Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden
Bergabung sejak: 5 Jan 2023

Mahasiswa Doktoral Kebijakan Publik FIA Universitas Brawijaya

Tantangan Pembiayaan dalam Mewujudkan Ketahanan Bencana

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Bidang SD Disdikpora Cianjur
Salah satu kondisi bangunan sekolah di Cianjur, Jawa Barat, yang porak poranda diguncang gempa magnitudo 5,6.
Editor: Egidius Patnistik

PEMBIAYAAN masih menjadi tantangan dalam mewujudkan ketahanan bencana, terutama terkait penanganan bencana, termasuk mitigasi hingga pembangunan pasca-bencana, dalam rangka mengurangi risiko bencana.

Masalah pembiayaan tak hanya menjadi perhatian Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Selain mencari solusi melalui forum-forum maupun lembaga-lembaga, tiap-tiap negara, khususnya yang punya potensi atau memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana, mencari cara bagaimana persoalan tersebut teratasi.

Baca juga: Mitigasi Bencana Pasca Gempa Cianjur

Dalam forum internasional berkaitan dengan ketahanan bencana, Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR), yang berlangsung di Bali, Mei 2021, pembiayaan menjadi salah satu perhatian utama.

Pembiayaan menjadi salah satu prioritas dalam mewujudkan ketahanan bencana di Indonesia dengan menjadikan ketahanan bencana salah satu fokus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Rawa Bencana

Secara geografis, Indonesia memiliki potensi bencana alam dengan intensitas kejadian yang tinggi. Negara kita, setidaknya memiliki empat kluster kebencanaan. Pertama, geologi dan vulkanik: letusan gunung api, gempa bumi, dan tsunami. Kedua, hidro-meteorologi I: kebakaran hutan dan kekeringan. Ketiga, hidro-meteorologi II: banjir bandang, longsor dan abrasi pantai. Terakhir, bencana non-alam, yang terdiri dari limbah, epidemik dan gagal teknologi.

Hampir seluruh wilayah Indonesia terpapar risiko bencana alam gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran lahan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, kekeringan, dan likuifaksi.

Beberapa kejadian bencana alam besar seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera bagian utara tahun 2004, rentetan tiga bencana besar yang terjadi tahun 2018 yakni gempa Lombok, gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah - Palu dan Donggala-,  serta tsunami Selat Sunda, lalu gempa Cianjur hingga bencana banjir di beberapa daerah.

Dengan pengalaman dan beberapa peristiwa bencana besar, pemerintah pusat menyadari kondisi dan potensi bencana yang dihadapi Indonesia. Persoalan kebencanaan pun menjadi prioritas dalam rencana pembangunan.

Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menyusun menyusun Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 2020-2024, yang merupakan penjabaran Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) 2020- 2044 dan RPJMN. Hal itu juga merupakan terjemahan dari visi penanggulangan bencana 2020- 2044 yaitu "Mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan”.

Arah kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana poriode 2020-2024 berorientasi pada peningkatan ketangguhan bencana menuju kesejahteraan yang berketahanan untuk pembangunan berkelanjutan. Renas tersebut disusun sebagai salah satu bentuk kesadaran BNPB dan pemerintah terhadap penanggulangan risiko bencana.

Baca juga: Ini Hasil Rehabilitasi 3 Fasilitas Kesehatan di Sulteng Pasca-bencana

Bersamaan dengan kesadaran pemerintah itu, pembiayaan dalam penanganan bencana (termasuk pasca bencana) menjadi semakin tinggi, oleh karena bencana alam tak hanya memiliki daya rusak terhadap infrastruktur maupun lingkungan, tetapi juga memiliki dampak ekonomi, termasuk dalam hal pembangunan.

Selain Korban Jiwa, Bencana Alam Timbulkan Kerugian Ekonomi Besar 

Menurut Bank Dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia yang memiliki risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat berbagai jenis bencana. Dapat disimpulkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki risiko tinggi dampak bencana alam yang mengakibatkan kerugian ekonomi, kerugian fisik, dan jumlah korban jiwa yang besar.

Tingginya risiko dikarenakan lebih dari 200 juta penduduk tinggal di daerah rawan bencana. Risiko tersebut antara lain juga disebabkan oleh kualitas infrastruktur publik dan non-publik yang tidak tahan terhadap bencana.

Pada periode tahun 2000 hingga 2016, setiap tahun rata-rata kerugian ekonomi langsung akibat rusaknya bangunan dan bukan bangunan akibat bencana alam di Indonesia mencapai Rp 22,8 triliun.

