Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Memilih Bukan Kewajiban, tetapi Hak

Baca di App
Lihat Foto
DOK KOMPAS/HANDINING
Ilustrasi golput
Editor: Egidius Patnistik

MESKI mengaku demokratis, rezim Orba (Orde Baru) de facto alergi golput (golongan putih) yang diprakarsai sahabat merangkap mahaguru kebangsaan saya, Prof Dr Arief Budiman. Sayang beliau sudah almarhum maka tidak bisa membantah maupun membenarkan tulisan saya ini.

Menarik bahwa KBBI mengungkap arti istilah golput sekedar singkat hanya sebagai kata benda merangkap akronim dari kata golongan putih tanpa menjelaskan apa arti istilah golongan putih. Juga tidak ada golongan hitam atau abu-abu apalagi abu-abu metalik seperti warna mobil.

Baca juga: Survei Litbang “Kompas”: Potensi Golput Cukup Tinggi jika Pilpres 2024 Hanya Diikuti 2 Paslon

Lebih bijak adalah Wikipedia, ensiklopedia bebas bahasa Indonesia yang lebih lengkap memaknakan golongan putih secara panjang lebar sebagai berikut: Golongan putih (disingkat golput) atau abstensi (dari kata bahasa Inggris "abstain" yang berarti 'menjauhkan diri') adalah istilah politik ketika seorang peserta dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satu pun calon pemimpin, atau bisa juga peserta yang datang ke bilik suara tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir.

Kemunculannya berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama pada era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bahkan Wikipedia melengkapi pemaknaan golput dengan bab sejarah: Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama pada era Orde Baru dilaksanakan. 

Arief Budiman sebagai seorang eksponen golput berpendapat bahwa gerakan tersebut bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun.

Syukur alhamdullilah setelah Orde Reformasi menggantikan Orde Baru, masalah golput tidak lagi dipermasalahkan. Sayang setriliun sayang, mendadak menjelang Pilpres 2019 timbul gejala gerakan resusitasi alias menghidupkan kembali golput yang sebenarnya sudah menjadi jenazah.

Sebenarnya kemunculan gerakan resisutasi golput di alam demokrasi pada hakikatnya ilogikal dan ilegal. Ilogikal sebab memilih menurut mazhab demokrasi murni yang tidak sesat sama sekali bukan merupakan kewajiban tetapi murni hak asasi manusia, maka sangat tidak logis memengaruhi apalagi memaksa warga, yang tidak wajib untuk memilih, untuk wajib memilih. Mempermasalahkan golput berarti sama saja dengan mempermasalahkan hak asasi manusia.

Ilegal sebab mempermasalahkan golput selama belum ada undang-undang maupun perppu tegas dan resmi melarang warga tidak menggunakan hak asasi untuk memilih.

Baca juga: KPU-Bawaslu Nilai Banyaknya Golput Tergantung Peserta Pemilu

Mumpung Pemilu 2024 masih dua tahun lagi, mereka yang anti-golput sebenarnya masih punya kesempatan menugaskan DPR untuk gerak cepat bikin undang-undang yang tegas dan resmi melarang golput. Atau paksa Presiden memaklumatkan perppu anti golput pada Pemilu 2024 sebab Presiden sudah berkenan memaklumatkan Perppu Cipta Kerja sementara omnibus law tidak dibenarkan oleh MK.

Masih ada solusi alternatif, yaitu batalkan undang-undang tentang presidential threshold yang mengendala pengejawantahan hak asasi rakyat untuk memilih presiden. Tanpa ambang batas kepresidenan mungkin akan makin banyak calon presiden untuk dipilih oleh rakyat maka layak diharapkan serta merta dengan sendirinya makin sedikit rakyat memilih sikap golput.

Merdeka!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi