya lebih cerdas ketimbang para warga aborijin Australia.

Namun dalam hal kecerdasan bertahan hidup di pedalaman Australia tanpa diragukan lagi warga aborijin jauh lebih cerdas ketimbang saya.

Meski saya warga Indonesia namun saya tidak setuju WPR meletakkan peringkat kecerdasan Indonesia di atas Afrika Selatan. Sebab saya yakin Nelson Mandella, Desmond Tutu, Michael Levitt, John Maxwell Coetze, Sydney Brenner, Max Theiler, Albert Lutuli, Allan M. Cormack, Aaron Klug, Nadine Gordimer pasti jauh lebih cerdas ketimbang saya.

Contoh nyata paling tak terbantahkan tentang absurditas test IQ terhadap manusia dapat disimak pada diri saya sendiri.

Tatkala saya remaja kecerdasan saya pernah diukur sampai dua kali akibat banyak pihak termasuk saya sendiri tidak percaya hasil tes pertama terhadap IQ saya bernilai 144.

Ternyata kemudian setelah diukur untuk ke dua kalinya hasilnya malah meningkat menjadi 148 yang konon merupakan indikasi kecerdasan di atas rata-rata manusia cerdas!

Sayang kemudian fakta kenyataan membuktikan bahwa ternyata saya sama sekali tidak cerdas. Saya berhasil meningkatkan kadar IQ saya sama sekali bukan karena saya cerdas, namun sekadar akibat saya sudah tahu cara menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam tes IQ saja.

Sejarah telah membuktikan bahwa manusia Nusantara Berjaya memimpin kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Sailendra, Kanjuruhan, Medang, Kahuripan, Dharmasraya, Singasari, Majapahit jauh sebelum pada abad XX manusia mulai menyusun indeks kecerdasan pada hakikatnya merupakan tambahan bukti bahwa kecerdasaan bangsa Nusantara sama sekali tidak rendah.

Saya setuju jika WPR meletakkan saya pada peringkat terbawah pada indeks kecerdasan manusia di dunia, namun saya sungguh merasa keberatan bahwa WPR tega meletakkan Indonesia di peringkat bawah.

Sepenuhnya saya berani menjamin bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, Mas SBY, Mas Jokowi dapat dipastikan pasti sama sekali bukan orang tidak cerdas. MERDEKA!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi