Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 13 Jan 2023

Mahasiswa Doktoral School of Journalism, Media and Culture Cardiff University, UK. Konsultan museum.

Museum Digital dan Masa Depan Koleksi Museum

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/DENDI RAMDHANI
Bagian dalam Masjid Al Jabbar
Editor: Egidius Patnistik

ANGGARAN sebesar Rp 15 miliar untuk proyek konten Masjid Al-Jabbar, Bandung, Jawa Barat, sedang ramai disorot. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengklarifikasi bahwa anggaran bernilai fantastis itu bukan untuk konten media sosial atau konten promosi Masjid Al-Jabbar. 

Ridwan menegaskan, anggaran tersebut adalah biaya pengadaan konten untuk Museum Digital Rasulullah dan Islam di Nusantara di lantai bawah masjid tersebut. Museum tersebut, kata Ridwan Kamil, “... isinya digital semua".

PT Sembilan Matahari, selaku pihak yang melakukan pengerjaan proyek, dalam berbagai pemberitaan media menjelaskan, konten yang dimaksud merupakan konten diorama yang memadukan multimedia, teknologi, dan interior masjid untuk menciptakan experience tertentu bagi pengunjung, seperti video mapping yang mengisahkan perjalanan Isra Mi'raj Rasulullah.

Baca juga: Kontraktor Beri Penjelasan soal Proyek Konten Masjid Al Jabbar Rp 15 Miliar

Cuplikan pernyataan Ridwan Kamil dan tambahan uraian kontraktor yang mengerjakan konten proyek itu tak urung membuat saya mengernyit. Museum tersebut saat ini belum dibuka untuk umum. Jadi, saya juga belum tahu pasti akan seperti apa persisnya isinya, dan tentu belum bisa berkomentar lebih lanjut lagi terkait hal itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, wacana tentang museum yang hanya berisi experience digital boleh dibilang sangat menggelitik. Museum yang isinya digital semua, artinya tidak ada koleksinya? Jadi hanya ada narasi atau cerita dalam bentuk media digital dan experience digital saja?

Kalau hanya berisi experience saja tanpa koleksi, apakah tempat tersebut masih bisa disebut sebagai museum? Kalau tempat yang hanya berisi experience saja bisa disebut museum, lantas, apakah keberadaan koleksi masih jadi hal penting di museum?

Dari Koleksi ke Experience

Menilik sejarahnya, kemunculan museum sesungguhnya berawal dari adanya koleksi. Cikal-bakal museum adalah Cabinet of Curiousities yang menjamur di Eropa pada abad ke-16, sebagai tempat orang-orang kaya dan para bangsawan memajang koleksi-koleksi pribadi mereka yang antik dan eksotis.

Beberapa museum terkenal dunia, seperti British Museum di Inggris, merupakan pengembangan dari koleksi-koleksi pribadi di Cabinet of Curiousities tersebut. Pada masa-masa itu, koleksi adalah fokus dari tujuan dan fungsi museum.

Pada medio hingga akhir abad ke-20, berkembang gagasan museologi pembaharuan yang salah satunya mendorong paradigma museum agar bergeser dari berpusat-pada-koleksi (collection-centered) menjadi berpusat-pada-audiens (audience-centered). Bukan hanya merawat dan memamerkan koleksi, museum juga dituntut untuk menjadi relevan bagi audiensnya dengan menjalankan fungsi-fungsi edukasi serta hiburan.

Dalam rangka menjalankan fungsi edukasi dan hiburan itu, museum mulai mengembangkan metode-metode untuk menyajikan narasi atau cerita, juga experience yang biasa diartikan sebagai pengalaman berkunjung yang berkesan bagi para audiensnya.

Baca juga: Saatnya Virtual Traveling, 16 Museum Digital Indonesia yang Bisa Dikunjungi

 

Mulai dari yang sederhana seperti narasi atau cerita dalam bentuk poster yang ditempel di dinding museum, inisiatif acara yang memberikan experience berbeda, seperti jelajah malam di museum, hingga tren media digital seperti augmented reality, virtual reality, dan video mapping yang mampu menghadirkan cerita dan experience secara lebih hidup dan menarik. Tak ayal, banyak museum tak ingin ketinggalan gerbong dalam mengadopsinya.

Lihat Foto
Instagram @teamlab_news
Museum digital di Tokyo, Jepang.
Museum Tanpa Koleksi?

Lantas apakah di masa depan, akhirnya experience akan mengambil alih museum dari tangan koleksi?

Menurut pandangan saya, tidak dan tidak seharusnya. Tidak semestinya identitas museum direduksi menjadi sebatas experience center. Koleksi selayaknya tetap mendapat tempat penting di museum karena sedikitnya satu alasan fundamental: koleksi adalah evidence-based atau landasan bukti, yang menjadikan segala narasi, cerita, dan experience yang dihadirkan museum dapat dipercaya.

Tahun 2021, American Alliance of Museums melakukan survei pada 1.200 orang di Amerika Serikat (AS) dan menemukan bahwa masyarakat jauh lebih memercayai informasi di museum dibanding informasi dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), surat kabar, ataupun organisasi lainnya.

Mengapa? Dua alasan terbanyak yang dikemukakan adalah karena museum berbasis fakta, dan museum bisa membuktikannya melalui keberadaan obyek asli/otentik/original.

Apa yang membuat belajar sejarah dari museum berbeda dengan belajar sejarah dari buku atau film? Di museum, kita bisa melihat langsung bukti nyata berupa koleksi aslinya. Hal yang tidak bisa kita dapatkan dari membaca buku atau menonton film saja.

Apa yang membuat kunjungan ke suatu museum memorial bisa menjadi lebih terpercaya dibanding sekadar mendengar cerita saja? Ketika datang ke museum memorial, kita berada langsung di tempat terjadinya suatu peristiwa, kita dihadapkan langsung pada kenyataan bahwa sesuatu benar-benar pernah terjadi di sana. Hal yang tidak akan kita dapatkan dari mendengarkan cerita saja.

Kalau museum hanya menyajikan cerita dan experience saja, tanpa ada satu pun koleksi yang menjadi dasarnya, apa bedanya museum dengan bioskop?

Kembali ke soal museum digital di Masjid Al-Jabbar, kalau sama sekali tidak ada koleksinya, apa bedanya menonton video mapping cerita Isra' Mi'raj Rasulullah di museum digital itu dengan menonton film di wahana 3D seperti teater Keong Mas atau Dufan?

Atau, seperti yang dipertanyakan seorang netizen di Twitter ketika membalas twit Ridwan Kamil soal museum digital itu: apa nilai tambahnya konten museum digital itu dibanding konten website atau aplikasi saja?

Baca juga: Heboh Anggaran Konten Rp16 Miliar Masjid Al Jabbar, DBMPR: Untuk Materi Ruang Pamer Museum

Mumpung museumnya saat ini belum dibuka, sepertinya masih ada waktu dan kesempatan untuk berharap agar Museum Digital Rasulullah di Masjid Al-Jabbar, meski katanya "isinya digital semua", tapi masih punya setidaknya satu koleksi sebagai landasan bukti segala cerita dan experience yang dihadirkannya.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi