DI ANTARA para pemikir Jerman, lazimnya yang dianggap paling termashur sampai ke antero jagad adalah Immanuel Kant dan Friderich Nietzsche di samping Arthur Schopenhauer.
Namun tidak banyak yang sadar bahwa di antara Kant dan Nietzsche-Schopenhauer sebenarnya hadir pula seorang pemikir Jerman tak kalah kalah penting untuk dikenal, yaitu Johann Gottlieb Fichte.
Saya mengenal Fichte melalui sebuah istilah filosofis, yaitu faktisitas yang di dalam bahasa Jerman disebut sebagai Faktizitaet.
Semula faktisitas versi Fichte memiliki aneka ragam makna terkait tafsir terhadap fakta dan faktualitas yang juga kerap dibahas oleh para penganut aliran positifisme abad XIX berlawanan tafsir Wilihelm Dilthy serta kaum Neo-Kantianis gemar membenturkan faktisitas dengan idealisme mirip ulasan Juergen Habermas di dalam mahakarya Faktizitaet und Geltung.
Terlebih dahulu Martin Heidegger membahas Faktizitaet melalui jalur Geworfenheit sebagai eksistensi individual yang “melemparkan diri ke dalam dunia”.
Lain Jerman lain Perancis, di mana pada medio abad XX, kaum eksistensialis di bawah pimpinan Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir memaknakan faktisitas dengan segenap detail kongkret melawan latar belakang di mana kemerdekaan setiap insan manusia eksis dan dibatasi termasuk waktu dan tempat kelahiran, bahasa, lingkungan kebudayaan dengan prospek yang mustahil dihindari, yaitu kematian.
Semisal seorang insan manusia dilahirkan tanpa kaki membatasi kemerdekaan untuk berjalan kaki menelusuri pantai. Andai kata masa depan teknologi medis mampu mengembangkan metode menumbuhkan kaki berarti faktisitas tidak lagi membatasi kemerdekaan sang insan manusia untuk berjalan kaki menelusuri pantai.
Berdasar tafsir atas pemikiran Satre terhadap apa yang disebut sebagai faktisitas, secara intuitif maka sudah barang tentu sangat subyektif serta dangkal, saya merasakan adanya sejenis kesejajaran serta keseiramanadaan antara gagasan saya tentang andaikatamologi dengan tafisr Jean Paul Sartre atas faktisitas sebagai konsep yang pertama kali digagas Sartre di dalam mahakarya legendaris L'Être et le néant sebagai keberadaan-dalam-dirinya-sendiri yang membedakan modalitas manusia antara keberadaan dan ketidak-beradaan.
Saya juga merasa adanya keberadaan estetika getaran sukma sefrekuensi pemikiran eksistensialistis Sartre dengan getaran pemikiran fisikal Max Planck yang secara metafisikal disilangkan oleh Erwin Schroedinger lewat eksperimen quasi-multiverse pada sosok kucing mengandung pemikiran kuantum sengit diperdebatkan oleh Niels Bohr dan Albert Einstein.
Polemik legendaris antara dua tokoh legendaris tersebut tidak sempat berakhir akibat kedua beliau sudah terlanjur terlebih dahulu meninggalkan dunia fana ini.
Pada hakikatnya konflik tafsir antara Bohr dan Einstein membenarkan kecurigaan yang diam-diam menyelinap ke dalam selimut yang menyelubungi pemikiran mengenai fenomena quantum entangelement.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.