Bencana besar, seperti gempa bumi dan tsunami di Pulau Sumatera bagian utara tahun 2004, menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp 51,4 triliun. Gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 menimbulkan kerugian ekonomi senilai Rp 26,1 triliun.

Nilai kerugian ekonomi yang tercatat biasanya tidak mencerminkan kerugian yang sesungguhnya terjadi. Bank Dunia memperkirakan, kerugian ekonomi yang dapat diidentifikasi akibat bencana alam hanya menggambarkan sekitar 60 persen dari nilai kerugian ekonomi yang sesungguhnya terjadi.

Hal ini menjadikan kebijakan penanggulangan bencana, termasuk di dalamnya kebijakan pengurangan risiko bencana dan pembiayaan dalam mendukung upaya mitigasi dan kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat, menjadi salah satu prioritas pemerintah.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 mencantumkan program penanggulangan bencana sebagai bagian dari delapan misi pembangunan nasional. Agenda penanggulangan bencana juga tercantum pada RPJMN. Di samping itu, secara khusus pemerintah telah menerbitkan Renas PB.

Wujud tantangan pembiayaan dalam konteks keuangan negara maupun daerah adalah pada kemampuan APBN/APBD. Bila hanya berpegang dan berharap pada belanja (APBN/APBD), tentu tak akan maksimal. Sebab prioritas pembangunan bukan hanya berfokus pada ketahanan bencana, melainkan juga pada sektor lain, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Pembiayaan risiko bencana tanpa membebani keuangan negara menjadi alternatif. Meski tak sepenuhnya, konsep ini diterapkan di Indonesia. Dengan menggandeng pendanaan dari masyarakat, yang berasal dari perseorangan, lembaga swadaya, lembaga usaha maupun kelompok masyarakat dalam dan luar negeri.

Deberapa negara, seperti Filipina dan Amerika Serikat (AS), telah menerapkan model pembiayaan asuransi, dengan prioritas tingkat kebencanaan dan daerahnya.

Tantang Pembiayaan Bencana

Secara umum, pelaksanaan kebijakan dan skema pembiayaan risiko bencana saat ini menghadapi beberapa tantangan, khususnya berkaitan dengan kapasitas fiskal yang terbatas. Namun, terdapat pula peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dalam perbaikan tata kelola pembiayaan bencana yang relevan bagi Indonesia di masa depan.

Meski begitu, kebijakan dan skema pembiayaan risiko bencana yang digunakan pemerintah selama ini dan penilaian atas risiko bencana dan risiko fiskal akibat bencana, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan pembiayaan (financing gap) bencana.

Kesenjangan itu disebabkan masih belum memadainya kemampuan pemerintah dalam menanggung pembiayaan bencana dari sumber APBN/APBD seperti yang telah disebutkan di atas, dan masih rendahnya pembiayaan untuk transfer risiko baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat.

Baca juga: Puluhan Jembatan Rusak Pasca-bencana Longsor NTT Tuntas Diperbaiki

Di samping itu, tingginya kerugian ekonomi akibat bencana, yang antara lain disebabkan oleh kualitas bangunan atau infrastruktur yang belum tahan bencana, juga menjadi penyebab lebarnya kesenjangan pembiayaan.

Kesenjangan pembiayaan itu perlu dipersempit melalui peningkatan kemampuan pemerintah dalam menyediakan pembiayaan bencana, meningkatkan pembiayaan untuk transfer risiko, dan mengurangi kerugian ekonomi dan fisik melalui peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi, termasuk membangun infrastruktur yang berkualitas dan tahan bencana.

Upaya-upaya mempersempit kesenjangan pembiayaan perlu dilakukan secara terstruktur dengan mempertimbangkan langkah-langkah pencapaian sasaran nasional penanggulangan bencana. Sasaran penanggulan itu terdiri dari penguatan dan harmonisasi sistem, regulasi serta tata kelola penanggulangan bencana yang efektif dan efisien dengan strategi penguatan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan penanggulangan bencana serta penguatan tata kelola penanggulangan bencana yang semakin profesional, transparan, dan akuntabel, termasuk dalam hal pengelolaan dana bantuan bencana alam.

Berkaitan dengan pengelolaan dana maupun pembiayaan bencana alam, penguatan pada aspek profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas masih perlu penguatan dan penekanan melalui penyesuaian regulasi, penguatan kelembagaan, dan penguatan sumber daya manusia.

Hal itu dalam upaya menutup celah potensi penyimpangan pada pembiayaan maupun pengelolaan dana, seperti adanya kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam penanganan kebencanaan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi