Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahasiswa magister hukum Universitas Islam Indonesia
Bergabung sejak: 23 Des 2022

Mahasiswa magister hukum Universitas Islam Indonesia, penulis buku Generasi Transisi dan Turbulensi Politik: Catatan Kritis Anak Bangsa

Obesitas Regulasi, Metode Omnibus Law, dan Perppu Cipta Kerja

Baca di App
Lihat Foto
YouTube Sekretariat Presiden.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat konferensi pers terkait Perppu Cipta Kerja, Jumat (30/12/2022).
Editor: Egidius Patnistik

PEMERINTAH menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.

Setidaknya ada dua alasan pemerintah menerbitkan perppu tersebut. Pertama, alasan ekonomi, yaitu kondisi ekonomi global, termasuk kondisi ekonomi Indonesia, mengalami atau menghadapi ancaman resesi, inflasi dan stagflasi. Kedua, alasan geopolitik dunia yaitu perang Rusia dan Ukraina yang belum selesai, sehingga kemudian menyebabkan terjadinya krisis pangan, krisis energi, hingga krisis keuangan.

Terkait dengan hal ini, Karl Marx dulu menyatakan, untuk mengetahui latar belakang masalah yang berkembang di masyarakat, lihatlah aktivitas ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi ini yang kemudian disebut Marx sebagai infrastruktur yang kemudian membentuk politik, negara, hukum, dan alat-alat negara (suprastruktur).

Baca juga: Perppu Cipta Kerja dan Jebakan Produktivitas Semu

Alasan ekonomi yang mendorong pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Perppu itu lahir bukan karena kegentingan yang memaksa atau karena kekosongan hukum melainkan karena alasan ekonomi, yaitu untuk menarik investor berinvestasi di Indonesia sebagai upaya menghadapi krisis ekonomi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hal itu tentu melanggar prinsip-prinsip negara hukum. Tiba-tiba saja pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang cacat prosedur dan material.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan tersebut MK meminta para pembentuk undang-undang (yaitu DPR dan pemerintah) memperbaiki atau merevisi UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun.

MK tidak meminta pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), apalagi menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Namun yang dilakukan DPR dan pemerintah adalah merevisi UU P3 dan menerbitkan Perpu Cipta Kerja ini.

Jika melihat kondisi sosial dan politik Indonesia saat ini, revisi UU Cipta Kerja sangat tidak mungkin dilakukan. Apalagi di tengah momentum politik dan telah memasuki tahapan pemilihan umum 2024. Partai politik, anggota DPR, dan para menteri sibuk dengan agenda politiknya masing-masing dan persiapan kontestasi Pemilihan Umum 2024.

Hal ini yang kemudian disebut sebagai kutukan periode kedua pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Presiden dan wakil presiden akan ditinggalkan oleh partai-partai koalisi dan pembantu-pembantunya, terutama yang dari partai politik.

Tetapi bukan berarti kondisi itu jadi pembenar bagi pemerintah untuk menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Ada beberapa hal yang perlu dilihat kembali mengenai legislasi dan proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR beberapa waktu lalu.

Pertama, metode omnibus law dalam legislasi UU Cipta Kerja di DPR belum diformulasikan dalam pengaturan UU P3. Itulah kenapa kemudian DPR dan pemerintah merevisi UU P3 dan kemudian memasukan metode omnibus law ke dalam UU P3 baru (UU No. 13 Tahun 2022 tentang P3) sebagai legitimasi atas UU Cipta Kerja.

Problem hukumnya adalah legislasi UU Cipta Kerja di DPR mendahului formulasi pengaturan metode omnibus law dalam UU P3. Jadi legislasi UU Cipta Kerja itu cacat secara prosedural.

Persoalan dalam penerapan metode omnibus law

 

Metode omnibus law merupakan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan yang menitikberatkan pada penyederhanaan teknik legislasi karena merevisi dan mencabut banyak undang-undang sekaligus (Black Law Dictionary).

Baca juga: Penjelasan Lengkap Mahfud MD soal Perppu Cipta Kerja yang Tuai Pro-Kontra

Penerapan metode omnibus law dalam legislasi di DPR sebagai bentuk penyederhanaan regulasi dan mengurangi obesitas regulasi seharusnya sudah ada pengaturan sebelumnya atau setidak-tidaknya DPR dan pemerintah membuat formulasi pengaturan mengenai ambang batas atau maksimum kapan regulasi itu dikatakan mengalami obesitas (regulasi terkait suatu topik atau isu menjadi terlalu banyak dan tidak efektif).

Di satu sisi, metode omnibus law dapat mempersingkat pelaksanaan proses legislasi, mencegah kebuntuan proses pembahasan RUU di DPR, menjaga efisiensi anggaran legislasi, dan membangun harmonisasi peraturan perundang-undangan. Namun di sisi lain, metode omnibus law terlalu pragmatis, mengurangi ketelitian, kehati-hatian, dan membatasi ruang partisipasi publik.

Kedua, partisipasi publik dalam proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR diabaikan oleh pemerintah dan DPR. Padahal partisipasi publik sebagai penyeimbang dalam proses legislasi di DPR agar produk hukum bersifat netral, tidak memihak kepada siapapun. Publik memliki hak untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya.

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa proses legislasi UU Cipta Kerja di DPR, pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik.

Survei Litbang Kompas 2020 mencatat, kinerja legislasi omnibus law Cipta Kerja 86 persen proses legislasi di DPR tidak demokratis, 21 persen proses legislasi di DPR demokratis, dan 19 persen proses legislasi di DPR atas omnibus law Cipta Kerja tidak tahu. Salah satu indikatornya adalah karena pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik dalam proses legislasi di DPR.

Di sisi lain, proses legislasi di DPR serba cepat, baik legislasi UU Minerba, UU IKN, UU MK, UU KPK maupun legislasi UU Cipta Kerja, sehingga mengabaikan substansi produk undang-undang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi