Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

"Scientist Leadership", Kepemimpinan Solutif Berbasis Ilmu Pengetahuan

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi leadership.
Editor: Egidius Patnistik

KETIKA mendengar kata ilmuwan (scientist), pikiran kita langsung tertuju pada institusi perguruan tinggi atau lembaga riset. Dua organisasi ini memang pusatnya produksi pengetahuan mengingat peran vital keduanya adalah memberikan pencerahan bagi masyarakat.

Scientist leadership (kepemimpinan ilmuwan) merupakan kepemimpinan yang diterapkan oleh ilmuwan dalam mengelola proyek penelitian atau tim riset. Ini termasuk bagaimana seseorang mampu mengoordinasikan aktivitas penelitian, mengatur anggaran, mengelola, dan mentransfer pengetahuan, serta mengembangkan dan mengevaluasi strategi penelitian.

Contoh dari seorang scientist leader adalah Dr Jane Smith, ilmuwan biologi yang memimpin tim riset di sebuah laboratorium di universitas. Dia mengoordinasikan aktivitas penelitian timnya untuk mengejar tujuan penelitian yang ditentukan, mengelola anggaran laboratorium, serta mengembangkan dan mengevaluasi strategi penelitian yang digunakan timnya.

Baca juga: Pentingnya E-Leadership Menyambut 2023

Dia juga mengajukan grant dan mempresentasikan hasil penelitian timnya di konferensi ilmiah dan publikasi ilmiah. Namun, pemimpin ilmuwan tidak hanya terpusat di lembaga riset dan perguruan tinggi, tetapi juga ada yang berkontribusi di sektor bisnis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat ini, banyak perusahaan, terutama perusahaan teknologi, mempekerjakan ilmuwan untuk membuat terobosan penting. Mungkin kita pernah mendengar DeepMind. Ilmuwan di organisasi naungan Alphabet ini punya banyak terobosan yang menarik. Salah satunya, teknologi yang memungkinkan penderita ALS bisa berkomunikasi.

Para scientist leaders tentu tidak bekerja sendiri dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Scientist leaders banyak melakukan kolaborasi diskusi dan bekerja dengan tim dari beragam latar belakang.

Ada proses kepemimpinan dalam membuat terobosan. Seperti yang dikatakan White, et al. (2019) bahwa kepemimpinan dalam ilmu mencakup kemampuan untuk memimpin tim yang beragam dan menciptakan budaya inklusif agar semua orang bisa berkontribusi dengan maksimal.

Tujuannya supaya menciptakan ilmu dan pemahaman baru bagi masyarakat. Proses penciptaan ilmu pengetahuan baru melibatkan proses kreatif, berpikir kritis, dan kolaborasi.

Kita bisa melihat kehidupan para filsuf di era kuno. Aristoteles, Plato, Sokrates dalam kegiatan menghasilkan perspektif baru kerap berdiskusi dengan banyak orang. Mereka dikenal sebagai filsuf jalanan karena kebiasaannya mengajak siapapun untuk berdiskusi.

Atau misalnya dalam era pencerahan, kita mengenal Leonardo da Vinci. Sosoknya memang terkenal sebagai pelukis Mona Lisa, salah satu lukisan termasyhur di dunia. Namun begitu, Leonardo juga menyumbangkan berbagai pemikirannya di bidang sains. Dalam prosesnya, Da Vinci berdiskusi sama banyak orang dari berbagai latar belakang serta selalu penasaran terhadap setiap hal. Ini pun semakin terlihat di era sekarang, saat ada banyak kolaborasi yang dilakukan para ilmuwan.

Menurut Jones (2008), dengan keilmuan yang terspesialisasi, bekerja sama dengan ilmuwan lain akan memperluas khazanah pengetahuan. Selain itu, pemimpin ilmuwan di perguruan tinggi banyak melakukan kerja sama riset dengan perguruan tinggi lainnya.

Misalnya, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Universitas Tsukuba dari Jepang untuk mengembangkan tomat yang toleran terhadap panas. Tak hanya antar perguruan tinggi, lembaga riset dan perguruan tinggi juga intens melakukan kerja sama dengan perusahaan swasta. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT Martina Berto Tbk melakukan kolaborasi riset untuk pelestarian tumbuhan yang ada di Nusantara.

Dari fenomena ini, saya berpendapat, scientist leader adalah orang yang memiliki tugas moral untuk memproduksi pengetahuan yang berguna dan mampu menjadi solusi masalah di masyarakat, baik itu dilakukan secara perorangan maupun kolaborasi. Pemimpin ilmuwan pun tidak terbatas di perguruan tinggi dan lembaga riset, namun juga bisnis

Tugas Moral dan Kepercayaan Tinggi

Terlepas dari afiliasi, pemimpin ilmuwan punya tugas mulia. Ia harus jadi pencerah dan pemecah masalah masyarakat di segala situasi. Banyak yang menaruh harapannya pada scientist leader, baik itu di perguruan tinggi maupun dunia bisnis, untuk segera menghasilkan solusi.

Cukup banyak terobosan yang ditelurkan ilmuwan nasional maupun global. Dari Indonesia, ada Khoirul Anwar. Lulusan Nara Institute of Science and Technology di Jepang ini menciptakan konsep dua Fast Fourier Transform yang digunakan dalam teknologi 4G LTE. Terobosannya itu dipatenkan tahun 2005.

Baca juga: Para Ilmuwan Nazi Diangkut ke Amerika Serikat

Kemudian ada Randall Hartolaksono yang menemukan bahan anti api dan panas dari kulit singkong. Penemuannya ini digunakan perusahaan besar seperti Petronas dan Ford. Lalu, ada Profesor Adi Utarini dari UGM. Profesor Adi Utarini memimpin percobaan dari sebuah teknologi yang membantu memberantas penyakit demam berdarah. Penelitiannya telah berkontribusi mengurangi penyakit demam berdarah sebesar 77 persen di beberapa kota besar, yang membuatnya masuk ke daftar 10 orang yang membantu membentuk sains tahun 2020 versi majalah Nature.

Dari kancah global, ada Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier yang memelopori teknologi penyuntingan gen bernama CRISPR. Banyak yang berharap teknologi ini dapat mengubah gen manusia untuk mencegah penyakit. Atas penemuannya, dua sosok ilmuwan ini mendapatkan penghargaan Nobel.

Ilmuwan-ilmuwan tersebut berhasil menahbihkan dirinya sebagai scientist leader karena penemuannya berkontribusi besar bagi masyarakat.

Ketika pandemi, bermunculan banyak scientist leader. Para pemimpin ilmuwan membuktikan kapasitas dan kapabilitasnya. Para scientist leader dari Universitas Oxford, perusahaan Moderna, Pfizer, dan masih banyak lagi telah menghasilkan vaksin dalam waktu yang terbilang singkat.

Karena para scientist leader inilah, dunia menjadi relatif aman dan masyarakat terbentengi dari virus Covid-19.

Kesigapan dan ketekunan para pemimpin ilmuwan diharapkan mampu menyelesaikan isu perubahan iklim. Masalah perubahan iklim sifatnya multi spektrum dan multi dimensi yang membuat isu ini sangat rumit untuk diselesaikan. Membutuhkan kolaborasi antar ilmuwan lintas disiplin untuk menghasilkan solusi bagi Bumi.

Kabar baiknya, pemimpin ilmuwan telah memiliki modal kepercayaan yang cukup besar dari masyarakat. Menurut laporan Wellcome Global Monitors 2020: Covid-19, terdapat peningkatan kepercayaan pada ilmuwan. Tahun 2018, kepercayaan masyarakat terhadap ilmuwan hanya sebesar 34 persen. Pada akhir tahun 2020, 43 persen masyarakat mempercayai ilmuwan.

Pew Research Center tahun 2020 melakukan survei di 20 negara. Secara keseluruhan, Pew Research Center menemukan bahwa 36 persen masyarakat mempercayai ilmuwan.

Di Indonesia, ilmuwan merupakan profesi terpercaya kedua setelah dokter. Menurut survei Ipsos 2022, 57 persen rakyat Indonesia mempercayai profesi Ilmuwan. Dokter menempati peringkat pertama dengan persentase 59 persen.

Sentimen positif itu dapat membantu pemimpin ilmuwan dalam melakukan kerja-kerja positifnya. Dengan kepercayaan masyarakat tersebut, para scientist leader menjadi lebih terpacu untuk menghasilkan lebih banyak riset berdampak dan berdaya guna.

Kita akan terus membutuhkan pemimpin ilmuwan. Karena itu, perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan harus merespon dengan baik harapan masyarakat. Tiga institusi inilah yang menjadi tempat scientist leader bernaung. Mereka punya tanggung jawab menciptakan iklim riset yang inklusif, kolaboratif, dan produktif.

10 Karakteristik Scientist Leader

Ada beberapa karakteristik yang umum dari scientist leadership, 10 di antaranya adalah: 

  1. Memiliki visi besar mengenai ide dan gagasan penelitian. Punya visi yang jelas tentang arah penelitian yang ingin dicapai dan memotivasi tim untuk mengejar visi tersebut.
  2. Mampu membuat keputusan yang cepat dan tepat berdasarkan data yang ada, serta membuat keputusan yang obyektif.
  3. Punya skill dalam memimpin tim dengan cara yang efektif dan efisien, serta mampu meningkatkan kinerja tim dengan memberikan pengarahan yang tepat.
  4. Mampu berkomunikasi baik dengan anggota tim serta mampu menyampaikan ide dan visi dengan jelas.
  5. Mampu mengelola sumber daya intelek secara efektif dan efisien, serta mampu mengoptimalkan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan penelitian.
  6. Memiliki kemampuan untuk mencari solusi baru dan inovatif dalam menyelesaikan masalah, serta mampu mengembangkan teknologi baru.
  7. Memiliki integritas tinggi dan memegang prinsip etika dalam menjalankan dan mengembangkan penelitian.
  8. Bersikap proaktif dalam mencari solusi dan mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi dalam proyek penelitian
  9. Menjalankan profesionalisme yang tinggi dan selalu berusaha meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian masyarakat.
  10. Adaptif untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan situasi yang berubah dalam proyek penelitian.
Kita Perlu Banyak Scientist Leader

Salah satu respon yang bisa dilakukan perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan adalah mencetak lebih banyak scientist leader. Meski begitu, terdapat beberapa tantangan yang membuat tiga institusi ini mengalami kesulitan mencetak scientist leader.

Pertama, belum capable-nya scientist leader dalam memimpin tim. Majalah Nature mempublikasikan riset karya Richard van Noorden tahun 2018 yang mengungkapnya bahwa dalam 12 bulan terakhir, 68 persen responden mengatakan pimpinan riset tidak mengadakan pelatihan manajemen.

Hal itu juga yang mendasari lebih dari 70 persen peneliti junior menginginkan peneliti yang lebih senior mendapatkan pelatihan tentang mentoring, sehingga dapat memimpin dengan lebih baik.

Kedua, masalah ekosistem, mulai dari pendanaan hingga manajemen. Dari segi pendanaan, mengutip The Conversation, dana APBN yang dikerahkan untuk penelitian hanya berkisar 0,1 persen dari PDB 2021. Itu angka yang sangat kecil dibandingkan negara lain dan belum tentu pemimpin ilmuwan bisa menciptakan ilmu pengetahuan baru.

Dalam konteks yang lebih luas, manajemen riset di Indonesia perlu berbenah. Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa manajemen riset kita ada yang salah.

Studi ini bisa jadi validasi dari pernyataan Kepala BRIN. Berdasarkan indeks inovasi global tahun 2021, Indonesia ada di peringkat 87 dari 132 negara. Indonesia kalah dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Berbeda di perguruan tinggi, di perusahaan scientist leader mengalami masalah yang berbeda, yaitu soal politik. Ini terjadi di iklim riset perusahaan, khususnya di perusahaan besar. Menurut studi Kirsner (2018), 55 persen responden mengatakan hambatan terbesarnya adalah politik di perusahaan.

Hambatan politik terlihat ketika inovasi kita menyentuh banyak area, akan ada banyak orang yang tidak ingin areanya disentuh. Masalahnya mungkin berbeda antara lembaga riset dan perguruan tinggi dengan perusahaan. Tetapi, kita semua sepakat bahwa sangat penting untuk membuat ekosistem yang menunjang scientist leader berkarya, sehingga banyak terobosan baru yang tercipta dan berdampak bagi masyarakat.

Indonesia sudah memiliki solusi yang bernama Kedaireka. Kedaireka adalah platform pioneer dalam menciptakan ekosistem kolaborasi riset antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. Kedaireka membuat scientist leader mendapatkan akses pendanaan dan kemitraan yang sesuai dengan value mereka.

Selain itu, ini bisa jadi kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan perekrutan ilmuwan bertalenta agar riset di perusahaan lebih berkembang. Namun, perguruan tinggi, lembaga riset, maupun perusahaan juga harus menciptakan budaya risetnya sendiri.

Budaya riset yang tepat akan membuat scientist leader bisa melakukan riset dengan lebih bebas. Namun, pembentukan ekosistem harus diimbangi kemampuan penting lainnya dari scientist leader. Scientist leader perlu meningkatkan kemampuannya lagi dalam memimpin.

Menurut Kvaskoff & McKay (2014), pelatihannya bisa dalam bentuk ceramah, latihan bermain peran, studi kasus dan diskusi, peserta belajar dan melatih keterampilan seperti menetapkan tujuan, menyampaikan umpan balik, menjalankan rapat yang berhasil, dan mengelola konflik atau situasi sulit yang dapat muncul di tim riset.

Dari segi pendanaan, baik perguruan tinggi, perusahaan, dan pemerintah harus memandang riset itu investasi, bukan biaya. Yanuar Nugroho, sebagaimana dikutip Katadata saat dia menjadi Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, sangat penting untuk melihat riset sebagai investment for the future, bukan cost. Riset adalah investment yang bisa dilihat rate of return-nya. Paradigma ini sebagai awal untuk memandang riset sebagai nilai yang inheren.

So Young Kim, Associate Professor di sekolah pascasarjana Kebijakan Sains dan Teknologi di KAIST, mengatakan bahwa akan sia-sia melipatgandakan pendanaan, khususnya dalam ilmu dasar, jika nilai yang melekat pada ilmu dasar dan motivasi intrinsik dari ilmuwan ilmu dasar tidak tercermin dalam kebijakan. Yang paling penting adalah menciptakan kultur ilmiah itu sendiri. Kultur ilmiah perlu dibentuk sejak dini.

Kita bisa belajar dari Jepang. Menurut peneliti di RIKEN Center for Emergent Matter Science, Satria Zulkarnaen Bisri, ada beberapa langkah penting yang membuat riset Jepang maju, antara lain: menghidupkan imajinasi anak mudanya dengan anime, mengintensifkan pertemuan ilmuwan-ilmuwan melalui konferensi, dan membuat peta jalan yang nyata.

Langkah-langkah inilah yang akan membuat scientist leader lebih bebas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggerakkan timnya untuk lebih kreatif dan inovatif. Dengan begitu, scientist leader bisa menelurkan perspektif baru yang berguna di masyarakat dan semakin banyak scientist leader yang muncul di perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan.

Kendala Penerapan Scientist Leadership di Indonesia

Di Indonesia, scientist leadership di bidang penelitian sangat penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memajukan negara. Namun, kondisi saat ini masih terdapat beberapa kendala dalam penerapan scientist leadership di Indonesia.

Di antaranya dalam aspek SDM, di mana masih kurangnya ilmuwan berpengalaman dan kualifikasi yang memadai di bidang penelitian.

Kedua, tantangan infrastruktur, kurangnya fasilitas penelitian yang memadai dan kurangnya dukungan pemerintah.

Ketiga, dukungan dana yang belum maksimal untuk penelitian, sehingga menyebabkan keterbatasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keempat, masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta kurangnya dukungan dari masyarakat dalam hal ini.

Walaupun demikian, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut di antaranya perlu adanya peningkatan kualifikasi dan pelatihan ilmuwan melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang tersedia; peningkatan fasilitas penelitian dan dukungan pemerintah; peningkatan dana yang tersedia untuk penelitian melalui program-program pendanaan yang tersedia; peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui berbagai program edukasi yang tersedia.

Scientist leaders punya peran penting dalam pembangunan sebuah negara dan penyelesaian masalah dunia.

Stephen Hawking mengatakan, "Scientist have become the bearers of the torch of discovery in our quest for knowledge." Karena itu, apabila kita ingin dunia kita maju, kita perlu meningkatkan budaya riset dan menciptakan iklim riset yang inklusif agar banyak scientist leader baru bermunculan yang dapat dengan bebas memproduksi pengetahuan dan inovasi bagi masyarakat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi